Chapter 12

16 2 0
                                    

Mendekati malam, di luar hujan turun cukup lebat. Tapi Anjeli tidak terlalu memperhatikan itu. Di kelopak matanya masih terbayang pandangan Andika saat berkata "...aku terinspirasi kapan harus menggesek biola." Pandangan itu begitu dalam, bukan bernafsu, tapi berterimakasih. Pandangan yang penuh respek dan kekaguman, bukan pandangan melecehkan atau merendahkan.

Maka Anjeli bertanya-tanya. Sebegitu pentingkah sosokku pada alunan nada seorang Andika? Sebagai perempuan dia jelas merasa dihargai, tapi apakah penghormatan yang Andika berikan tidak berlebihan? Sedang Anjeli merasa bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa.

Terlebih lagi tidak pernah merasa membutuhkan lelaki, maka dia selalu berharap tidak ada laki-laki yang membutuhkannya. Tapi Andika mengatakan kalau dia membutuhkan Anjeli untuk mengejar lagi nada-nada yang sempat hilang.

"Hai, jangan melamun!" tepukan di bahu menyadarkan Anjeli. Ternyata ibunya. Sudah siap pulang.

"Ibu pulang duluan ya, beneran kamu nggak mau ikut bareng?"

Dia menggeleng, "Nggak, mau bantu yang lain beres-beres, boleh kan?"

"Boleh, hati-hati pulangnya ya, naik taksi saja!"

Dia mengangguk dan menatap ibunya yang menghilang di balik pintu kaca. Sudah jam setengah sebelas. Beberapa pegawai masih mengepel dan membersihkan sisa-sisa makanan. Panggung kosong, perlahan dia berjalan ke panggung itu dan duduk di kursi bekas kuartet biola tadi.

Masih terasa hangat.

Dari ketinggian ini, dia bisa melihat café dengan sudut pandang berbeda. Memang nyaman memandang sesuatu dari sudut berbeda. Kita seperti menemukan dunia baru.

Kini dia memandangi jalanan yang terbias dari jendela kaca. Sepertinya di luar hujan. Dia merasa nyaman dan tak khawatir ibunya kehujanan, sebab ibunya pasti sudah di dalam taksi sekarang. Penat. Sebenarnya Anjeli ingin segera pulang dan tidur. Tapi ada keengganan meninggalkan café ini. Ada apa? Sekarang dia merasa punya alasan untuk tidak segera pergi. Bukankah di luar hujan? Trotoar di depan berangsur basah. Kalau saja dia keluar, hujan tak akan memilih tempat jatuh di luar tubuhnya.

Dia menoleh ke arah ruangan merokok. Masih ada pelayan—pelayan baru, Anjeli tidak kenal namanya—yang membuka jendela, mengeluarkan asap dari sana. Sementara di salah satu kursi, masih duduk seorang penyanyi yang tadi tampil bersama kuartet biola. Dia masih muda. Laki-laki. Tanpa kumis, hanya janggut tipis. Kemeja yang kancing-kancing atasnya tidak terpasang, dan jasnya terhampar di pegangan kursi. Penyanyi itu menunduk dan memetik gitar, mengulang lagu yang tadi dia bawakan.

Anjeli mendengarkan seksama, rasanya dia lebih meresapi lagunya dibanding ketika tampil tadi. Mungkinkah ketika bernyanyi di panggung dia hanya ingin memuaskan pengunjung, dan sekarang dia bernyanyi untuk memuaskan hatinya sendiri? Apakah lagu itu punya arti sendiri baginya? Ya, mungkin lagu itu punya arti untuknya. Anjeli yakin lagu itu akan berterimakasih kalau bisa. Sebab lagu itu merasa tersanjung.

Lalu teringat dirinya sekarang. Baru sadar kalau beberapa jam yang lalu ada seorang lelaki seumurnya mengatakan kalau Anjeli sangat berarti, Anjeli bisa menghidupkan lagi nada-nada yang mati, mendentingkan lagi senar-senar biolanya, menggerakkan lagi kekasihnya.

Apakah aku harus berterimakasih pada Andika? Anjeli menarik nafas. Berat. Sepertinya dia harus pulang walau masih hujan. Dilihatnya penyanyi tadi masih terpejam memainkan lagunya. Di balik taburan asap tipis yang disedot udara luar, Anjeli seperti menemukan sosoknya.


(bersambung)


Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang