Berlin, 11. #1

21 1 1
                                    

"ZHETTA!"

Terdengar teriakan suara laki-laki dengan kompak sambil menyebut namaku.

Aku sibuk mencari siapa yang memanggilku, apa mungkin Kavi? Juan? Raynar? Atau Aro? Ternyata itu suara mereka. Mereka meneriaki ku karena seorang pria, yang mereka sebut 'pria gila dilorong malam sabtu.' hampir menabrak ku. Untung saja aku masih sigap dan dapat mengelak dari sipria gila tersebut.

"Apa kamu tidak melihat pria itu membawa sepeda dengan kencang?" Raynar bertanya dengan suara yang menurutku lebih tinggi dari biasanya.
"Siapa yang bisa melihat kelorong gelap seperti itu?" Juan balik bertanya pada Raynar.
"Yang penting Zhetta tidak apa-apa." Ungkap Aro yang tiba-tiba saja sudah berada dibelakangku bersama Kavi.

Tak lama setelah kejadian tersebut terdengar suara gaduh dari sebrang sana. Ternyata si pria gila menabrak lampu jalan dan membuat ia bersama sepedanya terjatuh mencium trotoar.

"Iya benar, lagian aku tidak apa-apa. Tidak ada yang lecet kok." aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku memang
tidak apa-apa. Lalu Juan menyeret ku untuk berdiri disampingnya.
"Kalian baliklah, aku akan mengantar kan Zhetta. Raynar, kembalilah ke asramamu. Aro, mulai besok gantilah menjadi satu kamar saja, jika dua begini Raynar semakin malas kembali ke asrama." Juan tampaknya benar-benar kesal dengan ulah Raynar tadi. Terlihay dari wajahnya yang seperti menahan marah.
"Suka-suka ku anak kecil" Goda Raynar sambil mengacak rambut Juan dan berlalu kecil. "Zhetta, sampai jumpa lagi! Hati-hati nanti Juan berubah menjadi pria gila dua."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepada Raynar. Ternyata selain Juan, masih ada Raynar yang juga usil.

"Kami juga balik ya. Tapi Juan, jika saya memutuskan mengganti menjadi kamar satu, dimana kau akan tidur jika pulang kencan buta bersama Raynar sampai larut malam?" Aro sepertinya mencoba menggoda Juan.
"Akan kupikirkan semalam ini" jawaban yang lugu menurutku, yang keluar begitu saja dari Juan. Sehingga dapat membuat Aro tertawa juga membuat Kavi tersenyum. Manisnya...

"Kami duluan ya? Zhetta berhati-hatilah mulai sekarang. Kau sudah tau pria gila kan?" Pesan Aro sebelum meninggalkan ku dan Juan.

***

"Jadi pria gila itu menunggu kekasihnya? Dilorong gelap sana?" Tanyaku antusias pada juan disaat kami tengah berjalan sampai 300 meter.
"Begitulah, kekasihnya mengatakan bahwa dia akan menemui pria itu pada suatu malam sabtu. Jadi dia ingin pada saat nanti datang, sipria akan menyambutnya dengan pelukan hangat. Ternyata si kekasih tidak kunjung datang. Membuat pria itu gusar. Daddy ku pun mengatakan, bahwa semenjak itu si pria gila sering datang ke lorong itu setiap malam sabtu, dan beberapa tahun lalu sudah mulai menetap di lorong itu." Jelas Juan.

Tragis sekali kisah cinta pria itu. Dia menemukan kekasihnya yang tersesat didalam lorong itu. Menyalakan korek kayu yang hanya tersisa satu untuk ia gunakan sebagai penyala rokok pada malam itu. Sebab ia tidak dapat merokok dirumahnya, karena orang tuanya akan memakinya sebagai seorang polisi yang pada zaman nya tidak diperkenankan untuk merokok.

Kekasihnya menangis terisak isak karena tidak tahu telah terserat didalam lorong tak bercahaya itu. Dengan dibantu penerangan oleh korek kayu sipria, sang kekasih dapat menjadi lebih tenang dan bisa menemukan jalan keluar. Sehingga semenjak itu, mereka rajin bertemu didepan lorong. Serta menjadikan lorong sebagai tempat bertemu mereka untuk sekedar melepas rindu atau berbagi cerita selama 6 hari tidak bertemu setiap minggunya.

Menurutku itu kisah yang menyedihkan bukan? Kemana sang kekasih? Kenapa dia tidak menepati janjinya pada si pria? Apakah ia tahu bahwa prianya kini tengah gila akibat dirinya yang tak kunjung datang? Apakah dia tahu bahwa dalam keadaan begini pun sang pria hanya menunggunya? Hanya mengingatnya?

"Kenapa kekasihnya tidak datang?"
"Dari cerita yang kudapat, katanya sang kekasih dilamar oleh seorang jendral. Seorang penduduk melihat sang kekasih sebelum malam sabtu itu datang -siang harinya- didepan lorong tengah menangis terisak isak dan tak lama setelah itu pria berbaju Army, menjemputnya."
"Apakah sampai saat ini tidak ada yang pernah melihat kekasih si pria ini datang berkunjung?"
"Tidak, bahkan saksi yang mengatakan dan pernah melihat kekasih pria ini pun sudah pindah."
"Ah menyedihkan sekali kisahnya."
"Pokoknya mulai dari sekarang kau harus hati-hati ya? Karna dia akan keluar dengan cepat jika mendengar suara dari luar sana setiap malam sabtu. Besarkan langkah mu jika sudah mendekati lorong ini."
"Baiklah."
"Ingat, malam sabtu." Kali ini aku menurut dengan Juan. Memang itu yang harusnya kulakukan. Berhati-hati.

Asik bercerita dengan Juan tentang pria gila itu. Aku sampai memerlukan waktu sekitar 40 menit untuk berjalan sepanjang 100 meter. Padahal biasanya aku bisa berjalan hanya dengan waktu seperempat jam.

Bahkan aku pun tidak sadar bahwa si penghuni kamar apartment yang berhadapan dengan kamarku tengah memerhatikan ku dan Juan, jika tidak diberitahu oleh Juan.

"Kavi sedang mengamati kita dari atas." aku yang hendak melihat keatas ditahan oleh Juan. Tak tahu apa tujuannya.
"Jangan dilihat, pura-pura tidak tahu saja. Mana tau dia penasaran dengan kita kenapa lama sekali berjalan." Ku rasa, keusilan Juan mulai kembali.
"Mana mungkin" Senggahku.

***

Setelah memasuki apartment, yang sebelumnya sempat ramai. Tidak usah ditanya kenapa, pasti debat maut antara Juan dan Aliya. Aliya memarahi Juan yang membawaku jalan-jalan dan pulang selarut ini. Mungkin ia khawatir kalau Juan akan meninggalkan ku? Atau Aliya mulai trauma jika meninggalkan ku bersama orang lain? Intinya, debat itu diakhiri oleh Ayah. Aku tidak tahu bagaimana bisa ayah menangani anak berdua itu, yang jelas saat aku sampai dilantai atas, Juan tampak pamit pada Ayah dan Bunda.

Sesampainya dikamar, aku langsung berjalan menuju jendela. Tidak sesuai harapanku. Ku pikir jendela kamar Kavi masih terbuka. Nyatanya, selain jendelanya sudah tertutup, lampu kamarnya pun sudah dimatikan. Sedikit kekecewaan tiba-tiba saja merogohi hatiku. Menyesal mengapa mengikuti perkataan Juan. Seharunya aku melihat nya, sedikit pun tak apa.

Ah mau bagaimana lagi?
Memang penyesalan itu datang nya terakhir.

Setelah melap badan, aku langsung bergegas menuju kasur. Aku merebahkan badanku diatas kasur yang di alaskan seprai berwarna putih yang sangat tembal, sehingga melindungiku dari rasa dingin dimalam hari.

"Sampai jumpa Kavi, aku merindukan mu."

***

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now