Berlin, 12. #3

7 0 0
                                    

Kavi meminta maaf kepadaku. Untuk apa? Benar bukan pertanyaan ku? Dari tadi perasaan ku dia tidak ada melakukan suatu kesalahan. Malah aku yang merasa merepotkan nya.

"Maaf ya."
"Untuk?"

Diluar dugaanku. Jauh diluar dugaan ku pada saat itu. Rasanya jantung ku ingin lepas dari posisinya.

Kalian tau? Apa yang terjadi setelah itu?

Kavi merangkul ku! Merangkul ku? Langit malam. Aku tidak dapat menyembunyikan betapa bahagianya aku malam itu. Akan ku jelaskan bagaimana rasanya menjadi salah satu tokoh dalam sebuah novel. Aku berada di part ke 3, novel romantis. Berada di part dimana si pria merangkul sang gadis untuk melindunginya dari ramainya malam itu.

Bukan main bahagianya. Benar yang dikatakan para penulis novel romantis itu. Saat di rangkul oleh seorang pria yang kau suka maka rasa senang akan menggelayuti hatimu. Kupu-kupu akan berterbangan lincah didalam perutmu. Rasa nyaman, aman seketika tersedia dalam satu lengan panjang yang saat ini tengah merangkul mu.

Rasa itu yang saat ini ku rasakan. Di tengah jalan pada salah satu zebra cross dari sekian banyak zebra cross di Berlin. Tidak peduli tanggapan orang tentang aku dan Kavi saat ini. Yang terpenting adalah Langit malam, Malaikat-Nya, tahu. Bahwa aku merasa terlindungi berada didekatnya dan bersamanya.

Tapi tunggu. Ada sesuatu yang harus ku bahas. Tadi aku menyebutkan saat dirangkul oleh pria yang kau sukai? Benar itu yang ku katakan? Mungkin kah aku menyukai Kavi? Jangan dulu. Terlalu cepat bukan? Aku mohon hati, perlambatlah jalan mu menuju sesorang yang dapat mengisi kekosongan mu.

"Untuk merangkul mu."
"Eh?"
"Maaf telah merangkul mu."
"Ahh.. Tidak apa-apa."
"Masuklah, kita sudah sampai."
"Hm."

Setelah mengangguk kepada Kavi, aku berlari kecil menuju restoran Jepang itu. Aku mendapati Aliya, Juan, dan Aro tengah berbincang.

"Maaf terlambat."
"Gak papa kak, kemana emangnya tadi?"
"Kami mampir di toko Mr. Fred tadi, aku pergi membeli beberapa barang."
"2x dalam bulan ini?" Aro bertanya, pertanyaan yang sama dengan Mr. Fred. Memangnya kenapa? Apa salah kalau Kavi membeli peralatan itu 2x dalam sebulan? Membingungkan.
"Hm." Kavi hanya mengangguk dan mengambil kursi diantara Juan dan Aro, aku memilih duduk diantara Juan dan Aliya.

"Mau makan apa kak? Pesan aja, Juan yang traktir."
"Kamu lah Al, yang ngajak kesini kamu kan?" Juan membela diri.
"Kalian aja yang bayar berdua kalau gitu." Selalu menjadi penengah, Aro.
"Boleh, asal berdua ya Al?" Goda Juan.

Aliya tidak menghiraukan perkataan Juan, dia membantu ku memilih makanan yang menurutnya andalan direstoran ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk memesan beberapa makanan yang dipilihkan oleh Aliya. Aku tidak mengingat namanya, karena yang dipesan Aliya bukan sushi atau sashimi yang sudah biasa ku dengar. Yang jelas, untuk minuman aku memesan Matcha. Di Padang pun, jika aku makan ke restoran Jepang, aku selalu memesan Matcha. Aku sangat suka matcha. Bahkan ice cream Mcd rasa matcha pun menjadi salah satu favorit ku.

"Bagaimana kalau kita ajak Raynar?" Juan menguslkan rencana ditengah pembicaraan kami.
"Raynar tidak suka makanan Jepang." Aro menyenggah usulan Juan tersebut.
"Bahkan untuk duduk disini pun dia tidak mau?" Aku bertanya kepada Aro, sedikit penasaran. Seenak ini masakan Jepang bagaimana bisa ia tidak menyukainya?
"Tadi saya sudah mengajaknya, tapi ia menolak." Kavi menjawab pertanyaan ku.

***

Setelah makan kami bergegas untuk segera pulang. Karena malam ini menunjukkan pukul 9 malam. Sudah waktunya kami kembali ke apartment masing-masing. Untung saja sebelum kesini aku sempat tidur dahulu. Jadi rasa capeknya tidak separah yang terbayangkan. Kami mulai berpisah jalan saat turun dari halte menuju apartment.

Mereka -Aro dan Kavi- meminta maaf karena tidak dapat menemani ku, Aliya, dan Juan kembali ke apartment. Karena mereka harus pergi ke sebuah minimarket dulu. Baiklah, tidak masalah.

Tapi yang jadi masalahnya adalah, Aku. Aku masih kepikiran kejadian yang baru saja terjadi antara aku dan Kavi. Aku tidak dapat menyembunyikan rasa senang ku. Sampai sesaat akan menunggu Juan berjalan menuju apartment, ia menanyaiku.

"Zhetta? Aman kan? Dari tadi senyum-senyum sendiri?"
"Eh? Gak apa-apa kok. Hehe" aku menjawab dengan kikuk pada Juan.

***

Bukan hanya aku, seperti layaknya yang lain. Setelah tidur siang nya atau sorenya, akan sulit untuk tidur dimalam harinya.

Itulah yang saat ini ku rasakan. Entah ini akibat aku yang sudah tidur sore tadi, atau karena aku yang tidak bisa terlepas dari 'scene novel' yang baru saja ku dapatkan tadi. Dari Kavi tentunya.

Saat ini aku tengah menggulingkan badanku pada selimut putih tebal yang dibawa kan bunda saat beberapa waktu lalu pulang ke kampung halaman dan bertemu dengan Ibuku. Aku menggelinding dari sudut kanan sampai kiri. Begitu seterusnya.

Sudah bosan dengan kegiatan tersebut, aku memilih mengambil hp yang ku letak pada meja kecil di samping kasur. Aku memandang layar Iphone ku yang bergambar kan foto gedung di Berlin ini yang sempat ku abadi kan dengan ponsel.

Aku memilih menyalakan pemutar musik dan memilih lagu dari Endah N Resa yang berjudul when you love someone. Rasanya malam ini sangat cocok dengan lagu itu, bagai alunan lembut suara sang penyanyi dapat membawa ku pada liriknya yang benar-benar menyentuhku.

Iphone ku hanya mengeluarkan lagu Endah tersebut secara berulang ulang. Karena aku memang menyetel nya menjadi repeat one. Aku memang selalu memutar suatu lagi sampai rasanya sudsh bosan untuk mendengarkannya.

Sempat terpikirkan untuk mengirim pesan singkat pada Kavi, tapi ku urungkan.

Apa gunanya Zhett?
Dalam rangka apa kamu mengirim nya pesan?
Apa kamu yakin dia akan membalas pesanmu?

Wahai langit malam. Bagaimana ini?
Perasaan apa yang menghinggapiku setiap kali mendengar nama nya? Bahkan jantung ku berdegup lebih kencang saat aku melihatnya. Aku tidak ingin terjebak dalam cinta pandang pertama, langit ku.

Mustahil bagiku untuk memiliki pengalaman cinta pertama. Aku selalu saja mengolok orang-orang yang percaya akan adanya cinta pertama itu. Langit malam, bantu aku menjawab pertanyaan dari rasa ku ini??

Sekelebat pertanyaan bermunculan saat seuntai rasa ingin tersampaikan oleh si empunya.

Aku tidur saja lah.
Semoga hal baik akan mendatangi ku, bersama Berlin.

Selamat malam, Kavi.

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now