Gunungan Ragu

2.2K 90 3
                                    

        Langit sudah menguning, cahaya temaramnya pun mulai mencerah. Begitupun hujan rintik-rintik mulai mendarat melalui dahan pohon yang menetes kedasar rerumputan.

        Sementara motor yang kami tunggangi tengah menembus air yang menetes tak berujung. Didalam komplek begitu sepi, seperti tidak ada penghuni.

        Ia masukkan motornya kedalam halaman, mobil Mamah pun belum terlihat, aku kira ia belum sampai dirumah.

        "Saya langsung pulang aja ya. Kamu masuk sana, baju kamu basah. Jangan lupa cuci rambutnya biar nggak sakit." Seperti anak kecil yang didikte.

        Aku pun mengangguk.

        Ia tinggalkan rumah ini dalam rintik hujan. Aku segera masuk dan mencuci rambut yang sudah lepek karena hujan.

*

        Kakiku melangkah keluar dari kamar mandi. Membungkus rambut ini dengan puntelan handuk. Keadaan yang mengundang untuk tidur. Tetapi tidak, aku ingat kata Mamah kalau aku tidak boleh tidur sore hari, katanya sih pamali. Aku pun belum pernah mencoba hal itu.

        Setidaknya aku hanya menghindar dari kepamalian itu. Percaya tak percaya pun aku tetap ikut saja, biasanya pantangan orang dulu itu benar adanya. Jadi ikuti saja kebenarannya.

        Tanganku merampas Laptop yang ada dimeja belajar. Membuka dokumen yang sudah lama tak dibuka. Ingin mengundang bahagianya lagi, jelas tidak bisa. Aku ingat sekali, ini foto pertama aku dan Papah saat di Bandung. Di background-kan pemandangan Kawah Putih, yang serba putih. Aku yang masih berumur lima tahun itu, tampak senang sambil dipeluki Mamah dan papah yang wajahnya masih terbayang hingga kini.

        Jika saja Mamah mengajakku ke tempat itu lagi, mungkin aku akan menemukan kalung pemberian Papah yang dulu tertinggal disana.

        Ceklek!
        Dari balik pintu hadir Mamah dengan rambut yang masih lepek. Aku tahu pasti ia habis kehujanan. "Dek, tadi didepan komplek Mamah ketemu temen kamu. Dia abis dari sini?"

        Aku mengangguk santai.

        "Emangnya dia nggak ada kegiatan lain, Dek? Kalo pulang sekolah nganter kamu terus."

        Aku mengambil nafas panjang. "Kayaknya enggak deh. Paling cuma ngurus Osis. Minggu lalu Mamahnya meninggal, Mah."

        Mata Mamah membulat. "Terus dirumahnya sama siapa? Ada Papahnya ya."

        Aku menggeleng. "Papahnya jarang pulang, kalo dirumah juga cuma sama pembantu."

        Mamah manggut-manggut. "Papahnya orang sibuk ya?"

        Aku membuang nafas kasar. "Papahnya Tentara Angkatan Laut, Mah. Jadi jarang pulang."

        Mamah mengangguk.

        Lantas ia bangkit dan bayangannya hilang ditelan pintu.

*

        Pagi ini aku berangkat bersama Mamah. Sejak pukul setengah tujuh tadi, sosoknya tak muncul dipintu gerbang seperti biasa. Akhirnya, setelah bergulat dengan ratusan pertanyaan didalam sana, aku akan berangkat dengan Mamah.

        "Temen kamu lupa mungkin." Tebak Mamah didalam mobil.

        Aku hanya berfikir positif. Walau aku pikir, aku pacar yang tak berbakat. Tetapi aku masih punya rasa penasaran, jadi aku putuskan nanti aku akan mengirim SMS  saat sampai dikelas.

        "Iya, Mah." Aku membuka pintu mobil dan menutupnya rapat. "Lena, berangkat ya, Mah."

        Mamah mengangguk sambil tersenyum ramah.

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang