Chapter 11

20 2 0
                                    

"Sudah ketemu temanku?" Anjeli bertanya, ketika akhirnya dia mendapatkan kesempatan untuk mendekati Andika di sela-sela pekerjaannya

Andika mengangguk. Meminum sisa tehnya. Ada suatu di matanya, Anjeli tahu itu. Tapi dia enggan bertanya, menunggu Andika bicara.

Satu menit.

Dua menit.

Tidak ada yang bicara, masing-masing mengikuti pikirannya. Membiarkan mengarus. Apalagi? Bukankah pikiran akan mengalir bebas bila dibiarkan? Termasuk Anjeli. Dia menikmati alunan lagu yang mungkin sudah ratusan kali dia dengar, menunggu sebuah cerita yang tersimpan di kelopak mata Andika.

Sebenarnya dia sendiri merasa heran. Biasanya dia tidak pernah peduli pada rencana-rencana orang lain. Tapi sejak bertemu Andika memang seperti ada yang berubah dalam pola pikirnya. Mungkinkah ini suatu pergeseran yang tidak bisa dicerna bahkan oleh pemilik perasaan itu sendiri?

Sampai akhirnya dia tidak tahan untuk bertanya, "Andika, ada apa?"

Andika menjawab dengan tenang. Seolah tanpa emosi, "Ada tawaran ikut konser di Jepang, katanya semacam pertunjukan kelas menengah. Tapi aku harus ikut latihan dulu dua bulan di sini, baru berangkat. Pemain-pemainnya cabutan dari beberapa sekolah musik."

Anjeli termangu. Dia pergi jauh?

"Kenapa? Kamu sepertinya tidak suka?"

Anjeli tersenyum, "Aku suka, aku ikut senang, terus kamu mau berangkat?"

"Mungkin..." jawaban itu mengambang, lalu berlanjut setelah jeda satu dua detik "aku belum tahu. Selama ini aku bermain biola hanya untuk aku, hanya menyalurkan kesepian dan mengisi waktu. Tidak pernah aku melakukannya untuk orang lain."

"Sekali-kali lakukan itu untuk menyenangkan hati orang!" Kalimat itu lebih seperti perintah.

Andika terdiam. Sungguh dia tidak mengira pembicaraan akan sebegini jauh, tadinya dia hanya ingin mengabarkan berita undangan ini. Sungguhpun Andika tidak pernah menganggap itu berita baik—atau mengejutkan—Andika hanya menganggap kalaupun dia pergi, hanya untuk menjauh dari kota ini. Kadang dia merasa butuh pergi sejenak (atau lama?). Aku belum bicara apa-apa pada Anjeli soal perasaan ini, aku harus bicara, tapi waktunya selalu belum tepat...

"Kapan latihan pertama?" Anjeli memecah keheningan

"Minggu depan. Apa menurut kamu aku harus pergi?"

Kali ini giliran Anjeli terdiam. Sungguh dia tidak tahu apa-apa. Sekali lagi dia merasa aneh, biasanya dia tidak peduli apa yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Tapi kali ini seolah Andika jadi bagian perasaannya juga. Mendengar kabar ini Anjeli seperti tahu keberatan hati Andika.

"Aku nggak tahu, tapi kalau kamu mau pergi ya pergi saja, aku pikir ini bagus buat karier biolamu. Lagipula tidak baik bermain hanya untuk diri sendiri. Bukankah orang lain juga perlu kebahagiaan? Dan kebahagiaan itu mungkin datang lewat musik. Apa kita tidak bahagia bila kitalah yang membawa kebahagiaan itu ke hati mereka? Tapi aku pikir lebih baik kamu tanya ibumu, mungkin pertimbangan dia akan lebih matang."

Andika merasa apa yang dibicarakan Ajeli jauh sekali dari sumber kegelisahan dia yang sebenarnya. Ini seperti mereka berdua duduk di lingkar pemikiran yang berbeda total. Bukan itu, aku tidak mau pergi jauh meninggalkan kamu, ada sesuatu yang aku belum katakan.

"Kamu percaya firasat?" Andika menatap Anjeli

Anjeli balas menatap, aneh sekali karena sebenarnya pertanyaan itu yang juga memenuhi benaknya. Aku seperti mendapat firasat tertentu, tapi aku tidak tahu apa, dan aku gelisah karenanya. Anjeli mengalihkan pandangan

"Kadang... memang kenapa?"

"Menurut kamu, aku harus pergi?" Andika bertanya lagi

Sekarang Anjeli tahu apa yang harus dikatakannya "Pergi saja, pikiran kamu sedang berat tentang satu hal. Aku nggak tahu apa, tapi kamu juga tidak tahu harus bagaimana, mungkin dengan mengambil jarak maka semuanya jadi jernih dan kamu tahu apa yang harus dilakukan..."

Andika menoleh, Anjeli bisa menangkap kegelisahan di mata itu

"Kamu bisa berpikir sejauh itu?" Andika bertanya.

Anjeli hanya mengangkat bahu, tersenyum. Malah balik bertanya "Boleh aku tahu, apa yang membuatmu berat untuk pergi?"

Andika menghela nafas, tidak ada yang tahu kalau pertanyaan itu sekarang menjadi sangat berat. Andika seperti dipaksa menyelam ke dalam hati sendiri. Dan itu tidak mudah. Sebab berapa kali sehari sih kita mencari tahu alasan-alasan dalam hidup? Seperti kenapa kamu harus makan jam delapan tepat dan bukannya jam delapan lebih sepuluh menit? Kenapa kamu sekolah di A dan bukannya di B? kenapa kamu memilih X sebagai istrimu dan bukan Y?.

Mungkin Andika merenung terlalu dalam hingga Anjeli merasa ada jeda yang tak wajar dalam pembicaraan mereka. "Apa pertanyaanku mengganggu?"

"Nggak juga" Andika tersenyum, "tapi memang sulit cari jawabannya."

"Kenapa?"

"Apalagi kalau ditambah pertanyaan 'kenapa' seperti itu!"

"Sorry, kalau begitu aku ke dapur lagi ya?"

Andika diam. Sementara Anjeli segera berdiri. Tidak ada yang bisa membaca hatinya yang sesungguhnya ikut gelisah. Pernahkah kita mempertanyakan suatu kegelisahan yang tiba-tiba datang? Pernahkah kita mempertanyakan alasan kenapa tiba-tiba saja kita sedih dan ingin menangis di pelukan ibu?

Juga tidak ada yang bisa membaca hati Andika yang teringat rumahnya. Ibunya yang sudah tua. Opa. Biolanya. Nada-nada yang sering diklaim sebagai kekasihnya. Dentingan dawai. Gesekan busur. Jutaan memori lain.

Kenapa aku merasa seperti akan mati?

Sementara matahari sudah tenggelam seluruhnya. Lampu kota sudah menyala. Dari sudutnya dia bisa melihat perempatan yang mulai lengang. Jam-jam ini memang manusia sedang di rumah, tapi sebentar lagi mereka pasti keluar. Ada sepasang burung malam bertengger di kabel listrik. Sepertinya mereka kemalaman. Atau memang sarangnya sekitar tempat itu?

Tiba-tiba burung yang satu terbang sementara yang satunya lagi tetap bertengger dengan diam. Tidakkah dia akan merasa kehilangan? Kapan pasangannya kembali? Saat itu Anjeli sudah hendak berbalik Andika memanggilnya

"Anjeli!" gadis itu menghentikan geraknya, tampak seperti gerak lambat di mata Andika. Ketika itu Andika menangkap cahaya mata Anjeli yang bening seperti cermin, "Ini semua karena kamu cantik! Dan itu membuat aku terinspirasi kapan harus menggesek biola. Tanpa kamu aku tidak tahu harus bermain seperti apa!"

Ketika kalimat itu tuntas, Andika menangkap di mata gadis itu timbul sepercik kegelisahan.

Pertanyaannya, apakah itu sebuah kegelisahan yang sama?


(bersambung)


Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang