Kringggg!!!
Bel masuk sudah berbunyi, tetapi aku masih berjalan tergesa-gesa menuju kelas. Beberapa tetesan keringat dingin sudah membasahi pipiku. Kubiarkan tangan kiriku mengelap air yang jatuh kebawah.
Aku berhenti sejenak ditengah lorong, nafas pun masih terengah-engah, karena jaraknya yang tinggal sedikit untuk sampai kesana, kubiarkan tubuh ini istirahat dulu, walau bukan duduk.
Mataku membulat saat kurasa ada tangan besar yang menyentuh bahuku. "Bagus kamu! Sudah jam berapa ini? Kenapa baru datang?" Mata hitam Pak Retno kembali ingin keluar.
Mataku melirik kearah benda bundar dipergelangan tanganku. "Jam tujuh lewat dua puluh, Pak." Kukatakan semuanya dengan tangan yang yang mulai bergetar.
"Saya kira, yang tadi orang terakhir yang akan terlambat, ternyata kamu ikut-ikutan. Ikut saya sekarang, ada hadiah buat kamu."
Tanganku dicekat olehnya, mengikuti langkah kakinya hingga sampai pada tengah lapangan. Iya, aku paham aku akan dihukum sebab aku terlambat lagi. Aku kira, saat itu saat terakhir aku terlambat. Sayang, semuanya tak berjalan sesuai ekspektasiku.
"Kamu berdiri disini, sampai saya izinin masuk. Ngerti?!!!"
Kepalaku mengangguk pelan.
"Kamu juga Dafin! Jangan masuk kalau saya belum izinin!"
Aku menoleh kearahnya, kepalanya manggut-manggut, tetapi raut wajahnya sangat berbeda pada saat pertama kali aku dihukum bersamanya, wajahnya yang penuh tawa dan suka berlelucon, kini tidak.
Selama beberapa menit, diantara kami berdua tidak ada yang memulai untuk membuka percakapan.Sudah hampir dua puluh menit aku dan dia berdiri ditengah lapangan, menyapa sang mentari dengan sinar teriknya. Kepalaku sudah diterpa beribu pening. Mataku sampai pada saat kunang-kunang.
Tubuhku jatuh dibawah sinar matahari yang bisa dibilang sangat terik. Bayangan mataku semuanya blur, hingga tubuh ini benar-benar terjatuh, dan semuanya hanya terlihat hitam pekat.
*
Kelopak mataku mengerjapkan matanya. Latarnya yang sudah berbeda, kuyakini ini adalah ruang UKS.
Mataku masih mengelilingi sekitar ruangan, hingga stuck disatu titik. Apa dia yang membawaku kesini?
"Nad, tadi pagi kamu sarapan?" Kalimat pertamanya, mengingatkanku pada saat kami sarapan bersama dikantin, dan itu tengah menjadi bayang-bayangku.
Kepalaku menggeleng pelan.
"Lan, bikinin teh anget nggak pake gula." Suaranya tertuju pada Kak Lani-murid IPS XI-2-yang sedang fokus pada ponselnya. "Lan, pake gula dikit." Kak Lani langsung bangkit dan menuangkan cairan berwarna coklat kedalam gelas dan menaruh setengah sendok gula, dari dalam toples.
"Nih, kenapa nggak lo sendiri yang bikin, jadi pacar nggak becus banget!" Cibirnya.
Aku menatap Kak Lani speechless.
"Berisik lo!" Sahut Kak Dafin, ia tampak malu saat Kak Lani berucap seperti itu.
"Minum dulu tehnya." Tangannya menyodorkan sedotannya kearah bibirku.
Aku menyedotnya sedikit, beberapa sedotan sudah mengalir kedalam liang tenggorokkan. "Makasih, Kak."
"Santai aja."
Aku mengangkat tubuhku dari brankar UKS, merapihkan seragamku yang agak kusut sebab pinsan tadi. Mataku tergerak pada jam dipergelangan tanganku, 09.01. Tiga menit lagi, Bu Sani akan datang kekelas.
"Gue balik kekelas dulu, Kak. Makasih ya, udah bawa gue ke UKS." Senyum dibibirku mengembang.
"Santai aja, Nad. Saya anter kamu kekelas deh, daripada pinsan lagi. Ya kan?"
Otakku memikir sejenak. Kemudian mengangguk pelan. "Gue ngerepotin lo terus deh, Kak."
"Biasa aja, saya nemenin kamu sampe rumah jalan kaki, juga nggak pa-pa, Nad."
Bibirku menampilkan senyum kikuk.
Kaki ku melangkah menuju kelas. Beberapa kelas disisiku telah kulewati. Lorong masih sepi sebab tadi hanya bel pergantian jam, mungkin hanya sesekali yang lewat, itupun ingin ketoilet atau Koperasi.
"Nad, kamu jadian sama Zidan sejak kapan?"
Mataku membulat saat kudengar nama Zidan dari bibirnya. "Gue nggak pernah jadian sama Kak Zidan. Emang siapa yang bilang kalo gue jadian sama dia?"
Emosiku mulai naik, nafas pun tak beraturan, jantung pun ikut berdegub lebih kencang, dan dari sana, biramanya bisa langsung kurasakan begitu kencang.
"Zidan sendiri." Tangan satunya ia masukkan kedalam saku celana. "Awalnya saya cuek waktu diparkiran, saya liat didepan mata kalo kamu berangkat bareng Zidan. Tapi perasaan itu nggak bisa dibohongin, makin kesini, Zidan malah makin ganas, dia makin deket sama kamu."
Mataku menatap matanya. Aku tak begitu paham, apa yang ia katakan. Tapi aku bisa merasa, apa yang ia rasa. Sekarang, entah darimana, rasanya menjalar. Awalnya hanya menyentuh jantung hingga biramanya tak berhenti normal. Lalu merambat ke paru-paru, sampai nafasku tak beraturan saat dihadapannya. Dan kini rasa itu menyentuh hati, sampai aku tahu betul bagaimana rasanya mencintai dan dicintai.
"Nad, awalnya saya mau cuek sama kamu, tapi setiap ketemu kamu, rindu ini malah makin besar. Itu bisa diliat waktu saya cuek ngeliat kamu sama Zidan diparkiran, saya nggak mau liat kamu, karena saya takut, rindu ini nggak kekontrol."
Aku menenguk salivaku. Semakin kencang degub jantungku disana. "Kak, sampe sini aja." Lantas kutinggalkan dirinya didepan pintu kelas X-3. Dengan lutut yang sudah gemetaran, kukuatkan berjalan menuju kelas.
*
Syukur, mataku belum melihat sosok Bu Sani dikursinya. Dengan nafas yang masih terengah-engah, kuberjalan sampai pada mejaku.
"Len, kata Gilang, lo pinsan. Tadi Gilang ngeliat lo, pas dia lagi jalan ke Koperasi." Mata Secil begitu teduh.
Kepalaku mengangguk pelan.
"Yaudah, lo kenapa balik. Lagian Bu Sani-nya juga lagi sakit. Jadi nggak masuk kelas. Mau gue anter ke UKS lagi?"
Jujur, kali ini kuyakini, Secil amat baik. Jarang-jarang ia baik, dan setulus ini.
"Enggak usah, gue istirahat dikelas aja, paling jam istirahat nanti, juga udah sembuh."
Kepalaku kutundukkan diatas meja, dengan alas tasku yang dibawahnya. Lantas kupejamkan mata ini hingga rasanya agak merubah.
*
Tidur dikasur dengan selimut sampai kedada. Begitulah dengan aku sekarang. Yang aku pikir akan membaik sendiri dengan istirahat sejenak, tetapi malah menjadi demam.
"Kamu sih keras kepala, disuruh sarapan, malah nggak mau. Kalo besok belum sembuh betul, izin aja, istirahat total dirumah!" Sembari menceramahiku, tangannya membetulkan kompresan diatas dahiku.
"Tadi Lena udah terlambat, Mah." Balasku tak mau kalah.
Mamah tak menjawab lagi, tubuhnya sudah ia bawa hingga ditelan pintu kamarku.
Kucoba pejamkan mata ini agar mendapat celah untuk menembus alam mimpi.
--
100 Pembaca baru next 🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadia [COMPLETED]
RomanceBerawal diberi tumpangan oleh kakak kelas, menjadikan Alena Fanadia kian dekat dengan Dafin Aditya. Dafin yang seorang wakil ketua Osis, namun karakternya yang amburadul, sering membuat guru-guru geleng kepala, dan murid barupun ikut bingung ke...