Jalanan tak begitu padat, angin sepoi-sepoi lah yang mengikuti perjalan aku dan Kak Dafin. "Mau minum dulu Kak?"
Tawaranku kali ini benar dari hati, tak tahu lagi harus memulai percakapan apa. Kak Dafin tersenyum sembari mengangguk. "Boleh."
Aku masuk dan mengambil segelas air mineral untuknya. Ini adalah pekerjaan yang jarang aku lakukan untuk seorang cowok, apalagi senior. "Nih."
Ia mengambil alih gelas. Meneguknya sesaat. "Kamu kalo panggil saya nggak usah pake Kak juga nggak pa-pa. Atau mau panggil Afin, juga boleh."
Aku tertawa. "Enggak enak, nanti kalo didenger sama yang lain, dikiranya gue songong banget."
Entah mengapa ia bisa menatapku sedetail itu. "Kenapa Kak? Minumnya kurang?"
Kak Dafin menggeleng. "Nama kamu siapa sih? Dari kemarin ketemu, tapi nggak tau namanya."
"Alena Fanadia."
Ia manggut-manggut. "Yaudah saya panggil Nadia nggak pa-pa kan?"
Seketika tubuhku rentah saat mendengar panggilan 'Nadia'. Mengingatkanku pada sosok Papah. Selama ini hanya Papah yang memanggilku dengan sebutan 'Nadia', selain Papah tidak ada. Dan baru kali ini ada yang mau memanggilku dengan sebutan 'Nadia'. Dan itu Kak Dafin!
"Iya."
"Dirumah sendirian?"
Aku mengangguk. "Iya, nyokap belum pulang kerja. Makanya tadi gue nunggu angkot lewat."
Ia kembali manggut-manggut. "Oke. Kapan-kapan saya ajak jalan deh."
Aku tersenyum. "Oh, ada temen adek. Kok nggak diajak masuk? Kasian duduknya dimotor. Kenapa nggak duduk di teras?" Mamah datang dengan tiba-tiba. Baru datang saja sudah membomiku.
"Enggak Tan, ini juga udah mau pulang. Cuma mau antar Nadia." Mataku membulat. Tepat sekali ia memanggilku didepan Mamah. Siap-siap saja akan dilontari beberapa pertanyaan menjebak.
Aku memandangi Mamah dengan tatapan kikuk. Tak bisa dihitung rasa malu yang merenggut disini. Kak Dafin sudah hilang, entah kemana. Sepertinya sudah pergi dari rumahku. "Dek, Mamah baru denger ada teman kamu yang manggilnya Nadia. Dia siapa sih?"
Ah. Naluriku memang selalu benar, belum sempat kabur dari hadapannya, ia sudah menjebakku. "Cuma temen Mah. Itu juga baru kenal kemarin."
Mamah memakai mimik tak percaya. Seakan-akan aku tengah membohonginya. "Yaudah. Ternyata adek udah besar ya."
Aku tersenyum kepadanya. Langsung saja aku kabur darinya. Mencari aman, sebelum omongannya makin mengada-ngada.
*
"Mah, nanti jemput Lena kan. Lena capek nunggu angkot di halte." Memang benar menunggu angkot itu lama, bagaikan menunggu gaji tiap bulan.
"Iya, Mamah jemput. Kalo Mamah nggak bisa jemput juga palingan kamu bareng sama cowok yang kemarin dek."
Aku mendengus. "Itu karena udah mau hujan. Jadinya aku dianter sama Kak Dafin."
Mamah manggut-manggut.
"Udah yuk, nanti telat lagi." Kata Mamah, ia menghidupkan mesin mobilnya dan berjalan. Sesekali berhenti sejenak sampai lampu itu berubah menjadi hijau. Melewati sederetan pedagang kaki lima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadia [COMPLETED]
عاطفيةBerawal diberi tumpangan oleh kakak kelas, menjadikan Alena Fanadia kian dekat dengan Dafin Aditya. Dafin yang seorang wakil ketua Osis, namun karakternya yang amburadul, sering membuat guru-guru geleng kepala, dan murid barupun ikut bingung ke...