Tanganku membuka kulkas, berniat untuk membuat telur goreng. Pandanganku stuck di-paper bag yang kemarin langsung saja kumasukkan dengan tempatnya. Benar-benar tidak ingat kalau kue itu belum termakan sama sekali.
Tanganku mengambil talinya, membawanya ke meja makan. Aroma pertama yang tercium adalah kulkas. Mataku terbelalak, sampai bunga pun belum aku keluarkan. Terlebih bunganya sudah layu, bibirku kembali dibuat tersenyum melihatnya, walau bunganya juga sudah layu.
Bola mataku beralih pada kotak kue yang belum kusentuh sama sekali. Tak sadar juga kalau benda ini sudah tiga hari didalam kulkas. Semoga tidak busuk.
Terlebih aku langsung memasukkan kotak kuenya lagi kedalam kulkas. Tidak tahu alasannya apa ingin saja kalau kue itu tidak dimakan.
Aku membawa bunga itu kedalam kamar. Menaruhnya didekat pena yang pekan lalu juga ia beri.
*
Pelajaran Agama sudah lewat sembilan puluh menit yang lalu, kini pelajarannya digantikan oleh pelajaran Sejarah.
Sejak tadi Pak Wahyu setia duduk dikursinya, tangannya gerak-gerak dibalik ponsel, sesekali juga ia melirik kearah kami, entah kenapa ia jadi seperti Bu Leli yang selalu dirujuk rasa penasaran dan curiganya.
"Sstt, Len, no dua satu dong." Mulutnya berbicara tanpa suara.
Meski tak bersuara tetapi mata Pak Wahyu itu tak berpaling dari mejaku dan Secil.
Aku tak merespon ucapannya. Mataku kembali pada soal-soal yang melibatkan materi flashback. Aku sendiri paling anti pada pelajaran Sejarah, selain materinya yang berputar ulang pada masa lalu, aku juga jengkel dengan materi penjualan. Aku lebih milih ngerjain lima puluh soal Matematika daripada Sejarah deh. Nggak apa-apa kepala penut dibuat pusing dengan soal Matematika yang penuh hitung menghitung. Yang jelas aku tidak suka Sejarah, terlebih aku tidak pandai menghapal. Jangan heran, aku ini termasuk orang pelupa. Mamah pernah marah karena aku lupa menaruh remot TV, setelah dicari-cari ternyata ada di dapur. Mungkin nggak sih orang bawa-bawa remot ke dapur? Impossible kan.
Secil masih mendengus jengkel.
Kringgg!!!
Bel istirahat tengah menggema keseluruh penjuru sekolah. Dengan perasaan yang senang karena bel telah berbunyi, mereka yang laparnya sudah tak tertahan langsung ngibrit kekantin. Tak peduli banyak orang didepannya, langsung menerobos supaya mendapat jalan yang leluasa."Len, ketaman belakang yuk!"
Aku mengangguk saja. Berhubung aku juga belum lapar.
Disana enak. Suasananya yang kalem, kadang bikin orang lupa kalo bel sudah bergema.
Kakiku melangkah diatas rerumputan hijau. Setetes air yang jatuh dari pucuknya sebab hujan pagi tadi. Aku duduk dikursi taman yang sepi dan sunyi. Kakiku kutumpu pada kaki satunya.
"Kalo disini kan sepi, enak gue ngomongnya."
"Emang ngomong apaan, Fin?" Aku langsung menatapnya penuh intimidasi.
"Lo sama Kak Dafin putus?" Fina menatapku terang-terangan. Mata coklatnya seperti menaruh banyak harapan atas jawabanku.
Aku mengangguk pelan.
"Ck." Mukanya ia palingkan dari wajahku.
Aku menatapnya heran. Mataku melirik kearah jam dipergelanganku. "Udah yuk balik, lima menit lagi bel bunyi." Aku segera bangkit dari kursi itu, lantas kutinggalkan Fina ditaman dengan pikirannya yang lagi penuh tanda tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadia [COMPLETED]
Storie d'amoreBerawal diberi tumpangan oleh kakak kelas, menjadikan Alena Fanadia kian dekat dengan Dafin Aditya. Dafin yang seorang wakil ketua Osis, namun karakternya yang amburadul, sering membuat guru-guru geleng kepala, dan murid barupun ikut bingung ke...