Chapter 5

17 1 0
                                    


Tengah malam. Andika terbangun, sekejap cemas. Melirik jam, terdengar tiang listrik dipukul satu kali. Siapa juga yang terlalu rajin memukul tiap listrik tiap satu jam? Pastinya penjaga malam, tapi penjaga malam yang seperti apa? Lagipula siapa sih yang perlu mendengarkan suara tiang listrik?

Suasana begitu tidak biasa, hingga mendadak hatinya mulai bernyanyi. Nyanyian yang tidak biasa, sebuah nada yang keluar tanpa diminta. Nada yang berdenting dalam sunyi. Lirih. Hanya dirinya saja yang mampu mendengar tapi cukup membuat dia tersenyum. Karena tidak ada yang membuat hatinya bernyanyi seperti itu sejak sore tadi.

Apa ini karena aku terlalu melankoli? Karena melihat mendung dini hari? Andika memandang langit lewat bilah jendela dan entah kenapa detik itu dia teringat sekilas pada Anjeli, dan pada detik itu juga—dalam sekejap—semuanya jelas: kekasihnya sudah kembali! nada-nada itu kembali menemukan dirinya. Berdenting membentuk sebuah harmoni. Ini karena aku bertemu Anjeli...

Anjeli yang cantik...

Tapi bukankah kecantikan biasanya ada pada wajah? Apakah kecantikan itu punya wajah? Bukankah kekasih akan tetap terlihat cantik sekalipun tak terlihat wajahnya? Kini kekasih itu datang setelah pergi begitu lama. Bukankah hanya beberapa jam? Ah, kehilangan kekasih tidak pernah begitu sederhana, bahkan berjalannya waktu pun akan terasa lama.

Andika mendapati ada yang berubah pada harmoni yang menghampirinya. Nada-nada yang berdenting itu berbalik riuh dan seperti ada not mayor baru terselip di sela-selanya. Tidak merusak namun indah, tidak mengganggu tapi sekaligus tidak bisa segera dipahami. Memang, dia biasa berlatih dengan intuisi, dengan perasaan, tapi dia biasanya sudah bisa membaca nada-nada apa yang akan digeseknya. Kali ini tidak, banyak selipan, banyak tambahan, dan banyak nada-nada baru yang keluar. Kenapa?

Apakah karena Anjeli?

Mana mungkin? Sedang bertemu pun mereka hanya satu malam. Seberapa besar pengaruhnya pada sisipan nada yang biasa menghampiri harinya?

Apapun itu, Andika melihatnya. Sebab dia tidak pernah merasa mendengar nada, tapi melihatnya. Kadang jelas. Kadang samar. Tapi tidak pernah hadir sejelas, sekaligus sesamar ini.

Kemudian pada sebuah malam yang kembali ramai oleh beragam manusia Andika menyusuri trotoar,

Maka dini hari itu diisi Andika dengan senandung lirih, tanpa biola. Dengan jendela terbuka Andika menatapi malam dan meresapi angin. Dia bersenandung. Lirih, begitu lirih.

Sebuah kelirihan yang ceria.

(bersambung)

Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang