driagas; terus bertahan

20.7K 2.2K 240
                                    

Percayalah, jika kamu benar mencintaiku, sebesar apapun rintangan yang kita hadapi nanti, kamu tidak akan pernah menyerah untuk memperjuangkan kita.

***

A U T H O R

"Mas Andrian, kalau yang ini gimana?"

".. oh, itu. Dikaliin dulu coba, pasti dapet hasilnya."

"Ah! Iya-iya, ada!"

Bagas mengukir senyum di wajahnya. Matanya melirik Andrian yang ikut tersenyum, kemudian kembali memperhatikan soal Matematika—untuk persiapan ujian—di meja belajarnya. Keduanya lagi-lagi sunyi. Hanya beberapa kali terdengar suara helaan napas dari Bagas, dan suara keyboard dari handphone milik Andrian.

"Oh, iya, Gas. Kamu setelah lulus SMA, maunya kuliah atau langsung kerja?" tanya Andrian di sela-sela kesibukkannya membalas pesan dari salah satu anak didiknya yang bertanya tentang soal yang kemungkinan besar akan terlihat saat ujian nanti.

Bagas terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangkat bahu, dan menjawab. "Kuliah, mas. Dan nanti kalau mampu, Bagas bakal cari kerja juga. Jadi, kuliah sambil kerja."

"Eh, kamu jangan kerja dulu. Selesaiin dulu kuliah kamu, baru kerja."

Mendengar larangan dari Andrian, membuat Bagas langsung mendelik pada mas-mas yang kini tengah menatapnya seperti memerintah. Perintah mutlak, tidak bisa dibantah "Lho? Kenapa? Kenapa mas larang? Emangnya mas Ayahku?" Bagas mengangkat alis, menantang Andrian untuk beradu argumen dengannya. Namun, respon Andrian benar-benar di luar dugaan Bagas. Dia kira, Andrian akan melipat kedua tangannya di dada, kemudian menasehatinya untuk menuruti semua perkataan mas-mas itu. Tapi kini, Andrian hanya menghela napas pelan, lalu kembali memainkan handphonenya. "Kok mas cuek, sih?" Bagas bertanya dengan nada tinggi.

Andrian hanya mengangkat kedua bahunya, pertanda bahwa dia baik-baik saja. Tidak cuek seperti kata Bagas. "Mas cuma kesel aja. Coba deh, kamu pikir. Kamu kuliah sambil kerja, badan kamu pasti bakal capek. Terus mas juga takut kalau kamu semakin lama selesaiin kuliah. 'Cause, you know lah, kita sama-sama tahu, kalau otak kamu bakal males mencerna pelajaran kalau lagi capek, kalau lagi badmood juga," kata Andrian panjang lebar, menoleh ke arah Bagas yang menatapnya kesal.

"Bagas mau kuliah sambil kerja juga biar Bagas bisa mandiri, mas. Bagas tahu, kok, otak Bagas pas-pasan. Tahu, kok. Tapi nggak salah, 'kan, kalau semisalnya Bagas mau membiayai kuliah Bagas sendiri nantinya?"

Bagas melepas kacamata bacanya—tadi dia pakai karena entah kenapa matanya terasa berkunang-kunang saat melihat tulisan di buku cetak—kemudian meletakkannya di atas meja. Cowok itu menghela napas pelan, malas menatap Andrian.

"Ya sudah. Terserah kamu. Mas juga emang nggak berhak larang, sih. Udah, gitu aja. Nggak usah pakai ngambek."

".. Bagas nggak ngambek."

"Tapi wajah kamu nggak mau noleh sini."

"Bagas kesel aja lihat mas Andrian."

"Kesel kenapa?" Andrian mendekat pada Bagas. Dia melirik sekelilingnya—mendapati kamar Bagas yang tidak terlalu rapi, namun cukup nyaman untuk ditempati—lalu mengusapkan telapak tangannya pada rambut Bagas dengan lembut. "Maaf, ya, sayang. Mas tahu kamu mau bebas. Kalau maunya kamu itu, ya lakuin. Sana kuliah sambil kerja. Tapi, sekarang belajar dulu. Nanti, siapa yang tahu, 'kan ya, pas kamu udah bermimpi tinggi-tinggi, eh tahunya kamu malah nggak lulus SMA. Sedih, 'kan?"

Bagas mencebikkan bibir. Perlahan, cowok itu menurunkan tangan Andrian dari kepalanya, dan sedikit menjauhkan tubuh. "Iya, mas. Bagas paham," balasnya sedikit malas.

Seat 12-13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang