Chapter 4: Penyangkalan

3.7K 220 2
                                    

SERA's POV

Nggak. Itu nggak mungkin.

Yang lompat itu nggak mungkin Lauren Westphalen...

Gue kembali ke restoran dengan perasaan berkecamuk nggak jelas. Sampai-sampai gue nggak konsen jalan—hampir aja gue salah ngelewatin tembok restoran yang ada disebelah pintu. Bayangin kalo gue beneran nabrak tembok. Sakit pasti.

Paparazzi itu pasti bercanda. Mungkin dia salah orang. Cewek yang lompat itu mungkin kebetulan punya rambut blonde dan nama Lauren.

Sekarang, pikiran gue dipenuhin sama kata-kata "Mungkin". Mungkin dan kemungkinan yang bodoh. Kemungkinan menyangkal kenyataan, kurang lebih. Ah entahlah, gue juga nggak ngerti.

Nggak, Lauren belum mati.

Lauren belum mati.

Tapi tunggu dulu. kenapa juga gue menyangkal kalo Lauren belum mati? Siapa yang sebenernya gue bohongin disini? Diri gue sendiri, gitu?

Dan kenapa Sera, kenapa malah lo yang terus menyangkal pada diri sendiri?—Maksudnya, emang lo siapanya Lauren, Sera??

Gue mendengus keras.

Gue kembali ke tempat dimana tadi gue dan Dini sarapan. Tapi saat itu Dini udah nggak ada ditempat.

Paling dia udah balik ke kamar.

Tanpa mikir panjang lagi gue langsung pergi mencari lift di ujung koridor. Mencari lift untuk turun ke lantai 2, kembali ke kamar. Ketika berada didalem lift, gue sempet berkata pada diri gue sendiri, "Pokoknya setelah nyampe di lantai dua, gue harus lupain soal Lauren. Harus. Dia bukan siapa-siapa lo, Sera..."

Dan—tinggg!!—pintu lift terbuka. Begitu gue melangkah keluar dari lift, gue langsung melupakan kematian Lauren yang tragis. Gue anggep semuanya nggak pernah terjadi.

Tapi keadaan di koridor lantai dua sama sekali tidak mendukung gue untuk melupakan kejadian tersebut. Ketika gue berada di selang dua kamar menuju kamar gue, ada segerombol orang berseragam polisi lewat dengan langkah tergesa-gesa. Mereka menuju lift—pastilah sedang menuju ke tempat kejadian peristiwa (TKP). Apa lagi?

Gue cuma memandangi para polisi tersebut bergerak melewati gue, sambil terus berusaha tidak tahu-menahu lagi.

And there I finally am. Akhirnya sampai di depan pintu kamar nomor 214.

Gue memegang gagang pintu, bersiap memutarnya lalu mendorongnya ke depan. namun persis sedetik sebelum itu, gue mendengar suara Dini dan bapaknya. Saat itu gue mendengar suara cewek yang lumayan keras—suara Dini pastinya—dan hal itu menarik perhatian gue.

Pelan-pelan, gue menempelkan kuping kanan di daun pintu. Sementara tangan gue masih memegang gagang pintu supaya nggak terdorong kedepan oleh beratnya badan gue—kan nggak lucu aja kalo pintunya tiba-tiba kebuka pas gue masih nguping.

"Sehari lagi aja, Pa, tolong. Kasian Sera. Dia kan sahabat baiknya Dini."

Ada apaan nih? Kok gue dibawa-bawa

"Tapi kamu tau kan, tujuan kita yang sebenarnya itu ke Los—"

"Pa, ada kecoa!!!" Si Dini tiba-tiba jerit, membuat gue kaget dan tentu saja, mendorong pintu hingga terbuka. Alhasil, gue jatuh dalam posisi telungkup.

Duh, mati mati mati! Ketauan deh gue tadi nguping!

"Aduhh," rintih gue sekeras bisikan.

"Se-Sera?" kata Dini ragu-ragu. Masih dalam posisi telungkup, gue mengangkat wajah dan memandang mereka berdua bergiliran. Ekspresi wajah Dini dan bapaknya tampak tidak menyenangkan.

Animal In the Night -g.c (AITN TRILOGY #1) (ON MAJOR EDIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang