Sedelik Ide

5.1K 195 12
                                    

        Sehabis istirahat, kelas sepuluh satu didatangi oleh sekelompok Osis. Tak tahu ia ingin apa. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarahkatuh. Kelas ini udah nentuin siapa yang wakilin untuk lomba membuat Puisi?"

        Semuanya saling bertatap-tatap. "Lo aja Len, dulu kan menang. Udah nggak usah diragukan lah." Aku dan Deni memang satu SMP, dan kini satu kelas, jadi pantas saja jika ia tahu kalau aku pernah memenangkan lomba membuat Puisi.

        Aku tak ikut nimbrung bersamanya, biarkan mereka yang memutuskan siapa yang akan mewakilkan kelas ini. "Yaudah. Kamu catat nomor telfon sama nama lengkapnya ya." Perintah cewek disisi Kak Dafin.

        "Yaudah, makasih atas perhatiannya ya." Lantas mereka melanjutkan perjalanannya, berkeliling kelas ke kelas.

        "Len, kok gue nggak tau sih kalo lo bisa bikin Puisi." Belum apa-apa Secil mulai kepo.

        Aku menggedikkan bahu. "Emang kalo gue bisa, gue harus bilang-bilang?"

        Ia tertawa. "Iya juga sih." Lalu menggaruk kepalanya.

        Bayangan Pak Retno mulai mendekat kearah kelas sepuluh satu. Kelas kembali bisu mendadak. Aku menoleh ke arah Secil, terlihat ia sedang menahan tawa karena kumis tebal Pak Retno tengah naik-turun. "Hari ini Bapak tidak mengajar. Hanya ingin menaruh tugas-tugas. Kerjakan buku paket halaman lima satu dikertas folio bergaris. Dan halaman enam dua sampai tujuh tiga untuk PR, dikumpulkan minggu depan!"

        Lantas ia pergi meninggalkan kelas. Ia pergi, dan kelas kembali ramai seperti pasar induk. Walaupun tak ada sosok Bayu yang menyuruh Sukma pindah tempat, tetapi penderitaan Sukma tidak berhenti disini, ia harus nurut dengan Dimas,  komplotan Agent pemburu jawaban. Karena ia harus rela berbagi jawaban dengan Dimas. Dimas dan Bayu itu termasuk orang yang licik dan pintar manipulasi.

        "Sekalian cukur kumis Pak. Ampe bosen liatnya, tuh kumis kayak hutan rimba." Protes Gilang setelah Pak Retno keluar kelas.

        "Beli kertas folio dulu dong Len."

        "Iyalah, emang mau nulis dimana lagi? Kan disuruhnya pake kertas itu."

        "Yaudah yuk, buruan."

        Aku berjalan lebih cepat, sementara Secil masih dibelakang. "LENNN! Tungguin gue dong, jahat banget." Gerutunya.

        Padahal jarak aku dan Secil tak cukup jauh, mungkin hanya dua langkah dariku.

        Aku berhenti seketika saat melihat sosok Kak Dafin tengah asik makan di koperasi, sampai-sampai Secil menubruk tubuhku. "Aduh! Kenapa berhenti sih?"

        Aku tersenyum kikuk. "Enggak. Itu di koperasi ada Kak Dafin. Gue malu."

        Secil malah menarik tanganku supaya cepat mendekati koperasi. "Enggak usah malu, lo kan pake baju." Katanya disela-sela menarik tanganku.

        Pergelangan tanganku masih tercekat oleh tangan Secil. Aku bingung olehnya, padahal setiap istirahat selalu Putri yang makan banyak, tetapi kenapa tenaga Secil begitu kuat? "Hai, Kak!"

        Kak Dafin terlonjak kaget, mendengar sapaan Secil yang selalu memakai bantuan mercon.

        Kak dafin membalas dengan mengangkat alis, jika membalas dengan kata-kata, mungkin makanan yang didalam mulut akan menyembur wajah Secil. Karena pas saja Secil yang ada dihadapannya.

        Aku masih terdiam, tak memandang Kak Dafin, melainkan memandang peralatan tulis di dalam etalase. "Mau beli apa Kak?" Tanya Bu Marni.

        Aku langsung terperanjat menjawab. "Kertas folio bergaris."

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang