S9

26.3K 3.9K 1K
                                    

Ketika aku marah karena kamu bersama orang lain, itu artinya aku sedang cemburu.

***

B A G A S

"Kak Bian sama Andrian udah jadi teman sejak SMP. Andrian selalu satu kelompok sama Kakak, terus Andrian selalu bantu-bantu Kakak kalau ada materi yang nggak Kakak ngerti. Sohib Kakak banget lah."

Yang namanya cewek sama cowok, kalau sahabatan, pasti salah satu dari mereka ada yang menyimpan rasa. Cinta, katanya.

Jangankan mereka yang normal, cowok sama cowok yang sahabatan pun, mungkin bisa saling jatuh cinta.

'Kan kata orang, cinta datang karena terbiasa.

"Iya, Bagas. Kita bahkan duduk sebangku pas kelas 8. Iya, 'kan Bi?"

"Haha, iya. Kamu yang maksa biar kita duduk sebangku pas itu."

Mas Andrian lho, yang pengen duduk sebangku sama Kakak gue yang cantiknya cetar membahana itu. Kalah saing, 'kan gue?

Please, gue itu strong. Tapi kali ini, otak sama hati gue nggak sinkron. Otak nyuruh move on, tapi hati nggak mau kalah. Otak nyuruh buat jadi kuat, tapi hati malah pengen nangis.

Gue ikutin kata hati. Gue nangis, masa. Nangisin mas Andrian yang bahkan gue nggak tahu, apa dia juga naksir gue, atau malah menyimpan rasa sama Kak Bian.

Atau mungkin, dari awal dia kenal sama gue, dia malah keingat Kak Bian? Secara wajah gue dan Kak Bian itu mirip. Mata, hidung, bibir, dan rambut yang sama-sama hitam kecoklatan bergelombang. Bedanya cuma gue cowok dan dia cewek. Dan kita nggak kembar.

Sial. Sejak kapan gue jadi baperan gini, ya Tuhan? Gue udah dosa karena jatuh karena mas Andrian, dan sekarang nambah dosa karena tiba-tiba gue jadi benci mendadak sama Kakak kandung gue sendiri, aduh.

Ting!

From: Ikan Teri
Temenin gue makan hayuk.

Nggak apa-apa kali, ya, jadiin sahabat sendiri sebagai pelarian?

.

"Lo kenapa sih, jelek gitu mukanya."

Teri nyerahin es krim cokelat yang ada di tangan kanannya ke gue.

Kita di taman. Pas Teri udah sampai rumah gue, kita malah bertatap muka sama Kak Bian dan mood gue hancur seketika. Gue nggak mau makan, dan maunya main di taman aja, beli es krim, lihatin anak-anak kecil. Awalnya dia sempat marah, terus mencak-mencak pas perutnya keroncongan. Tapi gue masang puppy eyes andalan gue, dan tebak siapa yang bisa menghindar? Nggak ada. Teri yang egois pun akhirnya luluh juga.

"Woy, beb! Malah diam, yaelah."

Gue mendesah keras, spontan. Kalau ada Gilang, pasti gue dibilang banteng lagi. Udahlah, namanya kebiasaan juga, mau gimana lagi?

"Nggak apa-apa, kok. Bete aja."

"Makanya, harusnya kita tuh makan! Makan itu bisa membuat segalanya jadi bahagia!"

"Apose?" Gue menggeser duduk, dan menepuk tempat kosong di sebelah gue, berniat nyuruh dia duduk, dan dia menurut. "Gue lagi bete bukan karena makanan. Gue nggak lapar, Teri. Gue cuma.. ada masalah aja saja seseorang."

Dua orang, sih, tepatnya.

Teri—gue lihat—menaikkan alis. Lengannya nyenggol gue, dan berdeham sekilas.

"Masalah kayak gimana?"

"PHP. Ya gitu, lah."

Tapi, emangnya mas Andrian ngasih gue harapan? Atau jangan-jangan cuma gue aja yang terlalu berharap? Miris banget, anjir.

Seat 12-13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang