Chapter 8

29 1 0
                                    

Maka begitulah, Andika menjelma menjadi pengunjung setia café itu, bahkan di saat dia tidak main-rasanya tidak perlu alasan yang macam-macam, Andika dengan segera memperoleh jadwal bermain yang tetap, kadang sendirian, kadang berpasangan dengan penampil lain, dan itu berarti dia lebih sering bertemu dengan Anjeli.

Lalu sebuah persahabatan terjalin dengan sempurna. Tapi bukankah di dunia ini tidak ada yang sempurna? Ah, apalah namanya, yang pasti Andika makin menemukan nada-nada yang berbeda setelah dia bertemu Anjeli. Itu bukan berarti dia selalu bermain dengan sempurna, tapi inilah yang terjadi setiap kali dia merasa tertahan dengan imajinasi: Dia membayangkan wajah Anjeli, kibasan rambutnya, senyuman dan yang pasti matanya.

Perlu waktu yang cukup bagi Andika untuk menerjemahkan mata Anjeli. Sebuah mata yang jernih, yang ketika kamu menatapnya maka mata itu seperti cermin yang memantulkan bayanganmu. Sebuah mata yang bening hingga siapapun kerasan menatapnya berlama-lama.

Ketika Andika menatapnya dia selalu menduga mata itu sedang berkaca-kaca, tapi beberapa detik kemudian dengan segala kejernihannya mata itu akan bicara seperti yang Andika inginkan. Mata itu bisa menawarkan persahabatan, keceriaan, kesediaan untuk bertatapan. Semuanya ditingkahi latar belakang café yang selalu sibuk.

Andika tidak pernah bertemu Anjeli di tempat lain, selalu di café itu. Bukan berarti Anjeli selalu ada, sebab ada kalanya dia tidak di tempat, atau di dapur dan terlalu sibuk untuk menengok ke luar. Tapi Andika tidak mengeluh, dengan berada di sana pun dia sudah cukup bisa menikmati ketenangan.

Ditemani secangkir teh tarik dan cheese blueberry pancake dia akan merenung, membaca buku atau sekedar menikmati suasana. Bila Anjeli ada waktu maka Andika akan lewatkan waktu lebih lama, tapi bila tidak pun biasanya satu atau dua jam baru cukup untuk duduk di sana.

Dua bulan berlangsung, sampai pada suatu malam mereka kembali duduk berhadapan. Ketika itu café tidak terlalu penuh. Andika baru selesai bermain, dan seperti biasa suara instrumen CD mengambil alih. Kali ini instrumen lembut bernuansa Jepang, entah lagu apa.

Andika menatap Anjeli yang masih berseragam, dia tampak segar meski sudah berjam-jam ada di dapur. Kapan dia tidak terlihat baik-baik saja?. Anjeli menyadari tatapan itu, dia mengerutkan kening

"Kenapa? Mau tambah kopi?"

Andika menggeleng, menatap gelasnya. Kali ini dia memilih kopi sebagai pengisi meja. Sebab rasanya dia perlu energi tambahan, dan kafein katanya bisa melakukan itu. Sementara Anjeli mengibaskan rambutnya yang dihiasi bando putih, pandangannya menyapu ruangan, "Banyak teman-temanku yang bilang kalau permainan kamu bagus, kamu belajar dimana?"

"Belajar sendiri, terus ada orang yang ajari aku..."

"Guru privat?"

"Yah," Andika menyeruput kopi, "bisa dibilang begitu."

Anjeli tersenyum, "Keren, kalau kamu lagi main tuh ya, aku lihat kamu seperti hanyut sendiri dengan lagu. Jadi bukan sekedar formalitas, kok bisa sih?"

"Hmm, ya... dinikmati saja." Andika melirik.

Anjeli memutar duduknya, mereka tidak lagi berhadapan "Aku juga punya kakak, dia jago main piano, aku juga lihat dia begitu. Maksudnya, kalau lagi main piano kayaknya jari-jari dia terbang otomatis, nada-nada tuh seperti bukan keluar dari piano, tapi dari jarinya. Sayang banget aku nggak bisa main alat musik apa-apa."

"Oh, kamu punya kakak? Aku baru tahu."

"Kamu nggak pernah tanya!"

Andika tertawa lepas "Iya ya, kalau ke sini kita ngobrol banyak hal tapi nggak pernah tanya-tanya soal keluarga. Bahkan umur kita pun belum tahu ya?"

Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang