Berlin, 12. #2

11 1 0
                                    

Rasanya berbeda saja. Antara Kavi saat bertemu dan Kavi saat di telefon. Kavi saat bertemu tidak banyak bicara. Akan susah sekali membuat suara beratnya itu terdengar keluar dari mulutnya. Berbeda dengan di telefon. Kavi dengan lancarnya berkomunikasi denganku.

Sibuk berjalan dalam diam, aku tersadar dengan toko yang akan ku lalui. Toko Mr. Fred! Entah dari mana asalnya perasaan gembira ini. Gembira saat melihat toko Mr. Fred. Aku berharap bisa masuk dan menemuinya. Tapi rasanya tidak mungkin saja. Karena saat ini aku tidak sendirian, melainkan berdua dengan Kavi.

"Zhetta, ada yang ingin ku beli di toko itu. Tidak apa menunggu sebentar?" Bak bisa membaca pikiranku, Kavi mengatakan dia mau membeli sesuatu di toko Mr. Fred.
"Tentu saja tidak masalah. Yuk?"
Aku jadi bersemangat gini akan bertemu Mr. Fred. Sampai wajah Kavi pun tadinya sempat berubah sedikit kebingungan.

"Mr. Fred!!" Aku menyapa pria tua ini dengan begitu bersemangat. Terlihat dari ekspresinya, sedikit terkejut dan tersenyum kebapakan ke arahku.
"Zhetta! Apa ada yang kau butuhkan?"
"Tidak Mr, aku datang kesini untuk menemani temanku. Kenalkan lah."
"Vian?" aku tidak tahu siapa yang dipanggil oleh tuan Fred, Vian. Tapi yang jelas saat itu hanya ada aku dan Kavi didekatnya.
"Kavi Mr." Benar saja, Vian yang dimaksud tuan Fred adalah Kavi. Jadi Vian itu nama Kavi juga? Sayang aku tidak mengetahui nama lengkapnya. Jadi saat ini aku hanya dapat menerka saja apa maksud atau arti dari Vian itu sendiri.

"Butuh sesuatu anak ku?" Tanya tuan Fred setelah menjabat tangan Kavi.
"Saya butuh kanvas."
"Kau tau harus kemana Kav." Begitulah jawaban tuan Fred dengan kedipan mata dan dibalas senyum oleh Kavi.

Satu hal yang baru ku sadari dari Kavi. Bukan senyumnya yang manis. Itu sudah dari dulu.

Tapi, tahi lalat didekat bibirnya. Tahi lalat yang berada disebelah kanan pipi nya. Yang berposisi dekat dengan bibirnya. Begitu pas. Seakan jika Kavi tersenyum, tahi lalat itu akan berkerja sama membuat Kavi terlihat lebih mengagumkan.

"Dari mana kau mengenal Kavi, Zhetta?"
"Dia telah menolong ku menemukan apartment nyonya Ann."
"Membantu mu menemukan apartment nyonya Ann? Apa yang terjadi memangnya?"
"Waktu itu aku sedang berjalan-jalan dengan Aliya. Lalu dia menghilang setelah pergi dari suatu toko........"
Begitulah aku menjelaskan secara detail kepada tuan Fred, entah mengapa rasanya nyaman saja berbicara dengannya. Merasakan adanya sesosok Kakek di sekitarku yang dapat mendengar ceritaku. Baik yang penting, mau pun hanya cerita kecil.

"Apa Kavi ada berbicara selama perjalanan kalian?"
"Hanya pada saat akan bertanya atau menjawab pertanyaan ku saja, Kek." Aku sudah mulai memanggil tuan Fred dengan sebutan Kakek. Cocok untuknya kurasa.
"Tidak perlu manyum begitu, dia memang begitu anaknya."
"Kakek sepertinya sangat mengenali Kavi?"
"Bagaimana tidak? Bukan hanya Kavi, Aro, Raynar, Juan, dan Aliya pun Kakek kenal."
"Kakek benar-benar idola atau bagaimana sih?" Aku menopang daguku dengan tangan dan menatap Kakek Fred sambil tersenyum. Dia pun mengacak jilbab ku lembut.
"Mereka sudah ku anggap sebagai anak, begitupun dengan mu Zhetta."
"Benar?? Ahhh senangnya!"

"Maaf mengganggu? Mr ini yang saya butuhkan, silahkan dihitung." Tiba-tiba saja Kavi datang dari belakang dan menaruh barang yang dibelinya. Seperti perlengkapan untuk melukis. Ada kanvas, cat warna, cat minyak. Kuas, dan lainnya aku tidak tahu.
"Bulan ini dua kali stok ya? Banyak inspirasi sepertinya Juli ini?"
"Sepertinya begitu tuan."

Mr Fred memberikan kantong yang berisi barang belanjaan Kavi kepada si pemilik.

"Maaf sekali mengganggu pembicaraan kau dan Zhetta malam ini. Tapi Zhetta, kamu harus makan malam." Kavi meminta maaf sekaligus mengingatkan ku tujuan utama kami keluar malam begini. Berdua.
"Tidak masalah nak, antarlah Zhetta." Dengan bijak pula tuan Fred menjawab permintaan Kavi.
"Lain waktu saya berjanji akan membawa Zhetta lagi untuk mengunjungimu Mr." Membawa ku? Mengunjungi tuan Fred? Lagi? Berdua? Langit... Tidak bisa ku bayangkan?

"Aku pegang janjimu Kavi?"
"Silahkan." Kavi membalas dengan tersenyum. Selalu manis.
"Baiklah kek, aku harus berpamitan. Lain kali aku akan mengunjungi mu." Seakan berpisah dengan kakek ku sendiri. Aku pun merasa sedih harus meninggalkan Tuan Fred.

***

Setelah keluar dari toko tuan Fred, aku dan Kavi melanjutkan perjalanan. Aku hanya mengikutinya. Tidak tahu akan dibawa kemana.

"Kita mau makan dimana? Yang lain mana?" Aku mulai penasaran dan sudah tidak tahan dengan suasana begini.
"Mereka makan disalah satu restoran Jepang didekat sini. Kita disuruh menyusul."
"Oooh begitu.. Kira-kira masih jauh gak dari sini?"
"Kenapa? Udah lapar?"
"Belum kok, cuma mau nanya aja." Jawabku sambil nyengir kearah Kavi.

"Tuh restorannya." Ucap Kavi sambil mengarahkan kepalanya kepada sebuah restoran di sebrang jalanan ini.

Benar saja. Sudah terlihat dari sini Aliya, Juan, dan Aro sedang memanggang beberapa daging sepertinya?

Saat menunggu pergantian rambu lalu lintas menjadi lambang pejalan kaki, aku sibuk melihat sekitaran. Malam ini begitu ramai oleh pejalan kaki. Sehingga mobil pun hanya beberapa yang keluar disekitaran jalan ini.

Rambu pun berubah menjadi gambar pejalan kaki. Awalnya aku merasa santai berjalan di jalanan ini. Tapi lama kelamaan aku merasa sedikit khawatir karena padatnya jalanan dan semua orang terlihat bergegas menuju ujung jalanan.

Mulai merasa risih, aku langsung memegang kedua tanganku. Untuk melindungi tubuhku agar tidak tersenggol atau aku malah terjatuh ditengah jalan begini? Memalukan sekali. Cukup di apartment saja.

Tidak tahu ini hanya perasaan ku saja, jalan ini terasa begitu panjang. Aku pun berharap sudah melalui setengah dari jalan ini ternyata masih ada 4 meter lagi kira-kira jalan yang mesti ku tempuh untuk mencapai ujung jalan dan segera masuk kedalam toko khas Jepang itu.

Rambu terus memperlihatkan gambar pejalan kaki serta membunyikan sebuah kode, berbunyi seperti 'Beep beep' untuk menandakan pejalan kaki masih bisa berjalan di zebra cross ini. Jangan lupa, berjalan lah dengan cepat dan hati-hati. Karena rambu ini tidak dapat mengikuti keinginan si pengguna jalan dengan semaunya.

Mereka yang ingin berjalan dengan berleha-leha silahkan cari jalanan lain. Jalanan di berlin ini tidak memberikan kesempatan pejalanan nya untuk melakukan hal seperti itu. Bak ibarat sebuah pepatah. Waktu adalah Uang. Itulah yang dijadikan panutan bagi masyarakat Berlin. Hingga untuk menyebrang pun mereka mesti memikirkan waktu tempuh menuju jalan disebrangnya.

"Maaf ya."
"Untuk?"

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now