Secercah Kata

3.8K 143 5
                                    

Sesuai perundingan kemarin, kini aku tengah berjalan menuju parkiran yang disana terdapat Kak Dafin, dan kawan-kawan. Ia tengah tengah asik bersanda gurau dengan murid lain yang ingin keluar gerbang. "Dap. Liat noh siapa yang jalan."

Wajahnya ditengokkan oleh Kak Lucky. Hingga ia sedikit terperanjat. "Gue tau!"

Aku lihat dari kejauhan ia langsung merampas tas yang sedari tadi ia tidurkan diatas motornya. "Wihh, bang Dapin mau kemana bang?" Serumpunan temannya tengah asik menggoda Kak Dafin di parkiran.

Aku ambigu. Antara ingin menghampiri Kak Dafin atau membiarkan ia yang mendekatiku. Ah lebih baik aku diamkan. Aku terus berjalan sampai ke depan gerbang, pura-pura tak melihat saja. "Len, lo nggak jadi?"

"Enggak tau."

Tak lama aku menunggu dihalte, lalu Kak Dafin menghampiriku sambil mengendarai motornya. "Tuh, orangnya nyamperin." Tia ini tidak bisa diajak kompromi.

"Yuk." Katanya setelah membuka helmnya.

Aku mengangguk.

Secil malah tertawa melihat sikapku pada Kak Dafin yang begitu cuek. "Lentur dikit neng. Kaya undang-undang dong, fleksibel." Cibir Secil.

Mataku sudah memplototi Secil sejak tadi. Namun mereka tak henti-hentinya tertawa. "Ih, Secil!" Aku memberikan tatapan tajam untuk Secil. Tak biasanya sih Tia tidak ikut berkerumun dengan Secil. Tak apalah, lebih bagus seperti itu.

Sepertinya aku akan dibawa kerumahnya, habis dari tadi ia tak bicara apa-apa. Kemarin pun ia tak bicara jika ingin belajar ditempat apa. Jalan ini pun sulit kuketahui. "Ini rumah lo?"

Iya membuka helm dan mengangguk. "Kamu tunggu didalam, saya mau bersih-bersih. Biar wangi, biar kamu fokus."

Aku tersenyum, lantas mengikuti langkahnya sampai masuk kedalam. "Tungguin saya. Nggak akan lama kok."

Aku manggut-manggut. "Yaudah sana, makin banyak ngomong, makin lama Kak."

Ia menaruh tas disisiku sembari tertawa renyah.

Tak tahu kenapa instinck ku selalu benar. Dari awal bertemu aku melihat bahwa ia orang berada, dan orang tuanya pun sukses semua. Tak dipungkiri jika anaknya akan berbuah seperti ini. Disisi kanan, cowok ini wakil ketua Osis. Dan disisi kiri, cowok ini selalu bolos jam pelajaran Bu Leli. Pantas saja jika nilainya turun, ia sendiri tak ikut pelajaran Matematika, dan mungkin Bu Leli juga ikut geram dengan karakternya yang amburadul.

"Yuk." Tercium aroma maskulin dari tubuhnya, rambutnya yang masih begitu basah sehingga terlihat mengkilap. Lantas ia langsung duduk dihadapanku. "Belajar apa?"

"Matematika."

"Kamu yakin? Kalo nggak sanggup, atau mau pinsan, bilang aja."

Aku tertawa. "Nggak sanggup, dikiranya gue mau terjun."

Ia ikutan tertawa. "Ya, kali aja." Konsenku akan hilang jika seperti ini, belajar tak banyak, canda yang memuaskan. "Yaudah buruan. Nanti jam setengah lima gue pulang" aku langsung saja menstuck jamnya, kemungkinan ia akan berusaha keras agar memahami materi. "Sebentar banget. Nanti pulangnya saya antar deh."

Aku terdiam, lantas mengambil buku paket dihadapanku. Entah ia paham atau tidak, yang jelas dari tadi ia hanya melihat kebuku tanpa bicara. Aku harap ia cepat paham. "Ngerti kan Kak." Aku mengangkat kepala. Pemandangan ini membuatku tersentak kaget, pantas saja dari tadi ia tak mengelurkan suara. "Kak." Aku menepuk tangannya.

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang