Chapter 1

148 2 0
                                    


Andika membuka mata, merasakan udara malam yang masih sangat muda. Ia terbaring di kasurnya, lalu melirik jam, ternyata maghrib baru lewat beberapa belas menit.

Perlahan dia bangkit, memandang pantulan tubuhnya di kaca. Menelusuri jejak rambutnya yang ikal, menelusuri kulitnya yang sulit hitam meski dijemur berjam-jam. Menelusuri matanya. Bertatapan dengan bayangannya. Begitu lama hingga tak bisa lagi diduga siapa memandang siapa.

Matanya. Mataku. Dia tersenyum, sedikit bangga dengan matanya. Matanya adalah salah satu bagian wajah yang dia suka karena—seperti beberapa teman berkata—matanya selalu bersinar hangat dan ramah tapi sekaligus begitu dalam.

Ia memandangi bayangannya di cermin, berhitung dalam hati, satu sampai dua puluh. Usianya saat ini. Aku sudah duapuluh tahun, aku baru duapuluh tahun. Aku adalah anak tunggal, dari orangtua tunggal. Aku selalu sendirian. Memang benar, ayahnya meninggal ketika dia masih kecil dan ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi.

Saat itu—saat kematian ayahnya—dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Mungkin pada akhirnya dia mengerti karena melihat tiga hal: ibu menangis. paman meremas bahunya dari belakang, dan bibinya terisak. Dari sana dia sedikit mengerti. Sebab hanya kematian yang bisa membuat ibunya menangis seperti itu. Hanya kehilangan yang bisa membuat bibinya terisak seperti itu, dan hanya ketabahan yang dititipkan pamannya dalam remasan seperti itu.

Tapi Andika sebenarnya tidak selalu benar-benar menjadi anak tunggal. Karena dia pernah punya adik. Satu. Perempuan. Selisih empat tahun dengannya, dan hanya sehari umurnya. Ia masih bisa ingat mata adiknya yang jernih walau belum pernah benar-benar sempat terbuka. Lalu tentang tangannya yang begitu kecil dan selalu mengepal. Tentang kulitnya yang kemerahan, dan tentang bibirnya yang rapat.

"Adikku cantik." Demikian ucapnya berulang-ulang meski dia belum begitu paham apa itu cantik. Baginya cantik adalah perempuan dan perempuan adalah cantik. Andika tidak pernah mau berpikir rumit.

Didengarnya langkah ringan di luar menggesek karpet. Langkah ibunya, dia tahu apa yang akan ibunya katakan, tapi dia menunggu. Lalu benar, dari luar terdengar ketukan di pintu kamar dan suara ibunya, "Dika, bangun! Sudah maghrib..."

Dia memandang sekali lagi bayangannya di cermin, sejenak dia merasakan lagi kesendirian itu. Beberapa hari terakhir ini memang rasa itu menyergapnya lagi. Rasa sepi yang kadang begitu temaram. Aku sendirian, selalu sendirian...

Dia bangkit, meninggalkan bayangannya di cermin, lalu membuka pintu.

*****

Malam itu, dari kamar Andika ada suara biola mengalun. Sangat halus. Menemani malam yang begitu sempurna. Sempurna sunyinya, seolah semesta sepakat diam untuk mendengarkan alunan biola tersebut.

Jika ada seorang pelukis menuangkan kesempurnaan malam ini dalam kanvasnya, maka pastilah di sana ada goresan kegelapan yang halus, ada bulan purnama di langit, ada bintang berkelip-kelip, ada sebuah rumah dengan jendela kamar yang terang, dan di jendela itu ada siluet lelaki dengan biola di bahu kiri. Di sanalah biola yang bersuara itu berada, di bahu kiri. Dipandangi dengan tegas olehnya, dan sudah setengah jam digeseknya, hingga sampai pada nada-nada yang sudah dia hapal di luar kepala.

Dia memiliki biola itu sejak SMA. Hadiah seorang tua buta—Andika tidak tahu namanya, dia memanggilnya Opa—yang ditolongnya ketika orang itu hampir tertabrak mobil. Selain memberikan, orang tua itu juga mengajari cara memainkannya. Dia cepat belajar. Dua kali seminggu—hingga sekarang ketika dia sudah mahir pun—dia kunjungi Opa untuk terus belajar atau hanya sekedar berbincang.

Lewat Opa, Andika mengerti ternyata tidak selalu butuh mata untuk memahami nada. Diperlukan juga hati dan perasaan. Kedua hal yang Andika miliki.

Waktu SMA, tidak mudah menjadi seorang remaja dengan kesukaan pada musik klasik sementara teman-temannya berebut menjadi anggota band. Para gadis tampaknya lebih suka pada lelaki yang terampil memainkan gitar listrik dan bukan biola. Ia juga bukan sosok remaja yang populer. Mungkin karena sifatnya, mungkin karena musiknya, Andika lebih banyak menarik diri dan menyendiri. Kegiatannya kala itu lebih bisa ditebak: Membaca buku, dan menghabiskan waktu berlatih biola. Itu saja.

Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang