Pelanggaran Cinta

2.1K 71 4
                                    

        Syukur dari hari pertama hingga kini, UAS berjalan lancar. Walau banyak lika-liku dikelas, mulai dari desisan Bayu meminta jawaban, hingga mata pengawas yang tak berpaling.

        Jam terakhir diisi dengan pelajaran yang tak begitu penting. Secil tampaknya sangat semangat saat mengerjakan soal ini, begitu fokus membaca soalnya. Tak perlu pikir panjang, ia telah mencoreng LJK-nya. Aku harap sih jawabannya betul, karena kelihatannya Secil sangat yakin dengan jawabannya.

        Kepalaku sedang pening, gambar Batik dikertas ini membuat pusing kepala, selain gambarnya yang hitam putih, gambarnya pun juga buram. Walau Mamah orang Jawa tetapi anehnya, tak satupun ciri khasnya yang menurun ketubuhku. Setidaknya faktor genetik yang ada di Mamah menurun ke aku, seperti mengerti betul soal Jawa, atau mengerti bahasanya, lebih-lebih bisa berbahasa Jawa.

        Kecil dulu, aku pernah diajak bicara bersama Mbah Kakung, tak lain dengan bahasa Jawanya, aku bingung tak mengerti apa yang ia katakan, kutengokkan wajah ini kearah Mamah, lalu Mamah yang men-translate. Dan semenjak hari itu, setiap Mbah Putri atau Mbah Kakung bicara aku selalu menoleh kearah Mamah, sampai-sampai Papah tertawa melihat tingkahku yang masih sangat polos.

        Kringggg!!!
        Aku segera mencoreng LJK yang masih kosong sebab ambigu dengan jawabannya. Aku bangkit dari kursi coklat itu, berjalan menuju meja dihadapanku dan menaruh diatas tumpukan LJK teman-teman ya

        "Yang sudah dikumpul LJK-nya, boleh keluar." Suara Pak Imam memberi intrupsi—guru Agama di SMA Taruna.

        Aku segera memboyong tasku menuju luar kelas, diekori oleh Secil, dan Fina.

        "WOYYY!! Jalannya buruan dong, gue kebelet nih!" Bayu menggebuk-gebuk tas yang ada didepannya. Begitu tubuhnya sudah diambang pintu, ia langsung ngibrit ke kamar mandi.

       "Bayu!! Lo ngapa?" Suara Deni menggema diujung lorong kelas.

        "Katanya kebelet, noh larinya ampe ngibrit." Gilang menyahut.

        Aku berjalan mendekati kursi yang Fina duduki disisi kelas X-1. "Fin, anterin gue ke PIM yuk!"

        Alisnya tertaut. "Gue nggak bawa motor, Len. Gue SMS Kak Wildan dulu deh."

        "Lah, kalo lo sama Kak Wildan, gue sama siapa?"

        "Gue minta ajak Kak Dafin, biar lo sama dia." Begitu santainya itu mulut ngeluarin kata-kata.

        Aku mendengus jengkel. "Enggak enggak." Kepalaku geleng-geleng.

        "Kenapa? Nggak selamanya mantan jadi musuh, Len." Fina kembali menatapku.

        "Musuh dari Jonggol! Kemarin dia pulang dianterin juga!" Secil ikut nimbrung, mulutnya langsung nyerocos.

        Mata Fina membulat. "Serius lo?!"

        Kepala Secil mengangguk mantap. "Dua rius." Jarinya ia bentuk menjadi dua.

        "Yaudah, nggak usah malu, biasanya juga malu-maluin!" Lantas Fina membuka layar ponselnya. Jarinya bergerak dilayar ponselnya. Entah apa yang ia katakan pada Kak Wildan, asal jangan yang nggak-nggak saja. "Udah tuh, katanya OTW mau kesini."

        Dari tangga lantai bawah, terlihat mereka berjalan dengan tergesa-gesa, tangannya mencabik tas yang setengah terselempang. "Yuk, Fin." Kak Wildan menyahut pada Fina.

        Fina mengangguk mantap sembari tersenyum tipis. "Yuk, Len." Tangannya menarik pergelangan tanganku.

        Aku masih berjalan disisi Fina. Sementara Kak Dafin jalan bersama kak Wildan. Mereka berdua jalan dibelakangku, jarak yang memisahkan pun tak begitu jauh. Samar-samar terdengar suara bisikan diantara mereka berdua. "Fin, lo dengar nggak mereka ngomong apa?"

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang