A U T H O R
Bagas melirik Andrian yang sudah berpakaian rapi setelah menerima celana dalam baru dari Bagas.
Bagas mau jadi celana aja biar bisa nempel terus sama mas Andrian.
Kacau sudah. Bagas yang polos hanyalah sekadar angan.
Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan. Sudah sangat ribut di bawah sana. Bagas sempat mendengar suara sang Bunda yang tengah mengomel pada Bian karena tidak membantunya memasak.
"Eh, nak Andrian sudah bangun? Gimana tidurnya? Nyenyak?"
Bagas melihat Andrian mengangguk dan tersenyum canggung, hingga Bagas menggigit bibir bawahnya gemas, dan menyikut cowok dua puluhan itu.
Tak lama, Bagas sudah duduk di kursinya, tentunya bersama Andrian yang ada di sampingnya.
Bagas awalnya sibuk memainkan sendok makan sembari menunggu Bundanya menyelesaikan acara membuat sarapan. Namun, lama-lama Bagas merasa sesuatu tengah menatapnya.
Cowok itu yakin, rumahnya tidaklah angker. Tidak ada satu pun makhluk halus yang pernah menganggunya. Lalu itu apa?
Bagas mendongak, sehingga kini dia bisa melihat jelas tatapan tajam sang Kakak yang berada di depan Andrian.
Alis Bagas sengaja dinaikkan sampai dahinya mengerut, dengan mata yang seolah bertanya ada apa pada Bian. Bagas semakin bingung ketika Bian hanya memutar bola mata, lalu melengos. Dia bungkam.
Kak Bian kenapa?
Batin Bagas bertanya heran. Tapi, pada akhirnya dia hanya menggeleng dan tidak mempedulikan Kakaknya lagi.
"Sarapan sudah siap!" seru sang Bunda sambil menata semua masakannya di atas meja. Mata Bagas berbinar. "Bagas, jangan sampai ngeces!"
"Apa sih, Bunda? Bagas nggak ngeces!"
Bagas kembali duduk tenang. Dia merasakan seseorang terkikik di sebelahnya. Andrian mati-matian menahan tawa hingga wajahnya memerah.
".. lucu banget kamu."
"Apaan sih, mas Andrian mah!" Bagas merajuk, memukul lengan atas Andrian main-main. "Udah jangan ketawa!" serunya sebal.
Sang Bunda dan Ayah menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Bagas yang terlihat seperti anak umur sepuluh. Sedangkan Bian, pandangannya pada Bagas semakin tajam. Jika saja tatapan Bian bisa berubah menjadi silet, mungkin Bagas sudah ditemukan dalam keadaan tewas dan berdarah-darah.
Bagas merasa seperti ditatap lagi, jadi dia kembali melirik Bian.
"Kenapa, Kak Bian?" tanya Bagas to the point.
.
B A G A S
Kak Bian gadanta banget, sumpah.
Setelah gue terang-terangan nanya; dia kenapa, eh dianya malah mendengus keras-keras-kayak yang biasa gue lakuin kalau lagi kesal, biasalah keturunan.
Karena dikacangin, gue lagi-lagi asyik sama mas Andrian sambil makan. Mas Andrian muji masakan Bunda, dan Bunda menanggapi dengan seribu terima kasih sambil senyum-senyum bangga. Gue tahu, hatinya Bunda pasti lagi berbunga-bunga dipuji brondong tampan. Gue aduin Ayah, tau rasa.
"Biasanya kalau Bagas yang bantuin, masakkannya Bunda bahkan lebih enak dari ini, mas!" Gue memuji diri sendiri, dibalas dengan seruan Bunda yang gue rasa tidak terima-karena kalau gue bantuin Bunda masak, yang ada tabung gas malah jungkir balik. Kacau, lah, pokoknya.
"Yang pintar bantuin Bunda masak itu ya si Bianca," kata Ayah ikut nimbrung di pembicaraan tak tentu arah kami. Beliau melirik Kak Bian yang masih bungkam, walau gue lihat ada binar senang di mata dia. "Tapi daritadi anaknya diam terus."
Gue mengangkat bahu. "Iya, nih. Kak Bian, ada masalah apa?"
Kak Bian menatap gue sekilas, lalu ikut-ikutan mengangkat bahu sambil menggeleng pelan.
"Nggak apa-apa, cuma.."
".. cuma?" ulang gue, merasa tidak mengerti. Gue lirik Bunda, Ayah, dan mas Andrian juga kayaknya penasaran.
Kak Bian mengangkat alis, menatap gue menantang. ".. cuma mau bilang, kalau jadi Adik itu jangan suka nikung."
What the hell..?
Apa-apaan tadi, ha? Nikung? Gue? Gue nikung, gitu? Nikung siapa?
"Wah, nikung apaan ini?" Bunda mengangkat kedua alisnya, menatap bingung ke arah gue dan Kak Bian yang sama-sama mingkem.
"Nggak tau, Bun. Apaan, sih, Kak Bian? Bagas nikung apa? Nikung siapa?" Gue melempar pertanyaan beruntun pada Kak Bian, yang cuma dibalas senyum sinis.
Mas Andrian menyolek lengan gue, membuat gue menoleh. "Udah, biar aja. Kalau badmood emang suka gitu."
GUE YANG ADIKNYA KAK BIAN, TAPI MAS ANDRIAN YANG LEBIH NGERTI. SABAR AKU MAH.
Nggak tahan nggak capslock, sorry. Sakit hati soalnya.
Tapi kemudian, gue mulai ngerti. Masalah tikung-menikung itu, agaknya gue ngerti sekarang.
Kak Bian suka mas Andrian, dan menurut gue, Kak Bian mulai tahu kalau gue ada rasa sama mas Andrian. Gue ada apa-apa sama mas Andrian. Makanya, diriku yang polos ini dibilang nikung!
Jahat banget, fitnah, Kak Bian!
Gue emang sayang sama mas Andrian, tapi masalah nikung, ya cukstaw lah ya, gue pasti kalah. Nggak mungkin juga gue bikin mas Andrian belok cuma untuk membalas perasaan gue, oke, gue ngerti. Jangan mikir yang macam-macam, Kak Bian sayang.
Tapi kalau Kak Bian mengibarkan bendera permusuhan, kayaknya gue fine-fine aja buat jadi pembalap mulai sekarang.
Gue bakal melewati tikungan tajam. Lihat aja, Kak Bian.
Gue melirik Kak Bian, membalas tatapan tajamnya.
"Emang kenapa kalau nikung? Salah?" Gue akhirnya buka mulut, ngomong dengan tajam.
Kak Bian menatap gue nggak percaya, tapi kemudian senyum sinis kembali terukir di wajah cantiknya. "Iya, lah. Lagian kalau memang iya kamu nikung, itu benar-benar salah. Kamu tahu salahnya dimana, pasti."
"Kalian ngomongin apa, sih?"
Suara Ayah masuk ditengah-tengah pembicaraan tajam kita. Bunda dan mas Andrian pun seolah setuju dan mengiyakan pertanyaan Ayah. Namun, kita-gue dan Kak Bian-malah masih tetap saling lempar tatapan tajam, tanpa mempedulikan tiga sosok lain yang masih memperhatikan kita berdua.
"Oh, cuma karena itu? Bagas kira, 'kan cinta itu buta. Kak Bian yang ngajarin waktu SMP dulu, sambil menggebu-gebu."
"Cinta-cintaan? Apaan sih, kalian? Bunda nggak ngerti."
Kak Bian menopang dagunya pada kedua tangan. "Udah berani ngelawan kamu ya. Pintar."
Senyum lebar gue pasang sambil melirik mas Andrian yang memandang gue bingung.
"Bagas emang pintar, kok. Tanya aja sama mas Andrian nilai-nilai ulangan harian Bagas."
".. nilainya bagus, hampir sempurna." Mas Andrian mencicit.
Tiba-tiba suasana ruang makan jadi riuh karena tepuk tangan dari Ayah dan Bunda. Mereka tersenyum bangga pada gue, dan menggeleng seperti nggak percaya.
Ya Tuhan, cuma nilai hampir sempurna doang, kok.
"Tumbenan kamu pintar, sampai dapat nilai hampir sempurna gitu! Lain kali harus sempurna, ya! Nanti Ayah belikan laptop baru."
"Kalau kamu jadi juara kelas, Bunda benar-benar kirim kamu ke Korea Selatan buat ketemu mbak Seulgi kamu itu!"
Gue tersenyum puas, melempar tatapan pada Kak Bian yang kelihatan kesal. Dia langsung bangkit dari duduk, dan jalan cepat ke arah kamarnya.
Kalah, 'kan? Bagas dilawan.
Suasana kembali hening.
***
120517
KAMU SEDANG MEMBACA
Seat 12-13
Teen FictionBagas bingung. Dirinya sudah duduk di seat 13 yang posisinya ada di paling kiri. Filmnya sudah dimulai, tapi tidak ada satu pun orang yang duduk di sampingnya. Demi Tuhan, Bagas menonton film hantu hanya karena ingin pamer pada sahabat-sahabatnya, s...