Chapter 26

11 0 0
                                    

Pada sebuah malam, Andika berjalan-jalan sendirian. Masih dicobanya mengosongkan pikiran, mendengarkan suara yang tak terdengar. Tapi gagal. Sampai saat ini ke dalam gendang telinganya hanya terdengar suara-suara yang biasa. Maka dia memutuskan untuk jalan-jalan, mungkin lewat udara luar dia bisa mengerti apa yang sesungguhnya dia cari.

Senja sudah lama lewat, kota sudah ditaburi lampu-lampu berhias. Dia mengenang, ini sama dengan ketika aku pertama kali menginjakkan kaki ke café temaram itu. Sekilas wajah Anjeli melintas tapi segera dia tepiskan. Tidak baik berkubang dalam kenangan. Tapi bukankah orang yang sudah tidak ada hanya bisa hidup dalam kenangan? Kalau kenangan itu kita hapus, mau di mana lagi dia hidup?

Tapi kini dia menikmati malam yang berbulan. Hampir penuh, menemani seiring cahaya lampu jalanan yang berpendar seperti kunang-kunang yang terbang. Garis bangunan yang seiring jalan, perspektif pada satu titik dan menghilang di cakrawala. Andika merasa jalan ini terlalu panjang, dan bila kita menatap ujungnya pada saat matahari terbenam, tampak matahari merah tepat di sana. Seolah jalan ini menuju ke arahnya.

Kota yang indah, ada banyak kenangan, ada banyak suara. Tapi aku tidak ingin mendengar suara yang biasa.

Angin malam membunyikan kerincingan kecil di muka sebuah toko yang tutup. Kemana pemiliknya? Sementara dari jendela di atasnya Andika melihat sebuah wajah muncul. Dia tidak kenal, tapi mereka berpaandangan, tidak lebih dari dua detik. Hei, bisakah aku bertanya padamu tentang suara yang tak terdengar? Atau apa kau pernah mendengarnya?. Entah apa yang menahannya tidak menanyakan itu, padahal mereka masih saling bertatapan.

Andika berhenti sejenak, bersadar pada sebuah tiang. Memandangi arus jalan yang tak pernah sepi. Ah, apakah kota ini pernah tidur? Lalu diliriknya ke kanan, ada etalase sebuah toko buku, toko buku tua yang buku-bukunya pun sudah mulai menguning. Andika yakin isi buku itu akan lebih awet daripada sampulnya. Mungkin malah lebih baik tidak dituliskan namun tetap tersimpan dalam kenangan sampai ajal datang.

Di sana juga ada beberapa puisi. Andika jadi ingat lagu-lagunya. Bisakah puisi itu masuk ke not-not yang sudah ada? Berapa banyak yang sudah dia buat? Ternyata cukup banyak, berapa banyak yang dia buat untuk ibunya? Ternyata juga sudah cukup banyak, lalu berapa banyak yang dia buat untuk Anjeli?

Belum satupun.

Maka ini dia berdiri di sebuah malam, memandangi sebuah bulan. Mencari jawaban, mencari tahu ada apa dengannya. Lihat, bahkan Andika pun tidak mengenali diri sendiri, tidak tahu apa yang terjadi pada hatinya. Padahal dia hanya punya satu keinginan, dia ingin memenuhi janji pada Anjeli. Lain tidak. Tapi kenapa begitu sulit? Apakah ada yang bergeser dari cara berpikirnya? Atau nada-nada itu betul-betul sudah pergi?

Ah, Andika mengusap pipinya, merasakan air mata yang dulu pernah mengalir. Kini memang hanya dalam imaji, tapi terasa nyata. Tiba-tiba bahunya tertabrak seorang lelaki, seperti mengisyaratkan untuk terus melangkah. Andika berjalan pelan sambil membayangkan segumpal hati yang berisi cinta tak sampai, hati yang dipaksa jatuh pada realitas, seakan tak cukup jatuh, hati itu diremasnya menjadi serpih.

Oleh siapa? Apakah oleh pemiliknya?

Lamat-lamat sebuah sosok tertangkap mata. Apakah itu Opa? Dia berdiri di balik kabut asap tipis, dalam sebah gang sempit. Entah apa yang membuat Andika langsung mengasumsikan bahwa sosok itu adalah Opa. Setengah berlari dia menghampiri. Semakin dekat, semakin dekat, makin jelaslah sosok itu.

"Opa?"

Terdengar kekehan, "Kamu mencari Opa lagi Andika?"

"Tidak, kita kan kebetulan ketemu di sini?"

"Ya, terserahmu lah, dasar tidak bisa dinasihati!" Andika melihat senyuman di bibir Opa, dia tidak marah. Memang gaya Opa seperti itu.

"Opa sedang apa di sini?"

"Baru dari rumah sakit, check up. Kamu lagi apa di sini?"

"Cuma jalan-jalan."

Mereka berhadapan, Andika memandangi sosok Opa, seperti biasa dia kelihatan begitu sederhana, termasuk pemikiran dan rencananya. Memandang Opa Andika sama sekali tidak memandang nafsu atau keinginan yang berlebihan. Pantas Opa selalu kelihatan tenang, tak ada sesuatu pun yang jadi kejarannya. Dia cuma menikmati hidupnya.

"Bagaimana dengan lagumu?"

Andika terdiam. "Belum."Aku harus bagaimana Opa?"

"Berhenti berpikir, dan rasakan. Cuma itu. Sudah ya, Opa mau pulang!"

Sebelum sempat dicegah Opa sudah menyebrang, langkahnya mantap seperti bukan tunanetra saja. Andika tidak menyusul, hanya memandangi dari jauh. Ada perasaan aneh yang menggelitik. Keinginnya untuk berjalan-jalan, kota yang sepi, pertemuannya dengan Opa, pesannya. Seperti ada yang memberi petunjuk, seperti ada yang mendukung diam-diam, seperti ada yang mengikuti.

Sebuah suara yang tidak terdengar. Sepertinya Andika berangsur merasakan, telinganya bisa menangkap getaran-getaran itu. Ternyata suara itu ada di sekitarnya, ternyata dia terlingkupi tanpa perlu payah mencari. Hanya saja Andika belum bisa mendengarnya, suara itu masih berjalan bebas, memenuhi udara. Tapi pasti akan terbentuk juga satu saat nanti.

Perlahan Andika merasa cerah, dia tidak sendiri. Ada yang membantu memecahkan teka-teki itu. Siapapun. Andika ingin tahu, tapi mungkin nanti setelah janjinya terpenuhi. Sementara dari sudut berdirinya, Andika memandang bulan tak penuh, seakan bergantung pada sebuah pohon, seakan bayangan semu yang mencipta keindahan sebagai bagian dari dahan pohon itu.

Andika tersenyum, suara itu akan seperti itu. Mencipta bayangan di sosoknya. Sebentar lagi Anjeli, sebentar lagi.


(bersambung)


Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang