Distance

1.6K 69 1
                                    

        16.04

        Seperti yang Mamah bilang, tepat hari ini aku tak masuk sekolah, dan rencananya sore ini Tia, Fina, Secil, Keke, dan Putri akan datang kerumah. Alasannya; niatnya jenguk, tapi aku paham mereka, ujungnya pasti minta makan.

        Drrt! Drrt!

        1 pesan teks.

        From: Fina

        Len, gue udah di depan nih.

       Dengan kepala yang agak pusing, ku usahakan tubuh ini agar turun ke bawah. Menuruni tangga satu persatu.

       Tangan ku membuka pintu dan, "Len, lo masih sakit ya? Muka lo pucet banget, udah kedokter belum?!" Kedua pipi ku di sentuh olehnya.

        Tak perlu banyak sangka, kalau perlu tak usah menyangka, bahwa Secil akan menyerobot dengan bacotnya yang sangat nyaring.

        Bibirku membentuk garis lurus. "Enggak pa-pa, tinggal pusingnya aja kok."

        Kaki ku kembali melangkah masuk, begitu dengan mereka, ikut mengekori ku dari belakang sampai tubuhnya mereka hempaskan di ruang tengah.

        "Kalo mau minum, ambil sendiri ya." Ujar ku.

       Dengan senang hati, mereka ngangguk, apalagi Putri, dia yang raja makan langsung ngangguk-ngangguk penuh dengan arti khusus.

       "Nih, Len. Tadi gue ketemu Kak Dafin di halte, eh dia nitip. Yaudah, katanya di suruh makan, terus jangan lupa minum obat." Tangan Fina menyodorkan bungkusan plastik transparan yang terlihat bahwa isinya kotak sterofoam putih.

        "Len, jangan suka bohongin perasaan sendiri, nanti malah jatohnya sakit hati. Lo mau?" Mata Fina mulai menampakkan mimik serius.

        Bibir ku membuat garis lurus. Sementara tangan ku kembali mengusap bagian wajah ku dan menyibak rambut hitam ku.

       "Yang lo rasa gimana?" Tanya Tia setelahnya.

       Bahu ku, ku gedikkan.

*

       Pukul tujuh malam, mereka sudah pamit pulang dari rumah ku. Bagi Tia, bermain di rumah teman adalah perbuatan yang tak akan di sesali, karena ia akan terbebas oleh suruhan dari pihak keluarganya untuk bantu-bantu dirumah. Begitu pun dengan Keke, ia juga terbebas dengan ibunya yang amat kolot, harus diam di rumah dan memutihkan badan.

       Mata ku terarah pada kotak sterofoam yang tadi belum sempat ku buka. Tangan kanan ku, mengambil kotak itu yang sedari tadi, masih ku geletakkan di atas meja.

       Dahi ku mengkerut saat yang ku lihat, terdapat surat yang tertempel di atas kotak itu.

       Nad, kemarin saya salah ngomong? Maaf yaa.

       Tadi saya tau dari Fina, kalo kamu sakit. Makan yang banyak, jangan lupa minum obat. Get Well Soon, Nad. -Dafin.

        Tak ada lagi senyum yang senantiasa berusaha untuk mengembang. Aneh. Entah kenapa, sejak perkataannya kemarin, aku malah ingin menjauh darinya. Seperti panah yang kembali di tarik oleh pemiliknya.

        Surat kecilnya, ku bawa sampai ke kamar, anggap saja kenang-kenangan yang tak sampai. Ku simpan kertas itu di dalam laci nakas ku.

*

       Sepatu hitam ku melangkah masuk ke dalam ruangan Kepala Sekolah. Aroma AC-nya sudah sangat tercium di hidung ku.

       "Permisi, Pak," Senyum di bibir ku sudah mendarat di hadapannya. "Maaf, kemarin saya sakit, jadi nggak bisa datang ke sini."

        Kepalanya manggut. "Enggak pa-pa. Teman kamu sudah beri tahu Bapak. Silakan duduk."

        Ku geser kursi di hadapannya, menjatuhkan bokong ku di atas kursi cokelat yang bulan lalu ku duduki.

        "Terima kasih atas bimbingan dari kamu, kemarin wali kelas dari kelas sebelas tiga, beri tahu Bapak, bahwa nilai Matematika Dafin, sudah normal kembali. Mungkin kalau kamu menolak, Dafin tidak akan naik kelas." Bahunya ia gedikkan, dan alisnya ikut naik.

        Bibir ku hanya bisa menampilkan senyum, senyum, dan senyum. Selain senyum, seperti ada penyumbatan di dalam sana. "Sama-sama, Pak."

        Bibirnya tersimpul membentuk senyuman tulus.

*

        Istirahat kedua, ku isi perut ini hanya dengan segelas es teh manis, karena perut ku yang tak menampilkan kesan lapar, maka aku putuskan hanya memesan segelas es teh manis.

       Dari kursi pojok kantin, terdengar suara riuh-ricuh di sana. Mata ku tergerak untuk melihat ke arahnya.

        Betapa hebohnya segerombolannya saat melihat Kak Lucky duduk berdua bersama seorang Wanita. Yang aku lihat, itu seperti Kak Susan.

        "Muna lo! Dulu bilangnya jember." Cibir Kak Seno di sampingnya. Bahunya ia dorong hingga terkena sisi Kak Susan.

        "Pulang lewat mana lo?!" Mata hitamnya sudah menampilkan kesan menantang. Lantas matanya beralih pada sosok Kak Susan. "kamu nggak pa-pa kan?" Wajahnya tampak lebay dengan keadaan Kak Susan.

        Kepala Kak Susan menggeleng pelan.

        Bola mata ku kembali bergerak ke lain arah. Dan sosoknya, melemparkan senyum samar di bibirnya. Sekitar dua detik mata ini tersentak pada senyumnya.

        Tanpa banyak celah, aku kembali melihat ke obyek lain. Entah apa yang akan ia pikirkan.

        "Len, balik ke kelas?" Perkataan Tia membantu ku agar mata ini tak lagi terbesit kepadanya.

        Kepala ku mengangguk.

        "Len, lo udahan?" Ujar Secil.

        Kepala ku kembali mengangguk.

*

       Kakiku kembali melangkah di hadapan segerombolan teman Kak Dafin, dan dirinya. Berjalan bersama Fina di sisiku, membuat diri ini harus lebih was-was.

       "Len, nggak bareng Dapin?" Suara bas milik Kak Seno, menyelonong masuk ke telinga ku.

        Kepala ku menoleh, beberapa detik kemudian, aku menggeleng pelan.

        Langkah Fina yang belok ke arah Kak Wildan, menjadikan aku harus jalan sendiri ke halte dan menunggu kedatangan Mamah.

Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang