Berlin, 14. #1

5 0 0
                                    

Apa yang harus ku lakukan sekarang? Apa aku harus menemuinya dan mengatakan terimakasih karna sudah meminjamkan jacket nya padaku? Atau hanya mengirim pesan singkat saja?

Aku memandangi jacket Kavi yang ku gantung pada tempat menggantung jacketku. Tidak lupa ku taruh baskom kecil dibawahnya untuk menampung air yang mengalir dari jacket tersebut.

Lebih baik aku mengirim pesan singkat saja. Baiklah.

To: Kavi
Terimakasih jacketnya

Kira-kira sudah 5 menit aku mengirim pesan kepada Kavi tapi dia belum juga membalas pesan ku. Atau? Dia sakit? Karna memberiku jacket dia jadi pulang kehujanan? Atau dia masih menunggu hujan reda di kampus? Astaga.

Memikirkannya saja sudah membuat ku khawatir. Apa Kavi baik-baik saja? Dimana dia sekarang? Sudah 20 menit dia tidak membalas pesanku. Langit, apakah Kavi baik-baik saja? Ku mohon, biarkan aku tahu bagaimana keadaannya saat ini.

Aku mencoba berjalan kearah jendela. Berharap menemukan jawabannya. Tetap saja, aku tidak menemukan jawabannya. Jendelanya tertutup dan lampu kamarnya pun mati. Langit...

Entah pikiran apa yang merasukiku, membuat ku memilih mengambil jacket dan masih dengan piyama lengan panjang berbentuk longdress yang kusertakan dengan stocking agar kakiku tidak merasa kedinginan.

"Kak mau kemana?" Aliya yang tampak serius tadinya menonton langsung berdiri melihatku yang turun tergesa-gesa dari atas.
"Ada perlu Al. Janji gak bakalan kesasar kok. Percaya sama kakak, ok?" Aku menghampiri nya dan berusaha membuatnya yakin. Karna aku memang tidak ingin sesuatu terjadi pada diriku sendiri disaat aku ingin menyelamatkan seseorang, walaupun aku tidak tahu dia memang harus diselamatkan atau tidak.

Tanpa menunggu jawaban Aliya aku langsung berlari menuju pintu. Terakhir yang ku dengar Aliya berteriak bahwa dia ingin melihatku membuka pintu bukan mendapat pesan karna tersesat. Selagi berlalu dari apartment aku mengiyakan perkataan Aliya.

Saat berada di luar aku langsung memakai payung berwarna bening yang sudah ku bawa dari apartment. Saat akan menyebrang aku menyempat melihat kearah sekitar. Jalanan tidak seramai biasanya. Karna hujan pastinya. Semua orang jadi malas untuk bepergian dari rumahnya. Memilih untuk duduk didepan tv bersama keluarga dan menikmati coklat panas sambil bersenda gurau tanpa memedulikan tv yang terus mengeluarkan suara dan gambarnya untuk sang tuan.

Aku memilih menunggu Kavi didepan apartmentnya. Karna jika aku menunggunya di halte itu sedikit menyeramkan, karna aku harus berjalan melewati lorong si pria gila. Walaupun sekarang bukan malam sabtu. Mungkin lebih menyeramkan karna saat ini hujan. Coba saja tidak hujan, akan ku tunggu Kavi di halte.

Aku berjalan di zebracross yang menghubungkan apartment ku dan aparment Kavi. Berhubung aku tidak mengetahui nomor kamarnya, jadi aku memilih untuk menunggu didepan apartment nya saja. Lagian dengan begitu aku merasa tidak bosan. Karna dapat melihat keadaan malam berhujan di berlin.

Lima menit awal aku sama sekali merasakan perasaan yang aneh atau pun semacamnya. Aku masih bisa menikmati suasana di sekitar apartment Kavi. Aku melihat taman yang berada disamping apartment ku tidak berpenghuni. Hanya orang yang berlalu lalang disekitarnya.

Sudah menuju 20 menit aku menunggu Kavi didepan apartmentnya. Jam pun sudah menunjuk kan pukul 9, bukan nya takut berada diluar. Aku takut Aliya akan khawatir dengan ku. Jadi tadi ku putuskan untuk mengirimnya pesan.

Fo: Aliya
Urusannya belum siap, jadi jangan khawatir. Kakak bakalan baik-baik aja.

Tidak perlu menunggu lama, Aliya langsung membalas pesan yang ku kirimkan.

From: Aliya
Yatuhan! Ku pikir ada apa kakak mengimku pesan. Yasudah, jangan lama-lama ya? Sekarang hujan tau.😠

To: Aliya
Siap nyonya😉

Rasanya satu masalah sudah pergi, datanglah masalah berikutnya. Kavi belum juga sampai di apartmentnya. Apa dia sudah di apartmentnya? Mungkin dia tertidur makanya lampu sudah dimatikan dan jendelanya sudah tertutup?

Rasanya kakiku penat sekali. Mulai dari memainkan air yang jatuh dari atap apartment Kavi dengan kakiku. Sehingga membuat sepatu yang ku pakai sudah berubah warna seakan telah di semir.

Bahkan aku sempat menghitung orang-orang yang berlalu lalang didepan ku. Hingga pada saat ini, sudah terhitung 17 orang berjalan melaluiku. Aku capek. Letih rasanya berdiri hampir setengah jam.

Ku putuskan untuk jongkok sebentar, untuk mengurangi rasa penat pada kaki ku. Tetap ku hitung berapa orang yang sudah berjalan dihadapan ku.

"Ta?" Tiba-tiba saja rasa khawatirku seakan meluap ke udara, terbawa bersama hujan.
"Kavi?" Aku langsung berdiri dan melihat kearahnya. Kavi hanya menggunakan jacket untuk melindungi dirinya dari hujan. Aku benar-benar tidak tega melihat nya basah seperti ini. Entah kenapa rasanya mataku kembali memanas melihat nya basah kuyup seperti ini.

"Iya, ngapain disini?"

Tiba-tiba saja aku mendorongkan payungku kearahnya. Membuat Kavi yang berdiri dihadapanku saat ini terlindungi oleh hujan. Aku tidak sempat memikirkan jarak diantara kami yang semakin menipis, yang terfikirkan oleh ku hanya rasa bersalah. Tapi.... untuk apa?

"Tadi aku pikir kamu bakalan kehujanan, soalnya Aro memberikan ku jacket milikmu."
"Saya punya dua."
"Oooh gitu.." tidak tahu lagi harus menjawab apa. Aku bahkan terdiam dengan apa yang baru saja ku lakukan.

Kami berdua terjebak dalam pikiran masing-masing. Aku tidak tahu harus berkata apalagi saat ini, yang dapat ku lakukan hanya memandangi ubin yang kami pijaki penuh tertutup oleh genangan air. Aku tidak tahu apa yang Kavi lakukan, aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.

Malu rasanya. Bahkan Kavi tidak bertanya mengapa aku berniat menunggunya disini? Tidak bertanya bagaimana keadaan ku saat ini? Apa aku yang terlalu egois sampai lupa jika yang harus di khawatirkan adalah dia?

"Istirahatlah, aku akan pulang." Aku menarik lengan jacketnya berada dibawah naungan atap apartment. Sehingga saat ini dia berada disampingku. Melihat reaksinya yang hanya diam saja. Aku langsung berjalan menuju trotoar.

Bahkan dia tidak menahan ku untuk sekedar berteduh. Rasa khawatirku memang menghilang saat melihat Kavi sudah kembali dengan selamat. Tapi entah kenapa aku merasa bahkan untuk sebuah simpati, Kavi tidak memilikinya untuk ku.

Aku tidak berandai andai bahwa Kavi akan mengkhawatirkan ku, hanya saja disisi hatiku yang lainnya memberontak ingin lepas dari rasa ini.

Aku ingin tidur dan melupakan segalanya. Aku tidak ingin membuang air mataku hanya untuk hal yang tidak penting seperti ini. Iya, tidak penting.

***

Sebelum tidur, aku menyempatkan mencuci jacket milik Kavi, serta langsung menggantungnya agar besok dapat ku kembalikan padanya.

Tidak tahu apa yang ada dipikiranku, dan apa yang di inginkan oleh hatiku. Terpenting, aku tidak akan mengharapkan hal yang lebih dari Kavi. Cukup yang kemarin. Memang patut aku berpegang teguh pada ucapanku, cinta pandang pertama itu tidak ada.

Dan aku, tidak suka, atau sayang, bahkan cinta padanya. Kavi.

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now