Chapter 21

11 1 0
                                    

~ Monolog Devi ~

Nama saya Devi, saya seorang penyendiri, dan kematian Anjeli makin membuat saya merasa sendiri. Apakah ini wajar? Apakah ini masuk akal? Mungkin juga ini jadi wajar karena seperti yang saya katakan pada Andika, bahwa saudara kembar nyaris selalu berbagi, bahkan juga berbagi kesendirian. Maka kini Anjeli sendirian di lubang kuburnya, dan saya sendirian di kamar ini.

Andika sudah pulang sejak tadi, dan ini untuk pertama kalinya saya bertemu dia. Pada detik saya menatap wajah Andika, saya akhirnya mengerti kenapa Anjeli bisa jatuh cinta. Andika memang memiliki kekuatan untuk meluluhkan-maksudnya, meluluhkan segalanya-maka dari itu Anjeli jatuh cinta. Sebab Andika bisa membuat seorang perempuan merasa berharga, tapi dalam lingkup yang sangat sederhana, sebuah pembicaraan yang hangat dan manis, sebuah senyum yang tulus, sebuah pengertian yang cukup. Hanya itu, dan itu cukup.

Apakah saya memiliki itu? Entahlah, sepanjang lebih dari duapuluh tahun saya hidup bersama Anjeli, tak pernah sekalipun terpikir untuk bertanya, apakah saya cukup berharga buat adik saya itu? Atau apakah selama ini saya memang cukup bisa dicintai olehnya? Meski dari hati yang paling dalam saya rela berkata bahwa saya mencintai Anjeli, saya sayang padanya, dia satu-satunya saudara saya dan tempat bicara paling hangat selain ibu.

Dulu saya menyalahkan kondisi, kaki saya yang remuk membuat saya menghabiskan waktu di kursi roda. Berusaha menepis kenyataan bahwa saya menjelma jadi manusia cacat yang terlalu besar potensinya untuk jadi manusia tak berguna. Bukankah begitu anggapan orang-orang? Manusia cacat adalah penghambat bila tidak bisa membuktikan perannya dalam kehidupan.

Dan saya tidak punya apa-apa, kecuali membaca buku dan bermain piano. Saya jarang bergaul dengan orang lain, keluar rumah pun jarang. Setiap detik saya meyakini bahwa tidak semua orang mau menerima saya, itu membuat saya sinis terutama pada lawan jenis. Entahlah, menurut saya para perempuan-yang sama perempuannya dengan saya pun-kadang tidak memahami perasaan hati, apalagi laki-laki. Lalu parahnya saya berusaha menularkan kesinisan saya pada orang-orang sekitar, dalam artian... Anjeli.

Maka saya agak khawatir ketika pada satu malam Anjeli pulang dan matanya penuh rasa cinta, saya hanya bisa berpesan untuk hati-hati, tidak lebih. Tapi ketika saya bertemu dengan Andika, saya bisa mengerti mengapa Anjeli jatuh cinta. Karena sebuah ketulusan tak pernah bisa disembunyikan, dan Andika memiliki itu.

Lebih jauh dari itu, sebuah pertemuan singkat dengannya tadi membuat saya mengerti bahwa saya harus membuktikan bahwa saya bisa berguna, saya harus melakukan sesuatu. Andika sudah melakukannya, dengan berjanji membuat sebuah lagu. Sebenarnya tak usahlah lagu itu ada, dengan komitmen dia menjaga janji itu dan terus berusaha, berarti dia sudah membuktikan sesuatu.

Saya? Apa yang saya bisa? Maka dari itu saya merasa bahwa Andika sudah mengajari saya sesuatu. Maka tidak berlebihan kalau saat ini terbit keinginan kecil di hati saya, untuk mengikuti jejak Andika. Ya, saya juga ingin mempersembahkan lagu untuk Anjeli, saya ingin mencoba membuat sebuah komposisi, entah apa.

Tapi sebenarnya, saya tak tahu darimana harus mulai, saya hanya ingin mencoba dan menunjukkan bahwa saya pun punya sesuatu buat Anjeli. Mungkin selama ini saya tidak terlalu berfungsi di matanya. Mungkin selama ini saya hanya menjadi bayang-bayang hidupnya. Tidak pernah memberikan apapun, tidak pernah betul-betul mencintainya, bahkan saat kita berdua berulang tahun dimana biasanya terjadi pertukaran hadiah.

Ya, saya akan membuat sebuah lagu untuk Anjeli. Apapun namanya, sebab Andika sudah mengajari saya sesuatu. Tentang sebuah ketulusan dan keteguhan cinta. Sesuatu yang saya tidak punya-atau merasa tidak punya-dan sekarang saya coba membangunnya.

Sebuah lagu...

Anjeli, tunggu saja...


(bersambung)



Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang