Chapter 3

34 2 0
                                    


Sudah dua hari biola itu mati. Tidak ada nada yang keluar. Ataupun kalau keluar, tidak lebih dari cericit tak nyaman di lubang resonansi. Entah kenapa dua hari ini ia menemukan suara-suara yang keluar dari dawainya mendadak tidak berarti, padahal dia sudah berkonsentrasi.

Ke mana kekasihku? Ke mana kekasihku?

Kini ada suara bertanya, memanggil-manggil dari dalam hati. Kini ada Andika di kamarnya, menghadap jendela, menatap langit. Langit itu begitu kelam, padahal malam pun masih terlalu awal. Tadi sore langit masih merah, tapi kini kelam. Kata seseorang, langit itu seperti keemasan, tapi Andika beranggapan merah adalah merah. Merah bukan keemasan dan tidak mungkin menjadi keemasan.

Rumah itu terasa sepi. Memang sudah tak ada suara. Ibunya yang biasa ada kini lelap di kamar tengah. Tinggal Andika. Gelisah. Hatinya terasa basah.

Mungkin matanya sekarang sudah merah, tapi bukan mengantuk atau sudah menangis. Andika merasa matanya pedih, mungkin tertiup angin yang berdebu. Entahlah, sudah lama dia mematung di pinggir jendela. Memandangi langit dan udara. Merasakan belaian angin yang menjadi dingin, mengatakan dengan sepoi

Kemana kekasihku? Ke mana kekasihku?

Andika tidak tahu. Ke mana kekasihnya pergi.

Memang ada yang pernah berkata suasana hati mempengaruhi nada-nada yang keluar dari dawai. Tapi Andika tidak pernah menyangka akan separah ini. Imajinasinya hilang, jarinya kaku, biolanya beku. Entah ada apa

Maka tidak ada yang biasa dilakukannya kecuali membiarkan jemarinya saling mengetat di balik lipatan ketiak yang lebih hangat, dengan pundak yang mengerut mengusir hawa beku ditemani secangkir susu coklat hangat dengan kilauan cahaya pada tepi cangkirnya, yang secara senyap mengepulkan uap yang memecah dinding dingin.

Ternyata itu pun tidak cukup. Andika lalu melangkah ke luar kamar, dilongok ibunya yang pulas di sofa. Kening perempuan tua itu dikecupnya, dia tidak terbangun, hanya bergerak sedikit. Mungkin dia sedang bermimpi tentang masa muda. Lalu Andika melangkah ke luar rumah. Ayunan pintu membuat angin sedikit masuk, ditolehkan lagi kepalanya ke arah sofa, ibunya masih pulas.

"Ibuku, tertidur dalam tersedu!"

Kini dia ada di jalan, mendapati dirinya sedang mengukur jalan setapak. Malam masih awal, mungkin jam tujuh atau setengah jam setelahnya. Andika tidak pernah mengenakan jam, padahal dia punya satu—hadiah ulang tahun dari ibunya—sebab menurutnya tangan yang tidak tergantungi apa-apa terasa lebih bebas.

Dia terus melangkah sambil bersenandung. Lirih. Tipis. Tanpa tujuan. Hanya mengikuti telapak kaki, menembus malam di atas trotoar yang bersinar karena lampu-lampu jalanan.

Dari titik manapun di tempat kaki menapak, terlihat kota ini seperti bergerak sendiri. Neon berwarna, lampu lalu lintas, lampu gantung. Cahaya. Warna. Tegas. Samar. Mengiringi langkah-langkah yang tergesa maupun yang terseret manja.

Andika tersenyum. Sejak kecil dia ada di kota ini dan selalu mengarungi trotoarnya, juga melewati rambu-rambunya. Tapi sampai sekarang dia tidak pernah bisa benar-benar mengenali kotanya. Mereka bergerak seperti enggan dikenali. Terlalu cepat menghimpun wajah-wajah atau nafas baru, dan membuang yang sudah usang.

Ah, kadang Andika berpikir mungkin dia juga termasuk wajah usang yang sudah terbuang. Kadang dia sedih bila memikirkan itu, dia ingin menangis di tengah malam, di atas trotoar, di tengah kota yang mungkin sudah membuangnya.

Tapi kenyataan berkata dia masih ada di sini, dan udara yang dihirupnya juga masih mengantarkan wangi (bau?) yang sama. Malam masih terlalu awal untuk disesaki dengan air mata, tapi kita tidak pernah benar-benar tahu, berapa air mata yang tumpah dalam udara ini.

Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang