Chapter 27

7 1 0
                                    

Pantai Selatan. Saat senja pantai memainkan simponinya sendiri. Deburan ombak, gesekan daun kelapa, suara kaki yang berlarian, suara kerang yang bertumbukan. Andika duduk di atas pasir, memandang laut lepas. Memandang cakrawala, batas pemisah langit dan bumi. Kembali mendengarkan suara.

Setelah lama berusaha mendengar, ternyata ada juga suara-suara yang lain. Suara matahari. Karang yang diam. Butiran pasir berbentuk istana, suara payung merah yang tertinggal. Ternyata mereka semua bicara. Ternyata mereka semua bercanda dengan alam.

Itukah yang aku cari?

Mendadak ada gairah timbul di matanya. Diangkatnya biola, dimainkan. Sendirian. Sebuah lagu muncul, Andika hafal lagu ini, judulnya "Only if"

Entah apa yang membuatnya memainkan lagu berirama cepat ini, mungkinkah gairah yang muncul mendengar nyanyian alam? Memang tidak ada yang lebih bisa membuat bergairah daripada memandang ombak yang berkejaran, mereka bersemangat saling mengejar, sementara angin bertiup di atasnya, lalu menumbuk pantai dengan kekuatan masing-masing. Andika menggesek biola sampai not terakhir. Sendirian.

Matanya terpejam mendengar notnya sendiri. Dia lalu membuka matanya ketika menyadari kekasihnya telah kembali. Permainannya sudah kembali indah. Jari-jari dan senarnya menjadi satu. Andika tersenyum. Baiklah, aku harus coba!

Dia menarik nafas. Memejamkan mata. Berusaha mengosongkan pikiran, tidak mendengarkan apa-apa, dia hanya ingin membayangkan Anjeli. Biola sudah terpancang di bahu kiri, busur siap di tempat tapi Andika masih diam.

Satu menit

Dua menit.

Andika menurunkan biolanya, matanya membuka. Kali ini mata itu merah. Ada api di sana. Ternyata dia masih belum mampu. Serentak Andika berlari ke laut, melempar biolanya begitu saja. Beberapa senar putus tapi Andika tak peduli, dia terus berlari. Dalam larinya terdengar isakan, Andika terus berlari, ke laut. Tersandung–sandung, jatuh berguling-guling. Dia tak peduli, terus berlari sampai di bibir pantai. Lalu telungkup di sana.

Ternyata dia masih belum mampu. Kesal dan kecewa jadi satu. Kini punggungnya menghadap langit. Dia bernafas, satu-satu. Dalam tiap nafasnya dia mempertanyakan ketidakmampuannya menciptakan lagu. Padahal hanya satu lagu. Sekedar mengenang Anjeli, bolehlah Anjeli sudah tiada tapi setidaknya, dia ingin mengenang selamanya. Ingin menciptakan semacam prasasti untuk dirinya dalam sepotong lagu. Dengan biolanya sebab hanya itu yang dia punya.

Andika lalu berbalik memandang langit yang mulai jingga. Dia tahu dia harus pulang sekarang juga.

(bersambung)




Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang