S8

26.7K 4K 415
                                    

Karena, ketika mereka tidak sadar, saat itulah cupid bertindak.

***

B A G A S

Tebak gue dimana?

Di ruang guru dan menghadap mas Andrian?

Salah.

Tapi, nggak sepenuhnya salah, sih. Tadi gue emang sempat ke ruang guru dan menghadap mas Andrian, sesuai titah mas tampan. Saat itu, sumpah, kita cuma duduk berhadap-hadapan selama sepuluh menit, tanpa ada satu pun dari kita yang mau angkat suara. Itu adalah moment paling awkward yang pernah gue rasakan.

Lalu, pas gue hampir aja ngehitung menit ke lima belas, mas Andrian bangkit dan narik tangan gue.

"Mas mau ngajak kamu nonton."

Dan begitulah. Gue dan mas Andrian sekarang lagi ngantri tiket. Kali ini film komedi. Maju selangkah, dua langkah, tiga langkah—tanpa obrolan, dan sampai di depan mbak-mbaknya. Mas Andrian mesan dua tiket, dan memilih untuk duduk di seat 12 dan seat 13. Persis seperti tempat duduk kita yang waktu itu, lho. Yang awal kita kenalan, dan mas Andrian nawarin buat ngantar gue pulang.

Tuh, baper lagi.

Lima belas menit sebelum film dimulai, mas Andrian beli makanan untuk gue—ralat—kita. Cuma popcorn sama soda. Tapi, nggak apa-apa. Dia udah nraktir tiket, sekarang nraktir makanan. Baik banget, sih? Gue move on-nya gimana, dong?

"Mas Andrian," panggil gue. Nggak tahu kenapa, gue pengen aja manggil. Mas Andrian yang duduk di samping gue, menoleh. Memandang gue. "Mas, kenapa, sih?"

"Kenapa apanya?"

Akhirnya! Suara berat mas Andrian kedengaran juga, ya Tuhan! Gue kangen berat, masa.

"Nggak, sih. Cuma Bagas ngerasa mas jadi dingin ke Bagas. Bagas salah apa ya, mas? Kalau Bagas salah, maafin atuh. Bagas, 'kan cuma manusia yang tak luput dari kesalahan."

Oke, gue mulai kayak Gilang. Ngomong serius, tapi akhir-akhirnya jadi ngealay.

Gue ngerasa pucuk kepala gue diusap. Mas Andrian yang ngusap kepala gue, pakai telapak tangannya yang besar dan hangat.

Sensasinya itu, lho. Beuh, bikin gue susah move on.

"Nggak apa-apa, kok. Mas cuma.. ya gitu. Super badmood."

"Lho, badmood gimana?" Gue iseng, menggeser duduk biar semakin dekat sama mas Andrian. "Gara-gara saya ya, mas?"

Mas Andrian diam. Gue juga diam. Mata mas Andrian yang hitam kelam, lagi-lagi serasa menenggelamkan gue. Bahasa gue gitu-gitu mulu, ya?

Gue nunduk, takut semakin tenggelam. Bersamaan dengan itu, para manusia berhamburan keluar dari Teater.

Mas Andrian narik tangan gue buat berdiri, nunggu rombongan manusia itu menghilang, lalu narik gue buat masuk ke Teater.

Dugeun-dugeun, euy.

.

A U T H O R

Bagas sudah duduk manis di seat 12—kali ini dia tidak mau duduk di seat 13, karena 13 itu angka sial, menurutnya. Dia melirik ke arah kiri, tepatnya pada Andrian yang memasang wajah datar sembari memandang layar.

Tuh, dingin lagi, mas mah.

Raut wajah Bagas semakin kusam. Dia kesal. Dia tidak suka dicuekkan, ditatap datar, dan tidak suka berduaan dengan orang yang dingin—please, rasanya canggung berat. Jadi di posisinya saat ini, dimana Andrian tiba-tiba berubah cuek, super flat, dan dingin, Bagas ingin bunuh diri saja di tempat. Hitung-hitung, jika dia bergentayangan, dia bisa sekalian menonton film gratis.

Seat 12-13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang