S17

21.3K 3.1K 97
                                    

Tidakkah permohonanku didengar Tuhan, sehingga kamu pada akhirnya tidak bisa bersamaku?

***

A U T H O R

Bagas melirik Devian, Teri, dan Gilang yang tengah sibuk melanjutkan tugas kelompok. Sesekali cowok itu meringis sakit ketika ingat sebuah plester menghiasi dahinya.

Dia bangkit dari duduknya dan menghampiri Devian yang berkutat dengan laptop. Kepalanya bersender pada bahu si cowok yang lebih kecil.

"Devian," panggil Bagas pelan. Yang dipanggil hanya menyahut dengan deheman. "Rasanya sakit tahu, kalau gebetan kita malah diambil orang lain."

Kalimat bernada lirih yang dikeluarkan Bagas langsung merasuk ke indra pendengaran Devian. Cowok kecil itu mengangguk setuju.

"Apalagi sama sahabat kita sendiri."

Bagas langsung menegakkan tubuh, spontan. Dia menatap Devian tidak terima.

"Malah bahas ke sana! Gue 'kan nggak suka doinya elu!" balas Bagas protes. Devian menatapnya dengan senyum polos, lalu meminta maaf. Bagas menghela napas, kembali menempatkan kepalanya pada bahu Devian. "Tapi sumpah, rasanya sakit."

"Siapa sih, yang nggak sakit kalau lihat orang yang disayang malah sama orang lain? Udahlah, nggak usah galau."

Devian mengarahkan tangan kirinya yang tidak sedang mengetik, untuk mengelus pipi Bagas dan mengusak rambutnya. Bagas mengangguk, kemudian mengukir senyum kecil, dan membantu Devian menyelesaikan tugas kelompok mereka.

Teri yang melihat adegan Ibu-Anak itu langsung menghela napas pelan. Diliriknya Gilang yang asyik menyusuri Google untuk materi-materi yang tidak tersedia di buku cetak milik mereka. Teri menghela napas lagi.

Kenapa perasaan gue jadi bimbang gini, sih? Batin cowok itu gelisah.

Bagas yang kekanakan, atau Devian yang bersifat keibuan?

Suara ketukan pintu membuat empat manusia itu menoleh, melempar tatapan satu sama lain.

Bagas selaku tuan rumah langsung bangkit dari duduknya dan bergegas menghampiri pintu. Ketika pintu terbuka, wajah ramah Andrian menyapa Bagas. Jantung Bagas berpacu cepat, apalagi ketika Andrian melempar senyum padanya.

"Hei, Bagas."

Yang Bagas lakukan hanya membalas senyum, dan mempersilahkan guru Matematikanya itu memasuki rumah. Bagas menutup pintu rumah, menggiring Andrian ke ruang tamu—disusul tatapan bingung dari Gilang, Devian, dan Teri.

"Lho, Pak Andri, kok di sini?" Teri yang angkat suara paling pertama.

Andrian membalas pertanyaan itu dengan senyum terlebih dahulu. "Iya, saya ada urusan sama Kakaknya Bagas."

Bagas yang mendengar kata kakak meluncur dari bibir Andrian, langsung terdiam. Tertegun, mengingat kata-kata Bian sebelum insiden kesandung yang menimpanya.

Kayaknya kamu nyerah aja, deh.

Andrian bakal berakhir sama Kakak.

Pandangan Bagas berubah sayu. Mas Andrian.. bakalan sama Kak Bian?

.

B A G A S

Sialan, sialan, sialan.

Kenapa gue harus terlahir jadi cowok lemah, sih?

Pikiran-pikiran negatif masih berputar di otak gue. Tentang mas Andrian dan Kak Bian, tentang insiden kesandung, tentang kata-kata Kak Bian yang nyelekit, tentang mas Andrian yang gue bayangkan bakal jadi kakak ipar gue, tentang semuanya.

Seat 12-13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang