Salahkah

6.7K 237 2
                                    

Part 2 masih tetap pakai sudut pandang orang pertama (Aku). Selamat melanjutkan membaca.😊

***

Sore ini aku tidak memiliki kegiatan apa-apa, sehingga setelah aku mandi sore dan sholat Ashar aku berdiam diri di kursi panjang dibawah pohon di depan rumahku.

Aku yang berjalan menuju kursi tersebut, dengan membawa sebuah buku yang memang selalu aku bawa kemanapun aku pergi.

Aku sempat bingung, mengapa aku selalu ingin rasanya membawa buku ini, seharusnya sebagai umat muslim yang sepatutnya aku selalu bawa kemanapun aku pergi adalah Al Qur'an. Bukan buku ini. Tapi dengan membawa buku ini, aku merasa jika aku dapat melupakan sejenak mengenai beban hidupku dengan menceritakan pada buku ini.

Namun, jika aku ingin pergi keluar aku juga tidak akan melupakan Al Qur'an. Di dalam tasku, selalu aku bawa Al Qur'an kecil yang akan memudahkanku membawanya. Hal ini wajib aku bawa, dan wajib aku baca sebagai umat muslim.

Kembali ke buku yang tadi. Ya, sebuah buku diary yang Ayah katakan padaku jika buku ini merupakan buku kesayangan milik Almarhum Bundaku sewaktu dia masih hidup di dunia.

Dalam buku ini, aku selalu meluapkan segala kesedihan, kesenangan, bahkan semua cerita dalam hidupku aku tuangkan ke dalam buku ini. Berbagai pengalaman mengenai kehidupanku aku torehkan ke dalam buku ini. Dimana hal ini sama dengan apa yang Almarhum Bundaku lakukan dahulu.

Tak hanya ceritaku yang kadang aku baca ulang, namun aku juga sering membaca catatan-catatan yang ditulis oleh Almarhum Bundaku sewaktu dia masih muda. Mengenai suka duka dalam hidupnya.

Eh, kenapa kita malah ngebahas buku diary ya!

***

Aku selalu mengingat betapa indahnya masa kecilku yang memiliki keluarga yang utuh. Namun takdir mengatakan lain, disaat umurku baru memasuki umur 6 tahun aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai, dia adalah Bundaku.

Ya, Bunda...
Bunda yang selalu ada untukku.
Bunda yang selalu setia merawatku.
Bunda yang tidak kehabisan kata menasehatiku dalam kebaikan.
Bunda yang selalu mendengarkan keluh kesahku.
Bunda yang selalu bersedia memberikan pundaknya untuk sandaranku.
Bunda yang selalu memelukku jikalau aku gundah.
Bunda yang tak kenal lelah memperjuangkan hidupnya untukku.
Bunda yang memberikanku air kehidupan yang sungguh tidak ternilai harganya.
Bunda yang selalu mau berkorban untukku.
Semangat Bunda.
Semangatnya lah yang bisa membuat aku tegar menjalani hidup.
Senyum Bunda.
Senyumnya lah yang bisa membuat aku bangkit dari keterpurukan.
Tidak cukup semuanya untuk membalas jasamu.
Hanya doalah yang dapat ku kirimkan padamu.
Semoga engkau tenang disana.
Di sisi Allah.
Di surga Allah.
Keikhlasan dan ketulusan hatimu sangat berharga bagiku.

Aku sempat tidak mengerti apa arti kematian, dan sempat marah. Aku berpikir mengapa semua ini harus terjadi padaku, kenapa bukan orang lain saja. Padahal aku masih membutuhkan sosok seorang Ibu dalam kehidupanku.

"Ayah mengapa Bunda tidak bangun-bangun dari tadi? Apakah Bunda tidak lapar?"

"Bunda akan tidur panjang, Nak."

"Maksud Ayah? Icha tidak mengerti, Yah. Icha kan besok masuk SD, masak Bunda gak mau nganterin Icha, sih Yah?"

"Kamu yang sabar, ya Nak. Ayah tau, kalau kamu sangat menyayangi Bunda. Bunda sudah dipanggil Allah."

AKU KAU DAN DOAKU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang