Berlin, 15. #2

9 1 0
                                    

"Kemana aja tadi Ca?" Hana bertanya padaku sesaat akan duduk pada bangku nya yang berada disampingku.

"Ke taman, terus ke tempat club seni."
"Club seni? Sama siapa?" Kali ini Vallen yang bertanya padaku.
"Kavi." Jawabku singkat.
Mereka berdua memberikan balasan atas jawaban ku dengan ekspresi yang aneh, tapi serupa. Mereka memang ekspresi seakan sedang meledek ku. Mungkin mereka berfikir bahwa ada sesuatu diantara aku dan Kavi?

"Calm down girls. Gaada apa-apa kok di antara aku dan Kavi." Aku berusaha menjawab nya dengan sangat santai sambil mulai melahap makanan yang sedari tadi hanya terbaring di meja.
"Kalau ada apa-apa pun gak masalah." Jawab Hana yang mulai pandai menjahili ku. Sepertinya Hana belakangan banyak belajar dari Vallen bagaimana cara menjawab pertanyaan dengan penuh sarkastik.

"Apa selalu begitu matamu setiap ketemu dia Ca?" Tiba-tiba saja Vallen menanyakan sesuatu yang menurutku sedikit tidak masuk akal.
"Maksudnya? Aku nggak paham sama apa yang kamu omongin Len."
"Gerak gerik kamu, cara kamu ngeliat ke dia. Mau tau gak mata kamu tuh udah nunjukin seberapa sukanya kamu sama dia Ca." Lanjut sang master, Vallen.
"Wajah kamu sudah sama ketika kita ngomongin hobi. Mata kamu, ekspresi wajah kamu berubah jadi lebih berbinar gitu Ca." Tanpa ada yang menyadari Hana pun ikut mendukung segala opini yang telah disampaikan oleh Vallen.

"Emangnya aku kayak gitu.... yah?"
Keduanya menganggukkan kepala serempak sebagai isyarat akan jawaban dari pertanyaan ku. "Sangat jelas Eca.." Hana kembali memperkuat jawabannya kepadaku sehingga membuatku tidak dapat berkata. Antara tidak yakin akan apa yang kedua sahabat ku ini ucapkan atau aku yang berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi padaku setiap melihatnya.

"Tidak ada yang bisa melarang rasa mu untuknya Ca. Bahkan kalau dia sudah punya kekasih, kekasihnya sekali pun tidak berhak atas rasa yang kamu miliki." Tutur Vallen.
"Let it flow Ca. Gak usah dihindari kalau memang iya." Tambah Hana.
"Aku tidak yakin kalian mahasiswa sastra, apa kalian dulu sempat kuliah di Psikologi?" Jawabku sembari memberikan wajah tidak percaya ku kepada mereka dan dijawab dengan tawa terbahak-bahak oleh kedua sahabatku.

Mendengar apa yang mereka ucapkan membuat ku kembali berpikir. Kenapa aku dengan mudahnya dapat menghiraukan perasaan ku ini yang baru saja akan tumbuh? Memang apa salah nya dengan mencoba? Siapa yang akan tahu apa yang terjadi di kemudian harinya? Siapa yang tahu tepat pukul berapa mereka benar-benar terlelap? Bahkan tidak ada yang tahu kapan hatinya mulai menjatuhkan cinta untuk sang terkasih?

***

"Kalian hati-hati ya? Jangan lupa istirahat, nanti bakalan latihan kan sorenya?" Ucapku sebelum berpisah dengan kedua sahabat ku selepas makan siang dikantin.
"Hmm, kamu juga jangan lupa besok ada kelas dan jangan telat lagi ya?" Hana mengingatkan ku dengan wajah yang sangat sangat dan sangat lembut.
"Siap bos!" Jawabku sambil memberi posisi layaknya prajurit yang tengah menerima tugas dan hendak melaksanakannya.
"Hati-hati juga saat akan kembali kerumah Ca." Sahut Vallen disela pembicaraanku dengan Hana.
"Kalian juga, pergilah. Aku akan melihat kalian pergi dari sini."
"Seperti akan kemana saja kita dibuatnya." Jawab Vallen dengan sedikit gelengan kepala dan tertawa bersama Hana.

Mereka berdua melangkah pergi menuju asrama Hana. Sedikit mengistirahatku tubuh serta pikiran, karena sorenya mereka harus kembali pada rutinitas yaitu kembali latihan dance. Ku raih saku kecil tempat handphoneku tersimpan dan segera mencari nama yang akan pergi menemaniku mencari makanan burung di siang ini. Kavi.

Setelah menemukan nama nya aku berfikir sejenak. Lebih baik mengirimkan pesan saja atau menelfon nya? Baiklah, terlebih dahulu kirim pesan kepadanya, jika tidak ada jawaban baru telfon. Ok!

To: Kavi
Kamu dimana? Sudah selesai belum ngumpulin tugasnya?

Sekitar 6 menit sesudah pesan ku terkirim kepadanya, aku pun mendapat balasan dari Kavi. Bukan balasan, lebib tepatnya mendapat panggilan dari Kavi.

"Halo?" Suara beratnya mulai terdengar dari sebrang sana.
"Halo?" Jawabku.
"Kamu dimana Ta?"
"Aku masih di Kantin."
"Sudah selesai?"
"Hm.." jawabku dengan anggukan kepala yang ku yakini Kavi tidak akan mengetahuinya.
"Tunggu disana, Saya sudah selesai mengantar tugas."
"Ok.."

Beep. Hanya bunyi telfon putus yang terdengar dari sebrang sana, manandakan si penelfon telah memutuskan panggilannya.

Baiklah, sekarang yang harus ku lakukan hanya menunggu Kavi. Lebih baik aku menunggunya diluar saja. Pasti dia akan lebih mudah menemukan ku.

"Eh.. bukannya kamu yang tadi?" Tiba-tiba saja aku menyapa seorang pria yang ku rasa baru saja ku kenali.
"Ah, kamu yang terlambat setelah Saya kan?"
"Hmm."  Aku mengangguk mantap mendengar jawabannya. Untung saja dia masih mengingat ku, lagian siapa sih yang bisa lupa dengan kejadian yang baru saja terjadi?
"Ada apa?"
"Tidak, aku hanya memastikan bahwa itu benar kamu atau tidak."
"Baiklah."
"Perkenalkan, aku Zhetta." Ku ulurkan tangan kanan untuk menyapa dan mengajak pria yang pagi ini telah menolongku.
"Saya Jacob."

Sekedar informasi. Namanya benar-benar mengingatkan ku kepada salah satu pemain film Taylor Lautner yang saat itu memerankan sebagai manusia serigala. Hanya itu yang terbayang olehku ketika mendengar namanya. Tapi, untuk manusia yang satu ini. Sangat, sangat, berbeda dengan Jacob di dalam film Twilight.

Dia memiliki kulit putih khas Eropa tanpa ada sedikit pun bintik-bintik merah menodai wajah tampannya, rambut berwarna coklat, bola mata biru, serta tubuh tinggi jakun dengan kemeja yang terlihat tidak sanggup menahan kedua otot pada lengannya. Sangat tampan.

"Zhetta?" Dia melambaikan tangannya tepat didepan wajahku, yang ku maksud dia adalah Jacob.
"Ahh iya? Nama mu mengingatkan ku pada Taylor Lautner."
"Untungnya Saya bukan setengah serigala. Bisa repot nantinya."
Jacob sukses membuat ku tertawa dengan lelucon sederhananya. Aku mengira dia akan bersikap dingin kepada ku dan untungnya tebakan ku salah kali ini.

"Senang berkenalan dengan mu Jacob."
"Terimakasih Zhetta."
"Apa di kelas selanjutnya kita akan bertemu?"
"Kenapa memangnya?" Entahlah. Aku pun tidak tahu mengapa pertanyaan seperti itu terlontar dari mulutku. Menurutku itu terlalu berbahaya bagi seorang perempuan. Bukan kah aku terlihat terlalu agresif hanya untuk menjadi seorang teman?
"Pasti menyenangkan punya teman seperti mu aku pikir." Semoga ini beruntung.
"Kalau begitu tidak usah dikelas, di luar pun kita bisa menjadi teman Zhetta."
"Kenapa tersenyum Zhetta? Sebahagia itukah kamu menjadi teman Saya?"

Astaga. Kesalahan apa yang aku lakukan disaat seperti ini? Ini bukan waktunya menunjukkan siapa yang bodoh. Langit, apa yang ku lakukan disaat kesan pertama dengan teman baru ku ini? Tolong bantu aku kembali dari zona ini..

Tanpa ku sadari, orang yang sedari tadi ku tunggu telah datang dan berdiri tepat di seberang sana. Kavi.

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now