Satu Kisah di tengah Senja

754 76 14
                                    

Tak pentinglah bagaimana kisah ini bermula. Tidak perlu mengobrak-abrik seluruh berkas untuk menemukan berbagai titik terang dari kejelasan alunan kasih ini. Semuanya memang kelabu—benar-benar tak terarah.

Begini, Kim Taehyung, namanya. Menginjak umur duapuluh satu memang sudah tak bisa dikatakan remaja. Adalah saat dia berkenalan dengan sebuah rasa seperti senyawa amfoter—berubah-ubah sesuai kepada siapa ia bereaksi.

Menurut Taehyung, cinta itu ajaib.

Sekejap manis, lalu beberapa detik kemudian mengadu pada kubangan rasa pahit.

Tetapi, untuk detik ini, ketika senja mengisi di sekitaran cakrawala langit, Taehyung memilih untuk tak mengetahui apa ini namanya.

"Hyung, malam ini mau menonton film bersamaku?"

Mata Taehyung sekarang terfokus pada perawakan di hadapannya. Lelaki yang menatap garis-garis langit itu hanya bergeming. Pandangannya benar-benar terkunci kepada bagaimana lukisan Tuhan tercipta dengan sempurna.

"Seokjin hyung." Volume Taehyung kali ini semakin membesar. Layaknya mengantungkan harapan pada jawaban dari Seokjin.

"Mungkin tidak hari ini." Lagi-lagi netranya sama sekali tak meninggalkan lembayung yang menghangatkan itu.

Berpikir Taehyung akan terhenti pada saat itu?

Tidak, itu bukan Taehyung sekali.

Kaki Taehyung mulai meninggalkan sofa yang ia tempati, menghampiri Seokjin dengan perlahan. Ia mulai menghitung tiap-tiap langkah yang terjadi.

Satu.

Berniat menanyakan apa kabar perasaan Taehyung saat itu?

Oh, jangan pernah mencoba.

Dua.

Taehyung tercipta untuk ini. Ia tercipta untuk melelehkan sikap dingin milik Kim Seokjin.

Tiga.

Tigapuluh detik yang lalu, ia membayangkan sebuah angan. Mimpi di mana, bibir Seokjin menyapanya dengan satu senyuman manis.

Empat.

Hapuslah semua angan itu karena Kim Taehyung akan mewujudkannya dalam sebuah padanan realita.

Lima.

Dan di sinilah Taehyung, mendekap leher Seokjin dengan kedua tangannya yang hangat.

"Hyung tahu tidak? Hari ini aku menjadi anak yang baik sekali. Aku membantu Paman Berkumis Lele di kebunnya. Pagi tadi, Nenek di seberang jalan, aku antar untuk berbelanja. Oh—jangan lupa dengan Jungkook, aku mengajarinya Matematika, Hyung. Bocah itu sulit untuk diajari."

Taehyung sedikit terkekeh kecil pada kalimat akhir yang ia ucapkan. Kekehannya berlanjut menjadi sebuah tawa. "Aku sudah jadi anak baik kan, Hyung?"

Seokjin mengangguk pelan, menjawab lontaran pernyataan Taehyung. Tak ada reaksi lanjutan yang Seokjin beri membuat Taehyung semakin haus akan dirinya, Seokjin, Seokjin, Seokjin.

"Hyung, apa itu sudah cukup?" Taehyung mengeluarkan tawa lagi—tetapi kali ini gagal, benar-benar gagal. Alih-alih tawa tercuat, netranya malah mengeluarkan aliran air mata. Taehyung tahu itu bodoh—ah, tidak sistem tubuhnya yang bodoh! Benar-benar tak berguna! Pengkhianat!

"Cukup? Apanya yang cukup, Taehyung?"

Netra Seokjin sudah berpaling menatap Taehyung yang tak karuan. Sekilas melihat pun, Seokjin paham, Seokjin mengerti, Taehyung sakit. Ingin sekali kata maaf terucap. Maaf membuatmu begini, maaf menyakitimu, maaf—

Tetesan air mata Taehyung terjatuh di sekitaran pipi Seokjin. Mengalir pada setiap sisi, membuat kedua netra Seokjin layaknya tersulut, untuk melakukan reaksi yang sama.

"Apakah semua kebaikan itu cukup? Cukup untuk melakukan sebuah dosa besar? Cukup untuk mencintai kakak kandungku sendiri, Kim Seokjin? Jawab aku."

Di antara potret-potret senja yang tergantikan oleh Sang Malam, seluruh pertanyaan Taehyung tenggelam bersama alunan rasa.

Sepertinya, kisah ini memang tak seharusnya diceritakan ya?

|Fin|

***
Ditulis karena rindunya pada sesosok senja.

Jangan lupa add OA Line kami! Siapa tahu jodoh /EH/

Id : @siy1170j

Bwi.

Secangkir FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang