Berlin, 15.

7 0 0
                                    

Setelah melakukan ritual menjauhi Kavi, aku tidak menyempatkan untuk melihat kearahnya. Tapi aku menyadari bahwa Kavi tengah berdiri dari posisinya dan berjalan. Iya, berjalan. Berjalan kearah, ku. Ok, tetap tenang. Betulkan langit?

Aku baru menyadari penampilan Kavi pada saat ini, ketika dia berdiri tepat dihadapan ku. Kavi menggunakan kemeja berwarna dongker, dengan celana jeans berwarna coklat muda. Seperti waktu itu, dia tetap menggulung lengan kemeja nya. Kali ini Kavi menggunakan topi. Topi polos berwarna senada dengan bajunya. Tampak dibelakang punggungnya ransel bergantung pada bahu bidangnya. Kavi tetap sama, tampan. Hanya sifatnya yang selalu berubah. Maaf, karena yang satu itu tidak dapat ku tinggalkan.

"Telat Ta?" Dia menatapku yang masih berpura-pura sedang mencari sesuatu didalam ransel hitam ku ini.
"Eh? Iya nih hehehe" Aku berusaha menjawab nya dengan sesantai mungkin. Tapi mungkin dia akan menyadari bahwa aku sedang menghindarinya.

Tiba-tiba saja Kavi mengambil alih camera yang ku kalungkan di lenganku. Aku terkejut tapi berusah untuk tetap tenang.
"Apa yang sedang kamu cari Ta?"
"IPod ku." Aku menjawab nya singkat, sambil tetap berakting sedang sibuk mencari iPod yang sebenarnya tidak ku bawa dari rumah tadinya.
"Carilah perlahan, jangan gusar gitu."
"Tinggal nih kayanya." Aku menyerah dengan kegiatan konyol ku ini.
"Terus gimana?"
"Yaudah gapapa, lagian aku cuma mau denger lagu aja tadinya."
"Mau kemana?"
"Jalan-jalan."
"Ke?"
"Taman mungkin."
"Tadi bukannya udah?"
"Tau dari mana kamu?"
"Saya liat kamu di taman tadi."
"Oh iya?"
Kavi hanya mengangguk mendengar jawabanku. Sebenarnya memang tidak perlu jawaban dari ucapanku tadi. Itu sudah seperti penutup dari bincang kami pagi ini.

"Yaudah, camera..."
Kavi menyodorkan cameraku. Langsung ku ambil dengan cepat. Berniat untuk pamitan, aku teringat akan jacketnya yang tidak sempat ku kembalikan kemarin. Untung aku hari ini tetap membawanya. Jadi tidak perlu menunda waktu lagi untuk mengembalikannya.

"Ini jacket kamu, makasih banyak."

Lagi. Kavi hanya mengangguk dan diam setelah mengambil jacket miliknya. Apa yang harus ku lakukan? Lebih baik aku berpamitan saja. Bisa-bisa aku akan terbawa suasa jika berada didekat Kavi terus terusan begini.

"Yaudah, aku pamit dulu ya. Kamu ke kelas gih."
"Saya gak ada kelas hari ini."
"Loh? Terus ngapain ke kampus?"
"Mau ngumpulin beberapa tugas."
"Oooh yaudah, silahkan dilanjutin."
"Saya ikut Ta."

Langit....
Apa yang harus ku lakukan?
Hatiku kembali hidup karenanya..
Bagaimana ini...

"Aku cuma duduk aja, ntar kamu bosen yang ada."
"Boleh atau tidak?"
"Terserah kamu aja sih."
"Yaudah jalan."
"Ok.." aku memilih untuk jalan terlebih dahulu. Kavi berjalan dibelakang ku awalnya, hingga sekarang dia tepat berada di sampingku.

"Kamu gak ada kelas emangnya?" Tidak tahu dorongan dari mana, aku mulai membuka pembicaraan dengan Kavi.
"Bukannya tadi kamu udah nanya?"
"Eh iya ya? Lupa."
"Udah, cuma bukan nanya. Nyuruh kalau tadi."
"Oiya! Aku inget. Aku nyuruh kamu masuk kelas kan?"
Kavi hanya mengangguk mendengar jawaban ku. Kelihatannya Kavi tidak berniat untuk membalas pernyataan ku. Yasudahlah, toh taman hanya berapa meter lagi sampai.
"Aku akan duduk disana ya." Aku menunjuk bangku yang tadinya sempat ku tempati.
"Baiklah." Bukannya berpisah, Kavi malah terus mengikuti. Sehingga, saat ini dia lebih dulu duduk dibangku pilihanku.
"Loh, aku pikir kamu bakalan duduk di bangku yang lain."
Kavi tidak menjawab perkataanku, dia hanya duduk diam dan membenarkan posisi ransel nya. Ditaruhnya ransel berwarna dongker miliknya tersebut di samping bangku yang kami duduki.
"Itukan pria yang tadi?" Aku melihat pria yang telah memberiku informasi saat terlambat masuk kelas tadinya. Ternyata saat ini ia berada di taman dan tengah memberikan makanan pada burung-burung kecil yang kelaparan.
"Hmmm, waktu kamu duduk di taman tadi dialah yang membagikan makanan kepada burung-burung itu." Ucap Kavi.
"Ha? Yang bener aja?" Jawaban Kavi barusan membuat ku sedikit ragu, antara percaya apakah benar yang ia katakan atau sebaliknya.
"Apa kamu sempat memfotonya?"
"Kayak nya ada nih." Langsung ku nyalakan camera yang sudah bertengger di tangan ku dan mulai mencari foto pria yang tengah membagikan makanan pada burung-burung ini.

Benar saja. Dia adalah pria yang pagi tadi membagikan makanan pada burung-burung kecil ini hingga siang ini dia masih tetap melakukan hal yang sama. Terpenting, dia adalah pria yang telah membantuku atau lebih tepatnya memberi informasi kepada ku tentang kelas pagi ini.

"Kok kamu bisa tahu atau... bisa inget?"
"Kan udah saya bilang, tadi saya ngeliat kamu lagi ditaman. Saya juga ngelihat pria itu di dekatmu."
"Perasaan aku udah ngamatin disekitar tadi. Aku juga ngerasa menjadi pengamat yang baik. Hmmmm."
"Mungkin belum Ta."
"Iyanih, masih ngerasa aja. Nyatanya belum."
"Mau coba ngasih makan burungnya?"
"Bisa emang nya?"
"Bisa."
"Mau..."
Kavi berdiri dari kursinya dan mengambil sesuatu dari tasnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam. Kotaknya tampak seperti kotak bekal yang ku bawa pada saat sma. Mungkin Kavi ingin memberikan burung tersebut bekal miliknya.
"Sini ikuti Saya." Kavi meletakan tasnya kembali pada posisi awal yaitu di samping bangku taman.
"Apa aman tas kamu ditinggal disini?"
"Aman kok. Lagian kita berdiri didepan kursi aja cukup."
"Ok." Aku berjalan mendekati posisi Kavi yang saat ini berada di depan bangku yang awalnya kami duduki. Dia berjalan sedikit kearah jalanan setapak. Kavi mulai membuka kotak bekalnya. Ternyata kotak bekal tersebut berisikan makanan burung. Bukan makanan yang dibawa untuk dia makan. Simple things that can make me smile at him.

Kavi menyodorkan kotak bekalnya kearahku. Langsung saja ku ambil beberapa butir dan mencoba melemparkan nya ke arah kumpulan burung-burung kecil tersebut. Mereka berhamburan kejalan setapak yang telah berisi makanan. Memakan makanan tersebut dengan lahap dan sigap agar miliknya tidak dimakan oleh pemangsa lainnya.

Setelah menghabiskan makanan yang bertaburan di jalan setapak ini, para burung pun terbang kesana kemari mencari para manusia yang bersedia memberikan mereka makanan. Aku mengamati kepergian burung-burung kecil tersebut tanpa lupa mengabadikan nya didalam camera ku. Setelah puas mendapatkan foto burung tersebut, aku kembali duduk di bangku yang ku tempati bersama Kavi tadinya. Ternyata Kavi sudah duduk terlebih dahulu. Mungkin terlalu asik memfoto burung kecil tadi, aku sampai tidak menyadari bahwa Kavi sudah kembali ke bangku terlebih dahulu dan saat ini dia tengah mengecek handphone nya.

"Kamu beli dimana makanan burung tadi?"
"Di toko tuan Fred ada kok."
"Serius?" Mendengar nama Kakek yang satu ini membuat mood ku terasa bertambah baik dari sebelumnya.
"Iya, nanti kita pergi."

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now