Ekspektasi Hati

1.9K 67 1
                                    

       Disinilah aku, duduk seperti biasa dihalte, menunggu kehadiran Mamah dan mobilnya. Secil sudah pulang, dan tertinggal aku sendiri dihalte.

       Entah kenapa perkataan Fina minggu lalu kembali terbesit dikepala, tetapi benar juga sih kata Fina, mantan nggak selamanya jadi musuh. Aku pikir semua mantan akan seperti itu, karena kebanyakan orang kan seperti itu, putus lalu tak lagi tegur sapa, sampai akhirnya bagaikan orang yang tidak pernah mengenal.

        "Len?"

        Mataku teralih melihat kesisiku. Sejak kapan orang itu ada disini? Tiba-tiba muncul kayak tuyul.

        Terpaksa bibirku menarik agar membuat senyuman.

        "Belum pulang?"

        "Belum." Entah bagaimana rasanya setiap pertanyaan ku jawab singkat.

        Tanganku merogoh saku, mengambil ponsel lalu mengetik sebuah pesan untuk Mamah.

        To: Mamah

        Mah, Lena udah dihalte, Mamah udah dimana?

        Kumasukkan lagi ponsel ini kedalam saku. Ekspektasiku mengatakan kalau Mamah akan datang sebentar lagi. Semoga benar.

        16.03
        Sudah sepuluh menit, tapi belum ada balasan dari Mamah. Sekalinya ponsel ini berbunyi, hanya kiriman dari Operator. Sementara Kak Zidan masih setia menemaniku menunggu Mamah, padahal sudah hampir sepuluh menit Mamah tak datang.

        "Lo kenapa nggak pulang?" Mataku melirik kearahnya.

        "Kalo gue pulang, lo sendirian."

        Tuh, ujung-ujungnya pun aku nggak enak karena dia, padahal dia yang nyamperin aku disini, dan malah bikin aku nggak enak karena Mamah datangnya lama.

       1 pesan teks.

       From: Mamah

       Dek, Mamah mau ke Kalibata dulu, kamu bareng aja sama temen kamu itu, atau sama Dafin. Enggak pa-pa ya, Dek.

       Bola mataku berputar tiga ratus enam puluh derajat. Kak Dafin? Pulang bareng? Senyum untuknya saja malu-malu apalagi pulang bareng, terlebih aku dengar ada rapat untuk seluruh anggota Osis.

       "Nyokap lo nggak dateng-dateng, Len? Gue anter pulang aja kalo gitu," Dengan penuh semangat empat lima, ia langsung bangkit dan menghidupkan motornya. "Yuk, ngapain masih disitu?"

       Aku menjilat bibir bawahku, berdiri dengan wajah ragu.

      "Yaelah takut banget, gue nggak ada niat buat nyulik lo!!"

        Dijalan, ia membawa motornya dengan kecepatan tak begitu besar. Beberapa lampu merah telah kami tembus.

        "Belok mana nih, Len?"

        "Belok kiri, jalan Cempaka."

         Setelah percakapan tadi, tak ada lagi sahutan darinya.

        Motornya berhenti didepan rumahku. Helm yang menyangkut dikepalanya, telah ia buka. "Rumah lo kan?"

        "Iya. Makasih ya, Kak." Ku simpulkan senyum tulus dari bibirku.

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang