Chapter 17

12 1 0
                                    

~ Monolog Andika ~

Namaku Andika dan kali ini giliranku bicara. Baru dua jam yang lalu aku memberikan penampilan pertamaku di Makonai Ice Skating Arena. Hari pertama sebagai concert master jelas membuatku gugup, tapi semuanya berjalan lancar. Huh, Thanks God!

Kalau saja kalian tahu, ada perasaan berbeda ketika Four Season mengalun, mengalir, memenuhi gedung. Memang pada awalnya ketika memainkan bagian Winter kami masih gugup, tapi beberapa gesekan setelah itu semua baik-baik saja. Dibawakan dengan tempo Largo, bagian ini bisa menyedotmu ke alam bawah sadar kalau saja kau ikuti dengan perasaan.

Aku lebih suka memainkan bagian Spring. Entahlah, seperti ada perasaan riang memainkan ketukan-ketukan cepat. Seperti ada yang mengajak hati kita menari, menghentakkan kaki dan tertawa gembira.

Sering ketika aku memainkan bagian ini aku berpikir, mungkinkah kebahagiaan itu abadi?

Dan waktu berlalu. Kini aku ada di kamar hotel ini. Hotel Maruyama, lantai empat. Mungkin aku mulai menyukai Jepang, aku suka makanannya, aku suka kegesitan orang-orangnya. Sepanjang sore aku berjalan-jalan menyusuri trotoar dan tidak ada yang kulihat kecuali kecepatan. Sepertinya orang-orang di sini berkejaran dengan detik jam.

Kini kembali malam, harusnya aku sudah istirahat karena besok ada latihan, dan malamnya kami konser lagi. Tapi aku tidak mungkin bisa istirahat karena aku menyukai malam, rasanya malam di langit Jepang tak ada bedanya dengan langit malam yang biasa kulalui. Mungkin aku merasa langit di sini agak lebih bersih saja.

Dari earphone aku mendengar sebuah musik, mungkin lebih mirip musik tradisonal pengiring Kabuki atau apapun, seperti gabungan alat-alat musik tiup yang serempak. Rasanya pantas bila diiringi tarian dengan langkah lincah satu-satu, baju cerah dan hiasan kepala burung elang (Entahlah, mendadak aku berimajinasi seperti itu. Kadang malam membuat siapapun bisa melamun dengan baik.)

Kaset itu kubeli di sebuah stasiun kereta bawah tanah, di depan seorang pengamen yang memainkan flute dan di sampingnya ada yang memainkan saxophone. Lima yen, dan kita disuguhi sebuah pernikahan alat musik yang pas sekali. Dan kukira unik, berapa banyak sih pengamen yang tidak meminta uang tapi menganjurkan untuk membeli CD mereka (mereka menuliskan itu di sebuah papan di samping mereka, katanya "Dengan sangat hormat bila ingin menyumbang jangan memberi kami uang, tolong beli CD kami saja, hanya lima yen, dan jangan lupa tersenyum pada semua orang hari ini"). Sebuah pesan yang sangat manis, maka itu aku tertarik mengambil kasetnya, tentu saja sambil tersenyum.

Di bawah sana ada sebuah taman yang jadi café terbuka. Karena cuaca cerah maka meja-meja tidak terlindungi apa-apa, biasanya bila siang hari ada payung di tiap meja. Dari sudut jendela ini aku bisa melihat lampu taman yang hijau kebiruan menebar cahaya ke seluruh penjuru café. Sementara pelayan berseragam biru-biru berdasi kupu-kupu hilir mudik mengantarkan pesanan. Sekilas aku jadi ingat sebuah café temaram di tengah kota. Café yang selalu menyajikan musik setiap malamnya. Ada kesamaan atmosfir, ada kesamaan gerak.

Apakah memang café selalu seperti itu?

Tidak, setidaknya mungkin tidak, aku pernah masuk ke beberapa café dan kadang mendapati ketidakramahan, remah-remah makanan yang tercecer, juga pengunjung yang berbeda wajah.

Kapan ada café pertama? Pertama kali Tuhan menciptakan manusia, lalu apakah Dia menyuruh manusia menciptakan café? Rasanya tidak, tapi Tuhan menganugerahkan pada manusia kemampuan menciptakan kegembiraan sendiri.

Jadi apakah di dalam sebuah café manusia bisa bahagia? Bisa jadi. Karena café biasanya menyajikan apa yang diinginkan manusia. Makanan ringan, minuman panas, minuman dingin, pelayan penuh senyuman. Semua tinggal pilih dengan melambaikan tangan. Tapi aku pernah melihat pasangan yang bertengkar di dalam café, apakah mereka bahagia? Aku juga pernah melihat pasangan yang saling mengisyaratkan cinta di dalam café, apakah mereka akan abadi?

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Makanya aku suka bertanya-tanya ketika dongeng anak-anak mengatakan di akhir cerita

"...lalu mereka menikah dan hidup bahagia selamanya."

Betulkah itu? Bukankah tidak ada yang bisa bahagia selamanya? Sekalipun keduanya saling cinta.

Kini aku duduk di sebuah negara yang jauh, setidaknya untuk tiga minggu ke depan aku akan tidak melihat kota dimana Ibuku ada. Juga, ya... dimana Anjeli ada. Kenapa namanya harus muncul?

Pernahkah dia jatuh cinta? Maksudku Anjeli...

Aku sudah pernah pertanyakan itu padanya tapi dia tidak menjawab. Padahal aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya sekedar bertanya. Kalau aku, sudah pernah tiga kali. Pertama pada Tuhanku, kedua pada ibuku, ketiga pada biolaku. Mungkin aku sok romantis, mungkin aku sok religius, tapi apakah itu salah? Semua orang memiliki cinta, semua orang dititipi cinta, semua orang selalu berusaha mencinta. Pertanyaannya ada yang gagal ada yang tidak.

Lalu kepada Anjeli? Sekali lagi aku harus membahas ini sendiri, apakah aku jatuh cinta? Aku tidak berani mengatakan apa-apa. Tapi memang kehadirannya membuat melodiku tumbuh lebih baik dari sebelumnya, lebih baik dari yang lainnya. Ada yang berkata cinta bisa menjadi pemicu yang baik bagi potensi diri, dan aku bukan profesor cinta, aku hanya tahu bila aku jatuh cinta maka kekasihku akan tiba.

Mungkin memang harus aku tanyakan sendiri padanya, sebab tak ada sesuatu yang jelas bila disimpan rapat-rapat. Mudah-mudahan sepulangnya aku dari tempat ini aku bisa bertemu dengannya dan bertanya tentang sebuah cinta.

Semoga saja...

Aku menutup jendela, melirik jam. Sudah jam setengah dua belas. Mungkin aku memang harus tidur. Maka kumatikan lampu kamar dan berbaring.

Detik itu aku merasa makin jatuh cinta.


(bersambung)




Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang