Tanda Tanya

4.3K 151 2
                                    

        Aku tak menyangka, jika Kak Dafin akan membawaku ke sebuah toko kue. "Mba, Mamah ada?" Ia bertanya kepada seorang pelayan yang setia menunggu didepan pintu.

        Pelayan itu segera membukakan pintu untuk kami. "Ada Mas, lagi dibelakang."

        Kak Dafin mengangguk, lantas ia menarik pergelangan tanganku, aku terperanjat dengan tindakannya. "Mah, Dafin udah cari. Tapi cuma ini yang cocok." Aku tak paham, mengapa ia menggunakan kata-kata 'cocok'?

        Aku menoleh kearahnya, dan ia malah menggeleng. Apa maksud mereka? "Yaudah, kamu tunggu dulu. Mamah harus selesain ini, kalau ditinggal, tanggung." Kak Dafin mengangguk, memang sih tangannya penuh dengan tepung. Aku kembali mengikuti langkah Kak Dafin. "Lo mau ngapain sih?"

        Terulas senyum samar dibibir Kak Dafin. "Kemarin, nyokap saya minta dicariin orang buat kasih pendapat tentang variasi baru dikuenya. Jadi saya udah cari, tapi saya pikir-pikir kamu cocok."

        Aku diam sejenak. "Tapi gue bukan Komentat—"

        Ia tertawa geli. "Nggak pa-pa, anggap aja percobaan untuk dimasa yang akan datang." Katanya sembari tertawa.

        Aku ikut tertawa. "Tapi gue nggak ada niat buat jadi gituan, Kak."

        "Yaudah. Mungkin sekarang nggak ada niat, siapa tau dua tahun atau tiga tahun lagi, kamu bakal berubah pikiran."

        Komentator.
        Kata itu tiba-tiba teringat difikiran. Papah yang selalu mengingatkan aku dengan seorang Komentator, tak tahu alasannya apa yang jelas ia hanya berkata bahwa menjadi Komentator itu bosan. "Enggak akan. Dulu kalo kata bokap gue, jadi Komentator itu capek, cuma duduk sambil ngomong-ngomong. Kan jadi capek mulutnya."

        "Kamu lucu. Terus maunya jadi apa?"

        Dulu aku berniat agar cita-citaku hanya aku yang tahu, tetapi setelah difikir ulang, tak ada untung sih jika memendam. "Penulis." Aku berkata secara ragu.

        Ia manggut-manggut. "Semoga terwujud."

       Aku kembali tersenyum. Tak terasa sudah lima belas menit aku menunggunya disini bersama Kak Dafin. Begitu ia datang aku melihatnya membawa sepotong kue diatas piring. "Maaf ya udah nunggu lama."

        "Langsung ke topik aja Mah." Terlihat dari sikap Kak Dafin dengan Mamahnya yang seperti dekat sekali. Pantas sih, kalau ia hanya anak semata wayang.

       "Nama kamu siapa?" Aku berusaha fokus terhadapnya, walau diluar sana sangat ramai. "Alena, tante."

       Tante itu tersenyum ramah. "Jadi gini Al, tante mau minta tolong sama kamu, tolong kasih pendapat tentang kue ini, tante nggak mau aja nanti rasanya kurang perfect. Mau yah?"

       Aku ingin menolak, tetapi takut ia kecewa, disisi lain pun aku takut salah bicara dan menyinggung perasaannya. Dan sekarang aku menjadi ambigu! "Maaf tan, saya nggak bisa. Tapi saya punya teman, yang suka cari kuliner. Mau saya telfon?"

        Ia tersenyum penuh arti. Aku tahu apa yang ia inginkan. "Boleh?"

       Aku mengangguk. Lantas aku meninggalkan mereka disana, dan berjalan keluar toko, untuk mencari tempat sepi. "Halo?"

       Terdengar suara serak dari sana. "Kenapa Len?"

      Aku menarik nafas sambil berjalan mondar-mandir. "Lo mau coba kue terbaru di toko Cendana? Kalo lo mau, sekarang dateng kesini. Soalnya yang punya toko butuh pendapat."

       Ia mengeluarkan suara heboh dari sana. "Yaudah gue mandi dulu ya. Tunggu disana."

      Aku tertawa geli. "Belum mandi jam segini? Kalah sama peliharaan sendiri Fin!"

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang