Berlin, 10. #4

12 1 0
                                    

"Untung saja darahnya dikit kak, kalau banyak mungkin sudah pingsan Kavi." Ungkap Juan padaku.

Saat itu hanya ada aku dan Juan. Aliya sedang pergi ke dapur untuk membersihkan tangannya dari bekas obat-obatan dan meletak kan kembali kotak P3K yang baru saja digunakan untuk menyembuhkan luka pada ibu jariku.

Aku khawatir. Khawatir dengan Kavi. Apa yang salah dengannya? Kenapa harus pingsan?

"Maksudmu Juan?"
"Kavi phobia terhadap darah."
"Karena apa?"
"Aku hanya tau itu, dan tau pun dari Raynar."

Aku menjadi tidak enak pada Kavi. Aku merasa tidak boleh terluka, atau lebih tepatnya melukai tubuhku sehingga menimbulkan banyak darah dan membuat Kavi pingsan. Jangan sampai!

"Sudah mendingan belum? Masih perih?" Aku seperti menemukan sisi lain pada Juan. Dia memang sangat usil, hanya saja disisi lain dia bisa menjadi tenang dan terlihat mengagumkan. Benar-benar berbeda wajahnya saat mengusili orang dan wajah seriusnya ini.

"Sudah kok, kamu balik gih kerumah. Sudah malam"
"Nunggu Aliya dulu baru pamit."

Aku hanya tersenyum dan mengangguk padanya. Sepertinya Juan menyukai Aliya. Dia mencoba menarik perhatian Aliya, hanya saja Aliya selalu menghiraukan nya dan menganggap semuanya hanya keusilan dari Juan.

"Kau tidak akan balik?" Aliya muncul dari dapur. Bermaksud bertanya pada Juan tentunya.
"Bisa memangnya?"
"Pulang."
"Baiklah, sampai jumpa besok kak?" dia tersenyum padaku. Manis.
"Hmm."

Setelah Juan kembali, Aliya menopang ku untuk kembali kekamar. Sebenarnya ini hanya luka kecil, akupun bisa berjalan sendiri. Tapi Aliya tampak khawatir dan ingin menjagaku. Lebih baik aku turuti bantuannya.

***

Jum'at, suatu shubuh di Berlin.

Aku terbangun dengan adzan lokal yang terdengar dari lantai bawah apartment ku. Seperti biasa, pada apartment housefam ku ini terdapat radio yang berbunyi setiap jam sholat. Radio itu benar-benar membantu kami untuk menunaikan sholat sesuai waktu di Berlin.

Ini waktunya sholat shubuh. Sudah menjadi kebiasaan ku, setiap shubuh selalu mengirimkan voicenote pada group whatsapp keluargaku di Indonesia. Hanya sekedar mengabari kegiatan ku sehari-hari atau dengan berbagi sticker satu sama lainnya.

Setelah mengirim kabar melalui voicenote group, aku langsung menunaikan ibadah sholat shubuh. Sebelum berwudhu, aku melepaskan plester pada ibu jariku. Tampaknya keadaan jariku sudah membaik, jadi tidak perlu menggunakan plester begini. Biasanya jika dirumah, setelah sholat shubuh aku akan melanjutkan tidur, jika tidak masuk kuliah pagi tentunya. Aku akan melanjutkan tidur dengan beralaskan sejadah. Seperti menjadi kebiasaan saja tertidur sesudah sholat shubuh bagiku.

Tapi semenjak di Berlin, kebiasaan tidur setelah sholat shubuhku mulai berkurang. Itu perubahan yang baik bukan?

Di Berlin, aku lebih suka setelah melaksanakan sholat shubuh membuka jendela dan menikmati sejuknya udara pagi. Udara yang dingin tapi membawa kesejukkan bagiku. Udara yang lembab jika semalam langit Berlin menurunkan airnya. Aku mulai menyukai kegiatan baruku ini. Satu lagi, aku mulai menyukai pemandangan apartment didepanku.

Apartment yang setiap shubuh lampunya sudah menyala, tetapi tidak dengan jendelanya yang masih tertutup rapat. Siluet si empunya kamar tengah berjalan mondar mandir, kadang memegang sebuah cangkir, atau seperti shubuh ini. Kepalanya ditutupi oleh peci dan pada bahunya tertengger sebuah sejadah. Dia membelakangi apartment ku. Tidak masalah bagiku. Bahkan melihat dari belakang saja sudah dapat membuat jantungku kembali tidak patuh pada otak ku.

***

Tepat jam setengah 8 pagi, waktu setempat. Aku telah siap untuk pergi dengan Juan. Seperti janji yang sudah kami buat. Juan akan menjemputku di apartment jam 9.

Hari ini aku menggunakan outfit yang sederhana. Aku memakai kaos putih dengan lengan 3/4, tetapi ku lampisi dengan jacket levis berwarna biru langit. Aku menggunakan rok kembang berwarna abu-abu dengan lipatan-lipatan kecil disetiap bagiannya. Untuk jilbab, aku memakai pasmina warna yang juga berwarna abu-abu, dengan bahan yang lembut entahlah nama bahannya apa, yang jelas teksturnya lembut dan mudah dibentuk.

Tentu saja aku membawa camera. Aku tidak bisa kehilangan kesempatan untuk mengabadikan keindahan Berlin dengan gratis, sebelum semuanya akan berbayar. Jadi manfaatkanlah. Aku memasukkan cameraku kedalam ransel putihku untuk sementara, sebelum ku gunakan.

Tepat waktu. Juan datang menjemputku tepat jam 9. Tidak kurang dan tidak lebih. Kami langsung pergi menuju tempat yang diusulkan oleh Juan. Pada saat aku bertanya kemana tempat usulannya itu, dia hanya menjawab "Aku rasa kau pasti akan suka." Semoga saja ya Juan?

Sampailah kami pada tempat yang Juan maksud, setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 1 jam kurang sedikit. Lumayan lama ya? Tapi serius, berpergian dengan Juan tidak membosankan.

Dia memiliki sisi berbeda menurutku, dia yang saat ini bersamaku terlihat lebih tenang dan mengagumkan untuk kalangan wanita seusianya. Mengapa Aliya tidak menyadarinya ya?

Kami berlabuh pada restoran korea dengan nama Ssam Korean Barbeque, yang terletak di jalan Kottbusser Damm 96.

Sepertinya Juan lupa, jika restoran Korea ini buka pada jam 12. Akibatnya kami harus menunggu didepan restoran sambil menikmati jalanan didepan kami saat ini.

Setelah 1 jam lebih menunggu tanpa mengeluh, hebatkan? Ini semua berkat Juan. Kami pun masuk ke dalam restoran korea itu. Restoran nya sangat sederhana menurutku. Pada luarnya dicat menggunakan warna coklat gelap dan diatasnya tertuliskan Ssam dengan huruf balok. Berbeda kondisinya dengan dalam ruangan yang terkesan lebih modern dengan pilihan warna yang cerah di beberapa sudut restoran. Baiklah, cukup ku pikir untuk mengagumi bentuk rupa dari restoran ini.

***

"Aku rasa kau tau kalau aku menyukai Aliya." selanya disaat sedang sibuk membalik kan daging yang ada diatas penggorengan.
"Hmm" jawabku. Hanya itu, sambil menatapnya.
"Dia berbeda. Orang-orang mengatakan bahwa dia dingin, dan jauh dari kata manis. Tapi bagiku dia sangat manis. Aku paling tidak tahan saat melihatnya tertawa. Lesung pipi pada pipi kanannya membuatku tak dapat mengalihkan pandangan darinya Zhett."

Memang benar, Aliya sangat manis saat tertawa. Lesung pipi yang muncul tepat waktu, disaat si pemilik pipi tengah tertawa. Menambah kan kesan manis dan lembut pada si pemilik wajah.

"Lalu?"
"Cukup jadi pendengar dan penasihatku saja. Bagaimana?"
"Akan kupikirkan dulu, kamu taulah Aliya sangat keras anaknya."
"Baiklah." jawabnya dengan pasrah, sambil meletak kan sepotong daging diatas nasiku.
"Hahaha, aku hanya bercanda. Tentu saja aju akan menolongmu." aku langsung menepuk bahunya. Tampaknya aku tidak bisa lebih lama mengerjainya. Tidak tega melihat wajahnya bulenya itu menjadi murung.

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now