Bab 9: Hazel

1K 120 14
                                    

Hazel yakin 100% beberapa saat yang lalu mereka masih bersama dan semua baik-baik saja. Terbang di atas punggung pegasus, membumbung tinggi di langit, dalam ketegangan mereka pergi menuju Los Angeles.

Kemudian, saat ini, mereka berpisah. Terpencar bagai orang asing yang tak saling mengenal. Aneh. Aneh. Aneh.

Hazel hanya berdua, dengan Jason, mantan praetornya dulu. Jason yang kini tampak murka, dengan wajah merah padam menyeretnya menjauhi yang lain.

Hazel tidak mengerti. Tiba-tiba saja mereka bertengkar, membuat kubu masing-masing, saling memojokkan, saling membenci, kemudian saat ini mereka terpencar.

Hazel kembali teringat omelan Annabeth ketika Percy dan Leo sama-sama bercanda, berniat mencairkan suasana tegang yang tercipta. Bisa nggak, sih, kalian sehari saja tidak konyol? Begitu katanya.

Percy merengut dan membalas, kau juga serius terus! Kali-kali santai sedikit, kan, bisa? Jangan sombong hanya karena kau pemimpin misi ini!

Kemudian mereka bertengkar hebat dan semua itu merembet kemana-mana. Keduanya mendadak saling melemparkan tuduhan macam-macam, mengatakan kesalahan-kesalahan mereka semua secara menyebalkan.

Hazel pergi bersama Jason karena cowok itu beranggapan hanya Hazel yang dapat dipercaya, pasalnya, Hazel tidak melibatkan diri. Dia hanya diam saja. Annabeth bersama Piper dan Reyna, mereka sejak awal sudah bagaikan satu jiwa. Percy bersama Frank, Leo, dan Grover yang memang membelanya habis-habisan (sungguh, Hazel tidak tahu kenapa Frank lebih memilih Percy). Dan Sienna pergi bersama Nico, entah karena apa mereka memilih pergi berdua padahal sejauh yang Hazel amati, Nico nampaknya tidak lagi menyukai Sienna semenjak di Roma Baru.

Hazel merasa gelisah, Jason tak kunjung buka suara, bahkan kedua pegasus pun bungkam. Hazel merindukan Arion--- kuda ajaibnya. Mereka terus terbang ke arah--- semoga saja ---Los Angeles. Menuju pintu Dunia Bawah.

"Hazel," panggil Jason. "Kita turun dulu."

Hazel mendesah lega, dia juga sudah pegal harus duduk berjam-jam di atas punggung kuda. Terlebih lagi, dia butuh hiburan, apapun itu, sesuatu yang bisa menenangkannya.

Mereka menukik turun pada lapangan terbuka. Hazel tidak tahu ada dimana mereka, dia tidak peduli.

"Aku akan ke kota," kata Hazel. "Membeli beberapa camilan."

"Oke."

Hazel mengernyit kala mendengar jawaban Jason yang ketus, akan tetapi dia mengabaikannya. Gadis itu pergi mencari toko camilan.

Pergi ke kota adalah pilihan yang buruk, entah bagaimana keadaan begitu kacau. Orang-orang saling baku hantam, saling mencaci maki, bahkan keluarga yang bertengkar hingga terdengar sampai keluar rumah. Mungkin, seharusnya itu biasa. Iya, biasa, seandainya yang terjadi tidak secara keseluruhan. Seluruh kota kacau, benar-benar kacau. Seolah kasih sayang telah lenyap tak tersisa.

Hazel takut, dia melirik ke sana-sini, mencari penunjuk waktu. Gawat. Hanya tinggal empat jam sebelum matahari terbenam dan kegelapan menyelimuti. Firasat Hazel benar-benar tidak enak, dia segera berbalik, berlari kembali pada Jason.

Dalam tiap langkahnya yang terburu, Hazel teringat mimpinya. Mimpi yang tak pernah dia ceritakan pada teman-temannya.

Bukan kalian yang akan menyelamatkanku, Levesque. Kata suara lembut itu dalam benaknya, suara yang dia dengar dalam mimpinya. Teruslah pergi dan tetaplah saling percaya.

Mimpi itu bukan mimpi yang mengerikan, bukan pula mimpi yang mendatangkan rasa gelisah. Itu mimpi biasa. Hazel berada di sana, memandang jeruji besi tanpa bisa melakukan apa-apa, dia bahkan tidak bisa melihat siapa yang ada di sana. Hazel hanya bisa mendengar suaranya, suara yang mulai bernyanyi dengan sedih, dan Hazel pun merasakan energi--- siapa pun itu ---mulai melemah di dalam sana.

Tenth Demigods: The Daughter of HypnosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang