Resolusi

2.4K 96 3
                                    

        Seperti biasa, hari ini aku harus ikut kerumahnya. Dengan rutinitas belajar bersama. Kalian bingung kan kenapa aku dan Kak Dafin bisa belajar bareng padahal yang kalian tahu, aku dan dia beda tingkatan kelas. Dan semuanya baru terbuka dari alam tersembunyinya.

        Aku pun baru tahu, tadi saat ia berbicara setelah turun dari kamar yang letaknya diatas. Aku heran sih, seperti ada yang disembunyikan dariku. Ia saja bicara dengan tawa-tawa kian yang meledak, ditambah pura-pura membuka buku. Aku pun dibuat heran olehnya.

        "Bokap lo ada-ada aja. Terus, kalo nilai Matematika lo yang turun itu, disengaja?" Aku melempar tatapan sinis untuknya.

        Dibalik wajah tegas Papahnya, ternyata ada sifat tersembunyi; jahil dan mudah bersekonkol. Aku jengkel lama-lama jika selalu dibuat seperti ini. Aku kira Papahnya itu galak, ganas, dan tertib seperti yang ditivi-tivi. Ah, aku pikir, aku terlalu banyak nonton sinetron yang tak berujung dramanya.

         "Nggak kok. Kalo itu sih nggak ada korelasi-nya sama sekali." Meskipun ia sudah memakai mimik serius seperti sedang melangsungkan sidang perceraian, tetapi aku masih tak percaya.

        Walau aku bukan termasuk type orang yang kepo terhadap sesuatu, tetapi jika sudah menyangkut cerita hidupku sendiri, perlu diselidiki. "Bener?"

        Ia mengangguk cepat. "Kamu nggak percaya? Kan saya udah pernah bilang, ngapain bohongin pacar sendiri, nggak ada untungnya. Kalo bohong dapet pahala sih, saya bakal bohong terus kali. Kamu juga mungkin!"

        Aku mengaku dia menang, telah membuat aku diam membisu dan tak berkutik. Kehabisan kata-kata? Mungkin. Yang pasti aku sedang salah tingkah. Membuka buku dan berpura-pura membaca.

        "Kamu ngerti yang ini?"

         Mataku melirik kearah buku yang ia asongkan. "Coba gue kerjain dulu," Aku menarik buku yang ada dihadapanku. Mataku menyipit saat aku tak mendapatkan jawaban. "Kayaknya hasilnya pecahan deh, Kak. Gue itung tapi nggak ketemu."

        Tangannya ia gerakkan keatas alis. Menggaruk-garuk daerah alisnya, entah karena bingung atau beneran gatal. "Hm, yaudah biarin aja. Gampang, nanti pas dikoreksi saya isi. Selesai kan?"

        Aku tertawa. Selain karakternya yang porak-poranda ternyata ia juga licik, dasar Kancil. "Pantes nilai lo turun. Lo-nya juga kayak gitu."

        "Saya tau pasti kamu mikirnya saya curang?! Nggak gitu juga kok, maksud saya nanti saya liat punya Yoga. Biasanya dia paling rajin diantara saya dan yang lain. Maklum sih, nyokapnya guru. Setiap malem dikurung dikamar, berduaan sama buku mulu. Makanya saya sujud sukur, waktu diajarin kamu, dan nggak perlu dikurung dikamar."

        "Jadi nyokapnya itu kayak over protective?"

        Kak Dafin mengangguk. "Jarang-jarang dia keluar malem minggu, yang minggu lalu aja dia kabur. Nekad sih itu anak."

        Aku terhenyak mendengar pernyataannya, sedikit Kasihan dengan Kak Yoga. Dia cowok tetapi diurus bagaikan perawan.

        Aku yang anak semata wayang pun tak segitu ketatnya. Terkadang setan-setan jahat yang mengelilingi kepalaku sering berkata bahwa aku seharusnya manfaatkan situasi jika Mamah belum pulang, diisi dengan kegiatan shoping dan main-main. Tetapi, aku pikir sampai kapanpun aku tak bisa jadi orang macam itu, aku tidak terhasut dengan pikiran bodoh setan-setan itu. Aku hanya cukup mempunyai kepribadian sederhana; waktu luang aku isi dengan pergi ke toko buku, ya walau aku tahu terkadang aku malah membeli novel bukan buku pelajaran. Tak, apalah dan untungnya pun reputasiku akan bertambah baik.

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang