Chapter 16

13 1 2
                                    

Tergesa Andika memasukkan tangannya ke saku jaket. Gerimis turun menimpa trotoar, di sebuah lampu jalanan cahayanya menjelaskan titik-titik gerimis. Berjatuhan halus berwarna violet. Andika memasuki sebuah box telepon umum, memutar sebuah nomor yang sudah diingatnya.

"Halo?" katanya ketika ada suara seseorang di ujung sana

"Halo?"

"Maaf bisa bicara dengan Anjeli?"

"Sebentar ya, dari siapa?"

"Dari Andika."

Terdengar suara gagang telepon seperti diletakkan (mungkin di meja) dan suara langkah menjauh. Andika menunggu sambil memperhatkan gerimis tertimpa sinar lampu. Saat ini waktu terasa lama. Sampai akhirnya ada suara Anjeli.

"Halo?"

"Ini aku!"

"Oh hai!" suaranya begitu ceria "kemana aja? Sibuk latihan ya?"

"Ya dua bulan yang melelahkan, tapi minggu depan aku berangkat."

Ada jeda yang sebenarnya tak kentara, tapi mereka berdua merasakan

"Anjeli, ada apa?"

"Ah nggak..."

Lalu jeda itu ada lagi, sampai Andika memutuskan untuk bertanya, "Apa kamu pernah jatuh cinta?...

... di sebuah ruangan, Anjeli duduk di kursi beludru merah tanpa sandaran. Memegang telepon dan sebelah tangannya mencoret-coret meja, seperti ada kegelisahan yang tersimpan. Terdengar suara dari lawan bicaranya

"Ya dua bulan yang melelahkan, tapi minggu depan aku berangkat."

Minggu depan? Seharusnya aku tidak peduli, tapi aku justru makin peduli. Bisakah dia kularang untuk pergi?

Suara hatinya menciptakan sedikit jeda

"Anjeli, ada apa?"

"Ah nggak..."

Ingin rasanya bertanya apakah Andika merasakan sesuatu? Tapi bahkan Anjeli pun tidak tahu apa-apa, yang dia tahu ada perasaan mengganjal yang begitu kuat. Sehingga dia kembali memilih diam. Keceriannya menguap mendadak. Ini suatu misteri, bahkan Anjeli sendiri pun heran pada hatinya.

Tiba-tiba Andika bertanya, "Li, apa kamu pernah jatuh cinta?"

"Apa?" Anjeli tergagap, "kenapa kamu tanya begitu?"

"Nggak apa-apa, maaf deh kalau ganggu."

"Nggak kok, cuma aku pikir pertanyaanmu aneh." Anjeli mulai bisa menguasai perasaannya, nada suaranya kembali biasa.

Lalu percakapan kembali seperti biasa, membahas hal-hal biasa.

Tanpa ada yang tahu bahwa nyaris tanpa suara, seperti membuka buku catatan sebuah kalimat menyeruak, menyusup lewat getaran bulu mata Anjeli. Dari celah rambut lentik itu mengalir air bening yang terus mengalir ke pipi bagai kristal.

*****

Lalu beginilah penutup percakapan telepon saat itu:

"Anjeli, kamu selalu bisa menghadirkan komposisi nada baru dalam pikiranku."

"Kamu jangan berlebihan."

"Ini serius!"

"Jadi?"

"Aku akan mainkan lagu baru untukmu, khusus untukmu."

"Kapan?"

"Nanti!"

"Aku tunggu."

"..."


(bersambung)

Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang