Berlin, 8

23 1 0
                                    

Tepat diseberang sanalah apartment Aliya -housefamku- terletak. Apartment yang berada dilantai 6 dan 7, yaitu lantai teratas. Apartment yang ditempati Aliya dan keluarganya ini bergaya klasik dan Aliya pernah berkata pada ku bahwa apartment ini pun sudah hampir berusia puluhan tahun. Tetapi tetap saja bangunan di Berlin ini membuat ku selalu terkagum kagum.

Disebrangnya terdapat apartment satu kamar atau dua kamar yang memiliki panjang dua kali apartmentku. Ein Zimmer Apartment dalam bahasa jerman nya. Apartment diseberang itu memiliki 11 lantai ditambah dengan skyline pada puncak gedungnya.

Sangat bertolak belakang dengan Apartment ku, bangunan Ein Zimmer itu sendiri sudah mengusung konsep modern. Dari pemilihan warnanya saja sudah berbeda dengan bangunan klasik di berlin pada umumnya yang lebih mendominan menggunakan warna coklat atau sebangsanya. Ein Zimmer ini menggunakan warna putih dan biru tosca. Konstruktur bangunannya pun sudah modern. Tidak menggunakan tiang-tiang besar dengan ukiran-ukiran yang seakan menyimpan makna di baliknya.

"Masuklah, Saya juga harus kembali ke apartment." Tuturnya sambil mengarahkan kepalanya kearah pintu apartementku.
"Apartment mu masih jauh dari sini?" aku merasa tidak enak, karena dia harus kembali ke apartment nya malam begini.
"Tidak, apartment Saya tepat didepan apartement mu." jawabnya singkat sambil memasukkan tangannya kedalam saku jacket yang baru di kenakan nya saat kami akan turun dari bus tadi.

Aku tidak tahu alasan apa yang membuat jantung ku kembali berdetak kencang dan rasa senang apa yang tengah menggelutiku. Entahlah, yang penting pada saat dia mengatakan bahwa asramanya tepat berada diseberang apartementku dan semenjak itu semuanya terasa, berbeda.

"Baiklah, terimakasih sudah membantuku Kavi."
"Tidak masalah, masuklah."
"Kapan-kapan aku traktir ya sebagai ucapan terimakasih ku."
"Kamu sudah mengucapkan nya tadi."
"Iya, cuma sebagai bentuk. Tadikan masih ucapan saja."
"Baiklah."
Aku pikir dia akan menolak, dengan mengatakan 'tidak usah', 'tidak perlu' atau lebih kasarnya ia akan mengatakan 'kita tidak sedekat itu'. Untung saja dia tidak mengatakan hal semacam itu.

"Aku masuk ya!" seruku sambil membuka ganggang pintu apartement. Serta dijawab dengan anggukan oleh Kavi.

***

Setelah sampai diapartement Aliya dan keluarganya tampak sedang menungguku dengan wajah panik. Aku menekan bel dan Aliya membukakan pintu dan segera memelukku. Matanya tampak sembab. Ayah dan bundanya menyusul dibelakang.

"Kak maaf ya tadi aku langsung pergi tanpa kabarin kakak. Dari toko tadi aku langsung pergi keperempatan toko. Setelah aku kembali aku tidak melihat kakak. Aku langsung panik dan menelfon Ayah dan Bunda." Aliya menjelaskan kronologi kenapa ia bisa terpisah dengan ku, dan juga meminta maaf.
"Iya, gak apa-apa Al. Kakak tadi udah nyusulin kamu tapi gak ketemu. Jadi kakak jalan aja terus akhirnya sampai dimesjid." Aku berusaha menenangkan Aliya yang tampaknya panik.
"Kamu tidak apa-apa Zhett? Bunda sudah menghubungimu dari tadi, tapi handphone mu tidak aktif." bunda mengambil alih.
"Batrai handphone ku habis bunda, maaf sudah membuat khawatir." aku merasa bersalah setelah menghilang untuk beberapa jam yang lalu, walaupun bukan kesahalan ku sepenuhnya.
"Lalu bagaimana caranya kamu menemukan apartement?" bunda kembali bertanya untuk memastikan.
Lalu aku menjelaskan bagaimana caranya aku bisa sampai di apartement pada bunda, ayah, dan Aliya.
"Baik sekali pemuda itu, kita harus mengajaknya makan malam bersama." Usul Ayah, entah bergurau atau memang sebenarnya ingin menawari makan malam sebagai tanda terimakasih.

Aku dan yang lain hanya tertawa dan mengiyakan apa yang diusulkan oleh Ayah. Lalu Bunda menyuruh ku untuk bersih-bersih dan sholat maghrib. Serta segera berkumpul untuk makan malam bersama.

***
Setelah melakukan apa yang diperintahkan Bunda, aku kembali kekamar.

Setiap apartment ditempat housefam ku ini terdiri dari dua laintai. Untuk bagian dalam apartment tentunya memiliki perbedaan. Sedangkan apartment housefam ku ini memiliki tiga kamar. Kamar yang ku tempati ini terletak dilantai dua dari apartement housefam ku. Disampingnya terdapat kamar Aliya. Pada lantai satu terdiri dari ruangan tv, ruang makan yang bersebelahan dengan dapur dan hanya dipisahkan oleh tembok. Setiap kamar memiliki jendela. Hanya dilantai satu, pada ruang tv jendelanya juga terdapat balkon.

Aku langsung merebahkan badan diatas kasur. Rasanya kakiku akan lepas dari tubuh ini. Benar-benar pegal sekali. Aku menghela nafas dan berjalan menuju jendela yang belum sempat ku tutup.

Berniat untuk menutup jendela, aku malah terfokus pada jalanan dibawah, udara dingin malam ini tidak mengurungkan niatku untuk mengabadikan keadaan malam ini dengan cameraku. Aku bergegas mengambil camera dan beberapa kali memfoto keadaan diluar sana. Aku melihat hasil foto yang kuambil barusan.

Jalanan malam ini tidak begitu padat, apa mungkin karena ini malam selasa? Jadi tidak banyak mobil atau sepeda motor berlalu lalang? Bisa saja mereka lebih memilih merebahkan badan diatas kasur serta menyalakan penghangat ruangan dan menikmati berlalunya malam selasa ini. Aku masih tetap menatap jalanan dibawah, hingga pandanganku beralih pada apartment didepanku.

Hampir semua lampu pada apartment tersebut menyala. Menandakan si penghuni masih terjaga. Tiba-tiba saja aku tersadar akan sesuatu. Tepat disebrang sana, berhadapan dengan jendelaku. Aku melihat dia. Aku yakin tidak salah liat. Sudah seharian ini aku bersamanya mana mungkin aku bisa lupa dengan wajahnya?

Kavi.
Aku kembali melihatnya. Kali ini aku melihatnya dari sebrang sana tepat, berhadapan dengan jendela kamarku.

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now