2. Lupa

2.3K 288 59
                                        

Pagi ini aku bangun kelaparan.

Biasanya kalau bangun aku suka cuci muka dan gosok gigi dulu. Tapi pagi ini nggak. Aku sangat lapar. Kemarin habis berkebun aku ketiduran dan nggak makan. Jadi aku lapar.

Sampai di dapur, aku nggak menemukan apapun selain kopi milik Bunda. Aku berusaha duduk di kursi milik Bunda. Menghirup aroma kopinya tanpa menyentuhnya. Aku nggak pernah suka kopi karena pahit. Bunda juga bilang kalau kopi itu minuman orang dewasa. Jadi sebagai anak-anak, aku nggak bisa minum kopi seperti orang dewasa.

Bunda muncul dengan wajah biasa saja. Tidak tersenyum dan menciumku. Aku pikir Bunda mungkin hari ini lupa tersenyum dan mencium. Jadi aku diam saja. Aku cuma lapar sekarang.

"Bunda," aku memanggil Bunda dengan suara pelan. Nggak tahu kenapa aku memelankan suaraku.

"Kenapa?!"

Ih. Suara Bunda seram. Seperti Bu Risol dan anjing Pak Nugi.

"Aku lapar ..."

"Bunda lupa masak! Nggak usah makan!"

Tuh, kan. Suaranya seram. Aku menunduk lesu. Perutku benar-benar keroncongan. Bunda pasti lagi betè. Jadi lupa masak. Huft.

Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamarku dan mandi. Kali ini di tembok ada ikan gurami bakar, pecel lele dan sup ikan kakap. Semua ikan sudah matang, wangi. Aku jadi ngiler. Beneran deh. Aku gigit-gigit ikan itu, tapi nggak berasa. Aku memutuskan untuk tidak meneruskan makan ikan di kamar mandi. Karena ternyata ikan bakar di kamar mandi itu tidak enak.

Selesai mandi, aku memutuskan untuk duduk di ayunan di halaman depan rumah. Sambil sesekali menendang kerikil, aku memeluk perutku yang keroncongan saking laparnya.

Saat perutku berbunyi yang ke-tiga belas kalinya sejak bangun, aku mendengar teriakan Bu Risol yang lantang. Seperti biasa. Dia teriak, Risol, uduk dan sarapannya. Karena aku belum sarapan, maka aku memberanikan diri untuk keluar dan memanggil Bu Risol.

"Bu Risol!!!"

Bu Risol berbadan gemuk itu menoleh dan tersenyum padaku. Eh, dia gak galak!

"Sarapan, Dek?"

Aku mengangguk. Bu Risol segera menyodorkan satu bungkus nasi uduk, bala-bala dan risol. Kemudian dia mengadahkan tangannya kehadapanku.

"Jadi sepuluh ribu."

Aku heran. Sepuluh ribu? Aku nggak punya uang. Tapi aku benar-benar lapar.

"Bayar, heh!"

Aku menunduk lesu, lantas ku kembalikan saja nasi uduk, bala-bala dan risolnya.

"Aku nggak punya uang. Hari ini Bunda lupa cara masak sarapan. Dari kemarin aku nggak makan."

Bu Risol diam sejenak. Aku memutuskan untuk kembali saja ke ayunan. Duduk sambil menendang kerikil. Atau membayangkan kerikil itu bakso yang suka di belikan Om Ghani untukku.

"Eh, bocah!!!"

Bu Risol memanggil bocah saat aku hendak naik ke ayunan. Aku heran. Namaku, kan, Bian. Bukan bocah. Tapi karena bingung, akhirnya aku menoleh. Ia menghampiriku dan memberikan satu kantong plastik berisi uduk, bala-bala dan risol.

"Ude, nih uduknya buat elu aje. Kaga papa' dah,"

"Tapi aku nggak punya uang buat bayar." Jelasku. Bu Risol mengibaskan tangannya,

"Ini gue kasih. Ude, sono lu makan."

Selesai bilang begitu, Bu Risol kembali keliling dan berteriak lagi.

"Risol! Uduk! Bala-bala! Sarapannya, Bu, Pak!"

******

Selesai sarapan, aku masih duduk di ayunan. Kali ini kerikil itu nggak berubah jadi bakso seperti yang ku pikirkan. Kerikilnya tetap jadi kerikil. Aku mendesah kecewa. Padahal kalau kerikil itu beneran jadi bakso, rasanya pasti menyenangkan bisa ayunan diatas lautan bakso.

Aku nggak tahu sekarang jam berapa. Yang ku tahu, sekarang sudah panas dan Axel Si Nakal sudah teriak,

"Mamah, Aku pulang!"

Itu tandanya sudah siang dan masuk waktu makan siang. Tapi lagi-lagi aku mendesah kecewa. Hari ini, kan, Bunda lupa cara memasak. Jadi sepertinya nggak akan ada makan siang seperti kemarin. Aku memutuskan untuk masuk ke rumah pelan-pelan (aku juga nggak tahu, kenapa aku mesti jalan pelan-pelan saat masuk ke rumah) dan mendapati Bunda tengah mencoret-coret buku gambarku.

"BUNDAAA!!!"

Bunda melotot garang. Tapi aku sejujurnya sebal, marah dan kesal karena buku gambarku halamannya sudah habis di coret-coret oleh Bunda.

"Setan! Pergi kamu! Gangguin aja!!!"

Bunda balas meneriakiku. Aku ingin menangis karena buku gambarku. Itu hadiah dari Eyang Jangkung saat aku berulang tahun.

Dengan kesal, aku masuk ke kamarku dan menangis seperti anak kecil. Benar kata Axel Si Nakal. Aku belum pantas bersekolah seperti dia karena aku masih sering menangis dan dicium oleh Bunda.

******

Nggak tahu kapan tidurnya, tapi sekarang aku sudah bangun. Mungkin habis nangis tadi aku ketiduran. Aku nggak ingat.

Kepalaku pusing dan perutku kembali berbunyi. Aku heran kenapa perutku sering berbunyi saat aku nggak makan. Bunyinya mengganggu.

Aku mau mandi, tapi tidak kuat bangun dari kasur. Lemas. Akhirnya aku tiduran saja.

******

"Bian, sayang, dengar suara Tante, Nak .... "

Aku berusaha mengangguk dan menjawab. "Iya, Tante."

Tapi suaraku nggak keluar. Aku juga kesulitan membuka kelopak mataku. Tapi setelah aku paksa, akhirnya bisa melihat juga.

"Bian mau minum?"

Aku mengangguk. Setelah minum, aku mencoba berbicara kembali.

"Tante Irma?"

"Iya, sayang."

"Tante, aku laper ...."

Tante Irma membantuku duduk. Dia menyuapkan bubur ayam yang rasanya aneh untukku.

"Tante, bubur ayamnya nggak enak."

"Enak, kok. Coba deh tiga sendok lagi,"

Aku menurut. Sampai sendok ketiga, rasanya nggak berubah. Tetap aneh dan nggak enak. Aku menggelengkan kepalaku menolak suapan bubur dari Tante Irma.

"Minum ya, terus minum obat,"

Aku menurut saja. Walaupun aku nggak sakit. Tapi aku tetap minum obat dari Tante Irma. Aku nggak mau Tante Irma betè kayak Bunda.

"Bian tidur lagi, ya. Tante mau ngobrol sama Bunda."

Aku mengangguk, kemudian Tante Irma keluar dari kamarku.

*******

Aku nggak ingin tidur. Aku mau membaca saja. Kali ini aku baca buku hadiah dari Om Ghani. Omong-omong, Om Ghani ini suka sekali bawa hadiah dan mengajakku jalan-jalan. Bunda dulu pernah bilang kalau Om Ghani itu adiknya, jadi Om Ghani sering kesini untuk berkunjung.

Aku sebenarnya bingung, cuma aku sering berpura-pura mengerti apa yang mereka ucapkan.

Kali ini buku yang kubaca judulnya Pangeran Kecil. Pangeran Kecil bertemu laki-laki dan menjelajah gurun pasir.

Aku sering membayangkan bagaimana rasanya menjelajah dan berpetualang seperti orang-orang. Seperti Bunda, Tante Irma dan Pangeran Kecil dalam buku. Tapi kayaknya nggak akan tercapai karena aku lebih sering di rumah. Bunda nggak pernah mau mengajakku berpetualang. Bunda seringnya mengajakku berkebun dan membuat strawberry cheesecake yang mirip Ayah.

Aku nggak mengerti kenapa Bunda menyamakan Ayah dengan kue. Atau, Ayahku memang benaran kue, jadi aku anak kue? Bukan anak Bunda? Ah, entahlah. Orang dewasa kalau berpikir bikin bingung. Aku tidak paham.

******

Strawberry CheesecakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang