Chapter 2

55 2 0
                                    


Anjeli, sedang duduk di depan cermin. Tersenyum, memandangi wajahnya sendiri, mengubah-ubah raut wajah, tersenyum, merenggut, berkerut, tertawa lebar. Dia menikmati setiap perubahan kerutan wajah itu. Rasanya seperti menonton keajaiban. Lalu pada satu titik dia diam mematung, menatap lagi bayangan itu.

"Siapa aku?", batinnya. Tapi tidak ada yang menjawab. Anjeli sedang sendirian. Wajahnya bersih dan terang. Kulit putih, hidung mungil yang agak mencuat ke atas, mata coklat muda (ayahnya yang memberikan mata itu, mungkin karena dia orang Perancis bermata coklat), rambut lurus tebal dan hitam seperti iklan-iklan shampoo. Dia menatapnya setiap saat. Bersyukur dengan wajah itu, bersyukur dia cukup percaya diri dan tidak perlu menutupi wajah itu dengan kosmetik. Sebab baginya kosmetik hanya bagi mereka yang merasa dirinya jelek. Dan bukankah aku tidak jelek?

Pada detik itu sebuah suara halus memasuki kamar, Anjeli menatap lewat cermin. Seorang perempuan, menaiki kursi roda, wajah mereka serupa. Perempuan itu menatap Anjeli. "Kebiasaan! Lama-lama di depan kaca! Lihat apa sih?"

Anjeli tersenyum, "Aku cantik ya?"

Sosok itu tersenyum, "Berarti aku juga cantik dong, muka kita kan sama."

Kursi roda itu bergerak, Anjeli menggeser duduknya. Kini mereka berdampingan di depan cermin. Menikmati wajah mereka. Sebenarnya mereka berdua juga punya kesenangan yang sama, menatap wajah di pantulan cermin, tapi bukan bersolek. Hanya menatap saja.

Sosok di sebelah Anjeli adalah kakak kembarnya. Devi. Usia mereka sama, dua puluh empat, terpaut sepuluh menit. Mereka punya wajah yang mirip, hanya yang membedakan adalah cara bergerak.

Sesuatu. Sebut saja kecelakaan, membuat Devi harus bergerak dengan kursi roda seumur hidupnya, karena kaki kanannya tidak ada.

"Ibu sering menyebut aku seperti malaikat." Anjeli berkata.

"Kalau aku... seperti bidadari..." Devi menimpali.

Malaikat, bidadari, semua makhluk yang sering dianalogikan pada kelembutan perempuan. Sejak kecil Anjeli sudah terbiasa dengan sebutan itu. Perlahan namun pasti, ia mulai terbiasa.

"Dev, ibu mana?" ia melirik Devi

"Lihat jam... makanya bangun tuh dari pagi!"

Anjeli melirik jam. Sembilan tigapuluh, dan ini hari Minggu pagi.

"Sudah pergi?"

"Dari tadi..." Devi memutar kursi rodanya, beranjak mendekati rak buku di belakang mereka. Mengambil buku. Entah apa. Anjeli mengeluh pendek, malas rasanya untuk pergi. Padahal mestinya sudah dari dua jam yang lalu dia ada di cafe. Membantu ibunya.

Bertahun-tahun yang lalu, ibunya membangun sebuah café yang lumayan besar, letaknya di pusat kota. Sekarang pasti ibu sudah mulai bekerja. Mengatur dapur. Memerintah pegawai. Menghitung bahan makanan, menghitung piring, menghitung gelas, apalagi?

"Cepat sana, nanti ibu marah!" suara Devi.

Anjeli menoleh, "Ah, ibu pasti nggak bakal marah."

Devi tersenyum kecil, melanjutkan membaca buku. Anjeli mendekati kakaknya dari belakang, memijat-mijat pundak. "Dev, baca apa sih?"

Devi mengangkat bukunya, menunjukkan sampul depan

Anjeli mengerutkan kening, membaca pelan, "Novel itu, bahasa Perancis?"

Devi mengangguk, Anjeli masih menatap judulnya, susah dibaca! Anjeli selalu kagum akan kemampuan Devi menguasai bahasa Perancis, bahasa ayahnya. Devi begitu cepat belajar sementara Anjeli mandek entah di level berapa. Pokoknya masih level rendah! Begitu Anjeli suka menjawab tiap kali ada yang bertanya tingkat kemampuan bahasa Perancisnya.

"Kamu latihan lagi dong," Devi seperti tahu apa yang dipikirkan Anjeli "Baca novel-novel bahasa Perancis, aku kan punya banyak."

"Iya, kalau ada yang ceritanya bagus kasih tahu aku," Anjeli menatap buku di tangan Devi, "itu ceritanya soal apa?"

Devi menatap sinopsis bukunya, hanya menatap, bukan membaca, sebab isi novel itu sudah menggema di otaknya. "Tentang perjuangan seorang perempuan membela haknya, yah kalau di Indonesia mungkin kisah RA Kartini gitu deh. Ini novel sejarah, setingnya tahun tigapuluhan."

"Perasaan kamu sudah beberapa kali baca itu, belum tamat juga?"

"Aku suka idenya."

Anjeli memandang kakaknya lekat-lekat, dia kadang merasa kakaknya kadang terlalu serius kalau menyangkut tema-tema seperti itu.

"Aku tahu, kamu mikir apa..." Devi menyela.

"Sok tahu!"

Devi menutup bukunya, "Pasti kamu mikir aku aneh ya? beda sama kamu."

"Bukan begitu juga, tapi memang kamu... apa ya," Anjeli berusaha memilih kata, "kita sering berkonsentrasi pada hal yang beda banget. Apa yang menurut kamu penting, kadang buat aku nggak. Begitu juga sebaliknya. Misalnya..."

Devi memotong, "Saat aku terlalu anggap serius omongan ibu yang selalu bilang di dunia ini cuma perempuan yang bisa dipercaya, laki-laki tidak..."

"...atau lebih tepatnya jangan," Anjeli menyambung, "tapi itu kan cuma gara-gara kelakuan ayah. Jadi ibu benci sama ayah, tapi kesannya ibu menyamaratakan semua laki-laki. Makin lama pemahaman ibu makin tebal dan susah diubah!"

Anjeli tersenyum di akhir kalimatnya. Sesuatu. Sebut saja kenangan—yang terbangun atas cerita setiap malam—berkelebat di memorinya.

Beginilah Ibu sering cerita tentang kepergian ayah: di sebuah malam yang tersaput gerimis. Seorang lelaki kelahiran Perancis pulang ke negaranya dan sampai sekarang tidak ada kabar. Itu saja. Saat cerita itu dimulai, Anjeli dan Devi masih terlalu kecil untuk mengingat. Mereka hanya bisa percaya pada sebentuk cerita. Apalagi malam itu juga ibu seperti ingin menghapus semua jejak ayah. Selesai.

Kenapa tidak disusul saja ke Perancis? Anjeli pernah berpikir begitu, tapi ternyata ibunya punya dua sisi pemikiran yang terus menerus berbenturan selama belasan tahun. Salah satu sisi pemikiran ibunya memilih untuk mengambil sikap diam dan menganggap selesai, Anjeli pun memilih keputusan yang sama. Anjeli hanya menganggap dia dan Devi terkena sial, hidup tanpa ayah. Tapi ternyata Devi memaknai itu lebih jauh. Dia sepakat pada sisi lain dari pemikiran ibunya yang selalu berkata tidak pada semua laki-laki. Semua laki-laki?

"Tapi serius lho," Devi rupanya ingin membahas ini, Anjeli mengeluh pendek, merasa ini akan jadi rumit "seandainya di dunia ini tidak ada lelaki, apa yang terjadi? Coba pikir!"

"Tidak ada bayi yang akan lahir..." Anjeli mengangkat alis, itu jawaban yang dipilihnya secara acak. Dia tahu tidak akan bisa berdebat dengan Devi.

"Tidak juga, kamu sudah pernah nonton Jurassic Park kan? di film itu... bukankah semua dinosaurus di taman adalah betina? Tapi akhirnya mereka bisa juga bertelur sebab ada beberapa dinosaurus yang bermutasi jadi jantan. Jadi tidak ada bedanya, siapa yang butuh jantan? Kalau betina bisa bermutasi?"

Itu kan dinosaurus, kadal besar, bukan manusia! Anjeli tergelitik untuk mendebat. "Justru itu membuktikan kalau jantan itu diperlukan, kalau tidak untuk apa para betina itu capek-capek bermutasi?

Devi tersenyum. Menunduk dalam dan menatap bukunya. Tapi matanya sekilas masih melirik Anjeli. Lalu menggeleng pelan. "Mereka itu betina, asalnya mereka betina. Mereka bermutasi jadi jantan, tapi asalnya mereka betina."

Anjeli berkerut. Dia memang bukan tipikal orang yang bisa berdebat, biasanya bila menemukan orang yang tidak sependapat, dia cenderung menghindar lalu esoknya baru menemukan sanggahan. Jadi saat ini, otaknya buntu dan merasa kalau mendebat lagi maka pembicaraan hanya akan berputar-putar di tempat.

"Aku pergi dulu, nanti ibu marah..." Anjeli menghilang di balik pintu.

(bersambung)

Sebuah Lagu Untuk AnjeliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang