Berlin, 15. #1

6 1 0
                                    

Iya, nanti kita pergi.

Apa aku tidak salah dengar? Nanti? Kita?
Aku dan Kavi? Siapa lagi?
Langit, kenapa semuanya berjalan begitu mulus? Kenapa hari ini berjalan seakan menolak kehendak ku?
Aku ingin menjauh dari Kavi.
Tapi kenapa dia selalu muncul di saat seperti ini? Apa dia mengetahui niat ku sehingga tidak membiarkan ku menjauh dari nya?
Tapi...
Untuk apa?

"Kapan?" Tidak mau memperpanjang, langsung saja ku tanyakan kapan Kavi bisa menemani ku untuk pergi ke toko tuan Fred.
"Nanti, kamu bisa?"
"Aku ada rencana makan siang nanti di kantin bersama Vallen dan Hana."
"Gak masalah, nanti siang Saya juga harus pergi. Kabari saja kalau kamu sudah siap."
"Hmmm, baiklah." Aku mengangguk mengerti. Tidak berniat membayangkan apa yang akan terjadi. Biarkan semuanya terjadi begitu saja tanpa harus aku khayalkan. Aku tidak ingin merusak semuanya.

"Saya harus pergi duluan Ta."
"Mau kemana memangnya?"
"Mau ikut?"
"Kemana?"
"Ke ruang seni."
"Boleh.."

***
Kami berjalan dalam diam, tidak masalah bagi ku. Sebenarnya, melihat Kavi seperti ini saja sudah cukup. Aku baru menyadari bahwa ranselnya yang seharunya berbentuk seperti biasa tapi kali ini malah berbentuk petak seakan seluruh ruang didalam ransel itu dipaksa untuk mengikuti bentuk persegi yang terletak didalam ransel milik Kavi. Mungkin itu Kanvas? Mengingat Hana pernah mengatakan bahwa Kavi sangat pandai melukis, dan dia seorang dari club seni juga. Baiklah, anggapan pertama seperti itu.

Kami berhenti disebuah gedung, memang tidak sebesar gedung lainnya. Ini adalah gedung dimana club seni berlatih. Aku rasa Vallen, Hana, dan Raynar selalu ke ruangan ini disaat latihan dance. Kavi membukakan pintu gedung itu. Ternyata didalamnya masih terdapat beberapa bilik lagi. Kira-kira bentuk gedung ini seperti sebuah sekolah kecil. Dimana terdapat loker di tiap sudut jalan. Pintu dengan berbagai macam warna dan model. Sepertinya dibuat berbeda agar dapat menandai mana pintu untuk berbagai macam divisi di club seni.

Banyak mahasiswa yang berlalu lalang melewati kami yang tengah berdiri didepan pintu masuk. Seperti mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku mengikuti Kavi yang berjalan ke arah kanan, karpet di sebelah kanan dan kiri pun berbeda. Karpet kanan yang kami lalui berwarna coklat. Menarik sekali, bagaikan menandai dimana jalan yang harus dilalui berdasarkan divisi. Jalur kiri memiliki karpet berwarna merah. Tampak banyak mahasiswa yang berlalu lalang menggunakan pakaian minim. Kurasa mereka adalah anak dance? Karena aku pernah melihat foto yang dipajang Hana dikamarnya ketika mereka memenangkan kopentensi dance tingkat universitas di Berlin, satu tahun silam.

Sepertinya kedua karpet berbeda ini memang berguna untuk membedakan jalan yang harus dilalui oleh para seniman artistik dan para seniman rupa. Aku benar-benar tertarik dengan setiap ruangan pada club seni ini. Bagaikan memiliki ciri khas masing-masing untuk menandai tempat mereka. Disetiap pintu memiliki bentuk berbeda, bahkan ada yang pintunya terukir atau hanya dibedakan oleh warna saja. Seperti ruang club lukis ini.

Pintunya yang berwarna coklat tua, pintu yang paling sederhana dibandingkan dengan pintu club memahat, aku tidak tahu namanya dalam dunia seni. Karena pintu club tersebut pun penuh dengan pahatan indah. Kavi menawari ku untuk masuk, ingin rasanya ikut dengannya masuk. Tapi tidak tahu dorongan dari mana, aku pun menolak dan memilih berdiri didepan pintu saja. Kavi pun tidak memaksaku atau meyakinkan ku untuk tetap ikut dengannya masuk ke dalam.

Pada saat Kavi membuka pintu coklat tua itu, terdapat beberapa mahasiswa yang sedang melukis diatas kanvasnya, aku sempat melihat sebuah dinding besar yang berisi dengan beratus-ratus lukisan yanh begitu indah. Mereka tidak menata letak lukisan tersebut, melainkan hanya menaruh nya didinding. Jika aku memberi bayangan, dimana suatu ruangan terdapat sebuah dinding besar sebagai pembatas ruangan antara club seni lukis, dan club disebelahnya. Kanvas yang sudah penuh dengan coretan indah sang pelukis terpampang secara teracak pada dinding tersebut, aku benar-benar mengagumi ruangan tersebut.

Setiap bagian dinding memiliki warna yang berbeda. Tapi pada intinya mereka mengusunh warna coklat dan saudaranya, yang aku maksud itu coklat dan berbagai jenis coklat lainnya. Sedangkan dinding yang dilapisi oleh kanvas-kanvas tersebut berdasarkan warna coklat tua, lebih tua dari pada warna pada pintu masuk tadi. Sehingga lukisan pada kanvas yang bertengger di dinding coklat tua itu terlihat begitu bersinar.

Kavi masuk dan disambut oleh seorang pria yang tampaknya seusia dengannya, mereka berjabat tangan dengan begitu santai layaknya seorang teman akrab. Hanya pendaptku saja. Dia sempat melihat kearah ku sebelum pintu ruangan itu benar-benar tertutup. Aku membalasnua dengan anggukan serta sebuah senyuman kecil. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi, karena aku hanya menunggu Kavi diluar. Selagi menunggu Kavi, aku berniat melihat beberapa pintu dari club lainnya.

Bagaimana aku harus menyebut mereka? Ini benar-benar luar biasa. Ada sebuah pintu dengan dinding yang memiliki grafity yang seakan hidup dalam dinding tersebut. Aku berhenti tepat di depan pintu dengan dinding yang penuh oleh grafity. Ku coba untuk memegang tekstur pada dinding tersebut, aku merasakan sesuatu yang hidup pada gambar tersebut. Sangat menarik dimataku. Tiba-tiba saja pintu terbuka, seorang perempuan keluar dengan rambut yang dikucir tinggi, baju yang penuh dengan warna akibat cat yang digunakannya untuk menumpahkan segala idenya. Aku melemparkan senyum kecil kearahnya dan dibalas senyum yang lebar. Matanya sudah seperti mata hewan khas China. Disekitaran matanya terdapat kantung mata yang sudah berubah menjadi warna hitam. Aku tidak sempat melihat kedalam ruangannya, karena setelah keluar sang perempuan tersebut langsung menutup rapat pintunya.

Aku kembali menatap grafity pada dinding ini, mungkin untuk membuat sebuah arsip didalam memory ku. Agar sewaktu jika aku kembali ke Indonesia dapat selalu mengingatnya selain melalui hasil foto pada cameraku. Aku membalikan badan menuju ruangan Kavi, ternyata dia sudah berdiri didepan pintu. Aku bergegas berjalan kearahnya. Jantungku masih sama setiap kali melihat Kavi.

"Udah?" Itu hanya pertanyaan basa-basi saja. Agar tidak terlihat canggung didepannya.
"Udah, kamu?"
"Udah kok, kapan-kapan lagi aja kesini biar puas. Sekarang kepepet sama waktu."
"Kapan-kapan?"
"Iya, aku kan bisa kesini juga sama Vallen dan Hana. Atau sama Raynar."
Kavi hanya mengangguk menjawab pernyataanku, dia langsung membalikkan badannya dan berjalan didepan ku menuju pintu keluar dari club ini.

"Kamu jadi makan bareng Vallen Hana?"
"Jadi kayanya. Aku kabarin mereka dul deh kalo gitu."
"Hmm."

***
Setelah mengantarku ke kantin, Kavi berpamitan untuk pergi. Katanya mau ngumpulin tugas. Yasudahlah ya? Nanti juga ketemu lagi.

Tidak lama Kavi pergi, Vallen dan Hana pun datang. Seperti biasa, mereka selalu memberikan salam yang hangat. Memeluk ku, atau sekedar memukul pelan pundak ku.

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now