Berlin, 4

26 1 0
                                    

Astaga. Apa lagi ini?

Sekarang bukan hanya bingung, aku mulai merasa feeling ku bekerja terlalu baik sehingga menimbulkan terlalu banyak emoticon didalam hati, bahkan otak ku sekalipun.

"apa maksudmu?" Kavi terlihat terkejut dengan ungkapan mendadak dari Aro.

"Saya harus menggantikan mr. Allard untuk kelasnya jam 2 nanti. Kamu taulah saya adalah asistennya. Saat ini ia sedang pergi ke Chicago." Aro langsung menjelaskan alasannya kepada Kavi yang tentu saja aku juga mendengarnya. "Bagaimana ini?" tanyanya.

"Yasudah, kamu kembali saja. Saya juga tidak ada kelas setelah ini. Biarlah Saya saja yang membantu dia mencari housefam-nya."

Ok, aku rasa tadi sudah menyebutkan namaku? Apa susahnya tinggal mengatakan Zhetta? Sesulit itukah? Sudahlah, aku tidak perlu memikirkan ini. Hanya akan membuatku semakin panik dengan keadaan saja.

"Zhetta maaf sekali, saya tidak bisa menamanimu. Jadi tidak masalah ya jika hanya Kavi yang menemanimu?" Raut wajahnya terlihat seperti seorang yang mengkhawatirkan adiknya yang harus dititipkan dengan temannya yang mungkin sedikit Sangar? "Tidak masalah Aro, aku akan baik-baik saja selagi ada yang lebih mengetahui Berlin daripada aku." Jawabku buru-buru agar tidak berlanjut pada opini ku yang kadang tidak berguna itu.

"Vi baik-baik ya sama Zhetta. Bantuin dia" Pesan Aro sebelum benar-benar meninggalkan ku bersama Kavi. "Baiklah ro" hanya itu jawaban yang keluar dari bibir nya seingatku. Ya, hanya itu. Memangnya mau apalagikan?

***

"Jadi dimana alamat apartement housefam mu?" Akhirnya dia mengeluarkan pertanyaan setelah kurang lebih 15 menit kami berjalan. Aku ragu menjawabnya, tapi mau bagaimana lagi memang itu nyatanya. "Aku tidak tahu dimana alamatnya, kalimatnya sangat susah untuk dihafalkan"

Aku mencoba melihat kearahnya yang tepat berdiri disampingku, dia hanya diam. Tampak seperti sedang berpikir. Rambutnya yang panjang tersebut tidak dapat menghalangi matanya yang terkena sinar matahari, karena rambutnya tetap setia berada di sisi telinganya. Akibat sinar matahari tersebut, matanya yang memang berwarna coklat terlihat semakin mengagumkan.

Tadinya aku pikir hanya sedikit mengagumkan. Tapi setelah terkena sinar matahari begini, kenapa bisa dia terlihat jadi bertambah mengagumkan?

Aku mencoba meraih iPhoneku yang sedari tadi tersimpan didalam tas. Niatnya untuk membuka camera pada handphone dan melihat bagaimana bentuk mataku saat terkena sinar matahari, apakah akan se-mengagumkan mata Kavi? Sumpah, ini bukan kali pertamanya aku melakukan hal konyol seperti ini.

"Astaga! Bagaimana ini? Aku menyimpan alamat dan segala macam informasi tentang housefam didalam Handphone-ku." Aku baru menyadari setelah berkaca tadi kenapa iPhone ku langsung berubah menjadi layar hitam.

"Serius?" Dia membalikkan badannya kearahku, membuat sinar matari berdatangan dari samping-samping lekuk tubuhnya. Jika aku pandai menggambar, akan ku gambarkan Kavi seperti seorang laki-laki dengan sinar disekujur tubuhnya. Percayalah, itu benar-benar terjadi saat ini. Sampai membuatku hanya terdiam, dan membuat mulutku sedikit terbuka.

Aku lebih terkejut mendapati Kavi memegang daguku dan mendorongnya keatas, agar bibirku tertup. Sangat terkejut lebih tepatnya. Aku langsung bergidik, seperti tersentrum tadi itu rasanya.

"Iya, bagaimana ini? Atau kita pergi ke keduataan saja?" Usulku, agar tidak terlihat canggung didepannya. "Hari sabtu kedutaan tidak buka." Tolong dimaklumi saja, aku sudah begitu panik seharian ini sampai lupa saat itu hari apa.

"Apa kamu mengingat jalan atau ciri-ciri yang signifikan untuk menjadi petunjuk menuju apartement housefam mu?"

"Apa ya? Coba aku ingat-ingat sebentar." Aku memilih mengeluarkan cameraku yang batrainya hanya berkurang 1 batang dari awal aku menggunakannya. "Aha! Ini! Coba kamu lihat gedung ini, apa kamu mengetahui dimana letak gedung ini?" aku menunjuk sebuah foto gedung yang sempat ku abadikan. Gedungnya terlihat sudah sangat tua, bahkan catnya pun sudah mulai luntur terkena serpihan hujan. Kavi hanya memandangi fotoku, seperti bergumam sendiri. "Yang begini sih banyak disini, tapi kita coba saja mulai dari yang terdekat."

Baiklah, aku harus mepercayainya. Walaupun dia mengatakan 'banyak'. Aku tidak akan banyak tanya. Aku sedang ditolong jadi hanya perlu mengikuti saja.

Selama perjalanan terasa begitu canggung, karena tidak ada salah satu dari kami yang ingin memulai pembicaraan. Baiklah aku harus berlapang dada, aku juga merasa sulit bernafas jika situasinya harus seperti ini.

"Kamu sudah berapa lama tinggal diberlin?" Entah mengapa aku memilih pertanyaan itu. Biarkan saja. Hanya itu yang mampu terpikirkan oleh otakku.

"2 tahun, jalan 1 bulan."

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now