Berlin, 15. #3

11 0 0
                                    

Aku tidak tahu sudah berapa lama Kavi berdiri disana, semoga saja dia tidak menunggu lama.

"Jacob, aku harus pergi dulu. Sampai berjumpa dilain waktu teman!" Aku melambaikan tangan dan berjalan perlahan meninggal Jacob yang hanya membalasku dengan senyuman manis. Ada lagi yang mempunyai senyum manis selain Kavi, teman baruku. Jacob.

"Sudah lama berdiri disini?"
"Tidak, Saya baru sampai dan kamu langsung datang menghampiri."
"Ooo gitu. Soalnya aku pikir kamu udah nunggu makanya aku langsung nyamperin aja." Kavi hanya mengangguk mendengar penjelasanku. Mungkin sudah sangat jelas baginya.

"Jadi kita jalan sekarang?"
"Baiklah." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut seorang Kavi. Satu harapan ku kali ini. Semoga saja Kavi tidak kembali lagi seperti Kavi yang menyebalkan. Aku butuh Kavi yang seperti ini saja cukup.

***

Kami berjalan menyusuri pekarangan kampus menuju pada gerbang, berhubung kami akan pergi ke toko Tn. Fred. Kavi berjalan di belakang ku, aku melihat nya dari bayangan kami melalui jalan setapak yang tengah kami lalui.

"Kavi, boleh aku bercerita?" Moodku yang terlalu baik terkadang membuat ku keluar dari kontrol yang seharusnya aku jaga. Contohnya seperti saat ini. Aku berjalan menghadap Kavi dengan membelakangi arus jalan.
"Boleh, tapi tidak seperti ini."
"Maksudnya?"
"Kamu akan terjatuh kalau terus berjalan seperti itu."
"Ahhh benar juga!" Aku baru menyadarinya dan akan berjalan menuju Kavi dan berusaha untuk menyamai jalan yang tengah kami lalui, tapi Kavi lebih cepat dibandingkan pergerakan ku. Belum sempat aku berjalan ke arahnya, ia terlebih dahulu berjalan ke arah ku. Tidak, aku tidak apa-apa.

Sontak aku membalikkan badan dan berusaha menyesuaikan jalanku dengannya. Kavi tentunya tidak bersuara sedikit pun, mungkin karena dia tidak tahu efek apa yang sudah dia timbulkan kepada ku dengan sikapnya yang seperti itu. Dia mungkin berpikir itu hal kecil yang tidak ada special nya. Tapi entah mengapa dimataku semua terlihat sangat indah? Apa yang salah denganku? Tentu ini biasa bukan? Sebut saja aku sedang jatuh cinta.

"Jadi kamu mau cerita apa?"
"Oiya! Kamu pasti ingetkan cowok yang keluar pas aku mau masuk kelas pagi ini? Cowok yang ngasih tau aku untuk nggak usah masuk kelas karena dosennya tidak menerima keterlambatan dari mahasiswa?"
Kavi hanya mengangguk dengan pandangan yang tetap lurus kedepan tanpa sedikit pun melirik ke arahku. Tidak masalah selagi dia mendengarkan dan berada disampingku seperti ini.

"Tadi aku ketemu lagi sama dia waktu nungguin kamu di kantin."
"Saya lihat kok."
"Nah! Aku gatau kenapa waktu ngeliat dia spontan aja ngajak kenalan. Sekarang aku baru mikir kenapa aku nyapa dia, aku kan perempuan.."
"Memangnya apa yang salah kalau kamu perempuan?"
"Kan gak enak aja, masa perempuan yang nyapa duluan sih.."
"Gak masalah kok, respon dia gimana?"
"Baik kok! Aku pikir dia bakalan dingin gitu, taunya enggak sama sekali. Soalnya pagi tadi dia tuh ngomong ke aku super irit."
"Emang ada alasan dia harus ngomong panjang ke kamu?"
"Gak adasih.. tapi kan.. yaudahlah, yang penting sekarang aku dapet temen lagi."
"Baguslah."

Kami terus berjalan menyusuri pekarangan kampus, hingga keluar dari area kampus dan terus berjalan menuju halte terdekat dari kampus. Tidak perlu menunggu waktu lama, bus yang kami nantikan pun datang. Aku langsung masuk terlebih dahulu dan memilih bangku yang bisa di duduki oleh dua orang. Kavi masuk dan duduk tepat disebelahku. Semoga saja dia tidak bisa mendengar suara detak jantungku yang berdetak sangat kencang saat ini.

Aku merasakan jarak diantara kami semakin menipis akibat kursi ini. Terimakasih telah membuat aku selalu berdekatan dengan Kavi.

"Setelah tamat rencana kamu apa Kavi?"
"Cari pekerjaan dan lanjutin S2."
"Oooh gitu.. semoga aja dilancarkan ya."
"Amin, kalau kamu gimana?"
"Habis tamat mau lanjut S2 juga, kalau bisa selagi kuliah aku kerja. Satu tahun kerja aku mau nikah."
"Hahahahahaha." Aku melihat kearah Kavi yang tengah tertawa mendengar jawaban ku. Memangnya apa yang salah dengan jawabanku?
"Loh kok kamu ketawa?"
"Gak ada. Cuma kepengen ketawa aja"
"Masa cuma karna kepengen ketawa aja?"
"Harus memangnya Saya bilang apa alasannya?"
"Harus.." aku menatap Kavi dengan tatapan setengah pasrah dan setengah berharap akan jawaban nya.
"Baiklah, Saya tertawa mendengar jawaban mu. Memang ya perempuan sangat ingin cepat menikah?"
"Iyalah! Perempuan itu lebih cepat tuanya, laki-laki itu kalau udah ada istrinya malah makin muda. Si istri malah makin tua karna harus ngurusin rumah sama keluarga. Jadi aku kepingin nikah muda, biar bisa ngerasain jadi orangtua pas masih muda gitu."
"Iya-iya, bagus kok kalau maunya kamu gitu."
"Kamu pengen nikah usia berapa Vi?"
"28. Atta?"
"Aku? 23! Tapi kalau jodohnya pas umur 24 juga gapapa. Jangan sampe nginjak 25 aja. Ngerasa udah tua aku kalo umur segitu."
"Sekarang usia kamu 19 tahun?"
"Loh? Kok kamu tau?"
"Kamu sudah pernah bilang waktu aku bantu nyari housefam kamu."
"Oiya!! Aku sampe lupa!"

Tidak terasa waktu terus berjalan dan sebentar lagi kami sampai di halte yang akan kami turuni. Setelah dari halte tersebut kami perlu berjalan kira-kira 700-800 meter untuk menuju kedai Tn. Fred. Sekali lagi, tidak ada masalah. Selagi aku berjalan masih dengan orang ini, yang berada tepat disebelahku. Dia yang tengah berjalan mengikutiku yang terus berjalan dengan pelan. Dia yang saat ini memakai topi dongker, membuat wajah tampan nya itu terlindungi dari sinar matahari yang bisa membuat matanya mengecil akibat sinar yang terpancar oleh benda terbesar di dunia itu.

"Kenapa Ta?"
"Hah? Kenapa?"
"Kenapa kamu terus melihat kearah Saya?"
"Aku? Kapan?"
"Dari tadi sampai sekarang."
"Salah liat kamu kali, bukan aku itu."
"Terus siapa yang disamping Saya saat ini, bukan Atta?"
"Aku sih... cuma.."
"Cuma?"
"Cuma pengen liat aja. Gapapa kan? Atau kamu nggak nyaman kalo aku ngeliat kekamu?"
"Jangan lama-lama."
"Kenapa emangnya?"
"Kamu selalu punya banyak pertanyaan untuk Saya yah Ta?"
"Loh ini kan wajar aku tanyain."
"Untuk apa?"
"Aku pengen tahu."
"Saya gak pengen kamu tahu, bagaimana?"
"Yaudah. Sekarang gapapa, besok-besok kasih tau aku ya kalau udah mau?"

Kavi hanya diam tanpa menjawab permintaan ku. Mungkin dia sudah lelah menanggapi celotehan tidak penting yang selalu terucap dari mulutku ini. Semoga saja Kavi tidak merasa terganggu oleh semua omongan aneh ku tadi. Semoga dia dapat memakluminya.

Setelah itu kami kembali terdiam. Bersatu dengan pikiran masing-masing. Kavi dengan pikirannya yang entah apa, tentu dengan pikirannya yang tidak pernah terprediksi oleh siapapun. Dan aku dengan pikiran yang masih bertanya-tanya apa alasan Kavi tidak ingin aku melihat wajah nya terus-terusan. Apa dia merasa tidak nyaman?

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now