Chapter 19

20 0 2
                                    

Kini dia ada di sini. Sendiri, di sebuah tanah merah yang masih terlihat baru. Padahal sudah dua minggu. Ada tulisan di nisannya, Anjeli Prastarini. Andika merenung. Bahkan aku tidak pernah tahu nama lengkapmu.

Prastarini. Pantas kau sering menanalogikan dirimu sebagai bintang di langit, kiranya ada unsur bintang di namamumu? Andika tersenyum. Sepi. Dia memandang sekeliling, senyap. Tentu saja, ini di tanah pekuburan, apa yang kita harapkan ada di sini kecuali barisan nisan dan pohon kamboja?

Apakah mereka masih ada yang mengingat? Mungkin juga masih mungkin juga tidak. Andika memandang nisan-nisan yang mengkilat, Andika memandang nisan yang sudah berlumut. Apakah beda mereka? Andika memandang nisan yang bercungkup dan bermamer, betapa megahnya. Mungkin si mati saat masih hidup tidak pernah memperoleh penghormatan seperti itu, justru ketika dia sudah jadi jasad mati kuburnya diperbagus. Apa gunanya? Toh siksa kubur tak akan berkurang karena nisanmu dari marmer terbaik.

Andika memandang tanggal-tanggal. Begitu banyak yang mati, setiap hari. Apakah ada lingkaran di kalender tepat di hari kematiannya, sekedar pengingat seluruh keluarga bahwa mereka pun akan mati seperti dirinya? Apa yang mereka lalukan dalam hidup? Apa yang mereka tinggalkan? Apakah sekarang mereka hanya jadi batu bernama tak berpengunjung?

Seorang wanita berpayung merah tampak berjalan menyusuri deretan makam dan berhenti lama di sebuah nisan. Dari sudut mata Andika bisa melihat separuh wajah wanita itu, sembab. Ada bandana putih mengikat rambutnya yang sepinggang, bajunya warna kuning pudar. Dengan warna-warna cerah seperti itu tetap tak bisa menghapus warna kesedihan di wajahnya. Sesedih apakah dia? Andika berpikir. Makam siapa itu? Keluarga? Sahabat? Kekasih? Mungkin orang yang statusnya berbeda, Tapi apakah rasa kehilangannnya tetap sama? Kini wanita itu menaburkan bunga, lalu mengelus nisan. Andika berpaling, dia tidak ingin larut.

Perlahan dia berjongkok, tangannya mencoba mengelus nisan seperti wanita itu, mendadak dia jadi merasa romantis. Entahlah, seharusnya bukan romantis tapi sedih kehilangan sahabat. Sahabat? Bukankah aku jatuh cinta padanya?

Serentak Andika berlari pulang, pikirannya hanya satu. Ingin segera kembali ke rumah. Ingin mengambil biolanya dan menangkap kesedihan ini, lalu memainkannya untuk Anjeli.

Sebab kesedihan adalah kesedihan. Tidak perlu dipertanyakan ulang atau didefinisikan. Andika hanya tahu Anjeli sudah tidak ada. Tidak perlu dia tahu kenapa, dan oleh siapa. Kalau tadi di hadapan ibunya Anjeli, seorang Andika bisa menahan perasaan, kini sudah tidak mungkin lagi. Tapi Andika pun tak mampu menangis secara tiba-tiba. Perlu alasan yang kuat untuk menangis bagi seorang laki-laki. Dan Andika laki-laki.

Kadang dia merutuki diri sendiri, tidak cukupkah kehilangan sahabat yang kau cintai membuatmu menangis? Dia sudah pernah merasa kehilangan, pada ayahnya—yang ditandai isakan ibunya dan remasan tangan paman di bahunya—jadi dia sudah mengerti betapa menyesakkannya sebuah rasa kehilangan.

Betapa menyedihkannya ketika kita tidak bisa bercengkrama lagi padahal kemarin kita masih tertawa-tawa bersama.

Kini Anjeli, mungkin karena ini kehilangan pertamanya saat dia sudah paham akan dunia. Maka Andika merasa lebih sesak. Tanpa Anjeli mungkinkah dawainya akan bergetar lagi? Sedangkan Anjeli sudah menghidupkan nafas biolanya, mampu membuat Andika menemukan lagi kekasihnya?

Entahlah. Kini Andika hanya tahu dia ingin pulang, menyentuh biolanya dan mencoba membuat lagu untuk Anjeli. Dalam perjalanan dia terus berlari menapaki trotoar, melewati orang-orang yang entah sedang apa. Apakah ada di antara mereka yang juga sedang merasa kehilangan? Apakah ada di antara mereka yang bisa sekedar peduli? Apakah ada di antara mereka yang bisa jadi solusi?

Andika terus berlari, dan seperti mengerti langitpun menjadi kelabu dan titik-titik hujan mulai turun satu-satu. Tapi Andika terus berlari sementara orang-orang berteduh atau membuka payung-payungnya. Tidak, Andika tak pernah punya cukup waktu untuk itu, ada yang harus dilakukannya segera. Menemui biolanya dan memainkan sepotong lagu untuk seseorang yang sudah jadi bintang di langit.

Terutama sebuah janji yang terlanjur terucap dan Andika mengira itu memang pantas untuk seorang Anjeli. Sepotong lagu khusus untuknya, yang dibuat dari kenangan akan dirinya.

Hujan terus membasah, Andika terus berlari seirama guntur, hujan menderas, dia terus berlari sejalan dengan curahan air. Pada detik itulah Andika mulai menangis, tapi tangisannya berbaur dengan keringat juga air hujan. Dalam tangisan yang tak tampak itulah Andika merasa bisa melepaskan perasannya tanpa merasa cengeng. Detik itu juga Andika merasa sebenarnya dia masih anak-anak, hanya anak-anak yang menangis, bukankah begitu?

Entahlah, tak ada waktu untuk berpikir, Andika terus berlari.

Hujan masih deras


(bersambung)


Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang