Chapter 20

23 2 0
                                    

Ada yang peduli pada kehilangan yang sungguh terjadi. Setidaknya Andika peduli. Semuanya begitu cepat, adakah kesedihan yang lebih tajam daripada kehilangan yang datang begitu tiba-tiba? Begitu menyentak?

Lalu Andika mendapati dirinya berjalan menuju sebuah alamat. Dia mendapatkannya ketika dia mengunjungi café temaram itu lagi. Ibunda Anjeli yang memberikannya. Katanya, "Ada yang mau ketemu kamu..." itu saja, tidak ada informasi lagi, tidak ada lanjutan lain kecuali secarik kertas berisi alamat.

Lalu Andika tiba disana, mengetuk pintu, agak lama pintu terbuka, dan...

"Anjeli?" Suaranya tercekat, nadanya tidak selesai. Antara ingin bertanya atau memaki-maki, antara ingin terus ternganga atau meminta konfirmasi.

"Bukan," sosok itu tersenyum, "Saya Devi, kakaknya. Silahkan masuk..."

Devi memundurkan kursi roda, memberi ruang bagi Andika untuk masuk. Andika yang masih terhipnotis agak lambat bergerak, tapi tak urung dia masuk juga. Sambil melangkah masuk matanya tak lepas dari sosok Devi. Dia cukup takjub dibuatnya. Gila, mirip sekali! Tapi dia tetap bukan Anjeli!

"Duduk... silahkan."

Andika mengangguk pelan, lalu duduk di salah satu sofa. Tapi lalu tercipta keheningan, sampai Andika bicara

"Saya... Andika..."

"Akhirnya kita ketemu ya, soalnya Anjeli sering cerita soal kamu." Devi menggeser kursi rodanya hingga berhadapan sejajar, hanya terpisah sebuah meja

"Kak, saya..."

"Tidak usah pakai kak! Saya dan Anjeli memang kembar, umur kita sama, tapi kalau kamu panggil dia dengan sebutan biasa-panggil nama, panggil kamu, atau sejenisnya-ya saya juga tidak keberatan. Agak terlalu formal rasanya."

Andika tersenyum, lucu juga. Devi meminta suasana tidak dibuat formal sementara dia sendiri sedang bicara dengan susunan kata yang menurut Andika cukup formal. Tapi terserah dia lah!

"Saya, ketemu ibu di café dan dia bilang... ngg... kamu... mau ketemu."

Devi mengangguk "Iya, saya cuma mau ketemu dan ngobrol soalnya beberapa bulan sebelum Anjeli meninggal dia terus bicarakan kamu. Hampir setiap hari," Devi mengambil nafas sejenak, "dan itu bukan sifatnya, dia sebenarnya acuh sama laki-laki-mungkin terbawa oleh saya, saya sering ajari dia begitu-tapi rupanya itu tidak berlaku untuk seorang Andika, saya cuma penasaran, orang seperti apa sih yang buat adik saya begitu..."

Andika ikut tersenyum, mencairkan suasana "Memangnya dia cerita apa?"

"Ya sebenarnya sederhana sih, bukan sesuatu yang spesial. Cuma-misalnya-hari ini dia ketemu Andika di luar jadwal manggung, hari ini Andika mainnya lagu ini dan ini, hari ini Andika telat datang, hari ini Andika menemani dia sampai café tutup. Hal-hal sederhana yang kalian lakukan. Tapi, kalau hampir tiap hari kita dengar nama yang sama, mau tidak mau kita yakin kalau... kamu itu spesial. Itu yang buat saya penasaran." Devi berhenti sejenak "Tapi untungnya hari ini kita bisa ketemu."

Andika mengangguk, "Saya hampir mengira tadi saya ketemu Anjeli dengan kursi roda, saya berharap berita dia meninggal itu bohong, saya berharap kecelakaan itu cuma buat dia... yah... intinya saya berharap dia masih hidup."

Dari dalam muncul pembantu yang menyediakan minuman dan kue. Pembicaraan mereka terputus sejenak. Ketika pembantu itu pergi Devi bergerak mempersilahkan Andika, Andika mengangguk dan mengambil sepotong kue.

Devi lalu bicara, "Kamu tahu bagaimana Anjeli meninggal?"

Andika termangu, "Ditabrak mobil?"

Devi mengangguk, "Sejak saya tahu arti sebenarnya dari kembar, saya sudah tahu kalau ini mungkin saja terjadi pada Anjeli..."

Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang