Ketika sang author buntu ide..
***
B A G A S
Lupakan masalah gue sama Kak Bian. Setelah mas Andrian pergi dari rumah gue, Kak Bian sama sekali nggak ngomong apa-apa ke gue, cuma melempar tatapan tajam.
Ah, udahlah. Masa bodo sama dia.
Gue lagi asyik lihatin Teri yang gue tangkap basah lagi ngelirik-lirik Devian yang bangkunya agak-agak di belakang—Teri duduk dua bangku dari depan, jadi dia agak-agak nunduk, terus sedikit nengok ke belakang gitu. Ketahuan banget.
Langsung aja gue colek Gilang yang tadinya lagi serius mencatat penjelasan guru Bahasa Indonesia yang ngoceh di depan kelas. Gilang menoleh, kelihatan nggak suka.
"Santai, bor. Cuma pengen ngasih tahu kalau Teri ngelirik Devian terus."
Gilang menatap gue nggak percaya, seolah-olah ngomong lewat tatapan; seriusan? Dia menengok ke arah Teri, dan benar aja, si Teri masih nunduk sambil ngelirik ke meja belakang, tepatnya ke arah Devian.
Si Gilang langsung kembali duduk tegak, dan mendekatkan wajahnya ke telinga gue. "Naksir kali, ya?" tanyanya. Kita cekikikan sebentar, sebelum akhirnya dia memilih kembali memasang ekspresi serius. "Terus, lo gimana, Gas?"
Gue tahu Gilang lagi nanyain perihal hubungan gue sama Teri, jadi gue jelasin pelan-pelan.
"Gue sama Teri mah nothing special. Cuma ada rasa yang mampir sesaat—beuh, bahasa gue. Tapi, ya gitu, gue nggak suka Teri, dia sahabat gue, dan gue tahu dia luar dalam. Jijik gue suka sama dia, dasar si manusia sok cool yang sukanya bikin baper dan egois tingkat tinggi. Nggak, gue nggak suka."
Gue berkata dalam nada bisik-bisik. Gilang kembali cekikikan mendengar opini jelek gue tentang Teri. Dia menepuk bahu gue, lalu mengangguk-angguk setuju.
"Eh, kalau Devian jadinya sama Teri, gue sama lo dong, Gas?"
Ya, semoga engga.
Batin gue langsung menyangkal.
Please, deh. Gilang itu wajahnya manis-manis-nyerempet tampan, kulitnya putih susu. Tubuhnya tinggi sih, tapi ya gitu, kurus. Rambutnya hitam—waktu Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, rambutnya warna pirang, dan masuk Sekolah Menengah Atas dia langsung ganti warna jadi hitam, matanya hijau terang, dan dia nggak pakai softlens. Kalau kalian nggak percaya, Mommy-nya Gilang itu orang Barat, walau namanya Gilang Indonesia banget. Waktu Masa Orientasi—pas Gilang belum ganti warna rambut—kakak kelas sama anak-anak OSIS pada ngeledek dia, bilang si Gilang kalau ke sekolah cuma buat gaya-gayaan—mereka buta sampai-sampai nggak ngelihat wajah bule dia. Tapi Gilang cuma mingkem. Sampai akhirnya karena ada urusan, Mommy-nya Gilang harus ke sekolah, dan yang ngeledekin Gilang jadi gantian mingkem.
Kalau gue jadinya sama Gilang, mau ngapain kalau di ranjang? Tampar-tampar pantat? Ya kali. Gue sadar posisi, kalau gue itu cocoknya ditusuk, dan gue nggak akan biarin Gilang dalam posisi menusuk. Nggak rela.
By the way, makin ke sini, gue makin frontal, ya. Ehe.
"Nggak mau, njir. Gue udah ada."
Iya, udah ada. Gue udah ada mas Andrian, Gilang. Maaf, ya. Gue ketawa kecil.
"Elah, yang mau sama elu, siapa emang? Gue masih suka gunung kembar sekali pun gue suka semua hal berbau humu. Berhubung gue fudan."
"Au ah, nggak ngerti."
Kita senyum-senyum geli sambil geleng-geleng kepala, dan memilih untuk kembali memperhatikan guru Bahasa Indonesia yang body-nya semok-bohay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seat 12-13
Teen FictionBagas bingung. Dirinya sudah duduk di seat 13 yang posisinya ada di paling kiri. Filmnya sudah dimulai, tapi tidak ada satu pun orang yang duduk di sampingnya. Demi Tuhan, Bagas menonton film hantu hanya karena ingin pamer pada sahabat-sahabatnya, s...