Berlin, 13. #4

4 0 0
                                    

"Hana menyukai Raynar." Singkat, dan benar. Ternyata itu alasannya Vallen menyeringai ke arah Hana.

"Yang benar saja?!" Aku begitu antusias dengan topik pembicaraan kali ini.
"Vallen kebiasaan ya?" Hana tampak kesal tapi tidak bisa menyembunyikan pipi nya yang mulai memerah dan telingan tampak seperti berdarah karna malu.

"Gapapa lagian Han, aku kenal mereka. Akan ku permudah jalan mu." Dengan tulus ku jawab begitu pada Hana.
"Tidak usah Ca, biar aja berjalan dengan sendirinya." Begitu tanggapan Hana.
"Aku sudah seringkali menasehatinya dan jawabannya tetap begitu Ca." Vallen memang wajah pasrah begitu mendengar jawaban yang di lontarkan oleh Hana.

"Nanti diambil orang loh yang limited edition begitu?" Aku mencoba menggoda Hana bertujuan melihat apakah dia sesuka itu pada Raynar.
"Jadi sedih aku nya." Tulus sekali jawabannya. Menurutku dengan jawaban begitu saja dan ditambah ekspresi sendu yang seketika muncul diwajah nya membuat ku tak tega membuatnya semakin sedih.

Aku akan membantu mu Hana.
Bagaimana pun caranya.

Kami asik berbincang, sesekali menggoda Hana, membongkar percintaan Vallen dengan kekasihnya yang berasal dari prancis juga dan saat ini mereka tengah menjalani hubungan jarak jauh, atau LDR (long distance relationship). Vallen mengatakan jika mereka akan berjumpa hanya pada saat liburan atau sang kekasih yang mengunjunginya.

Tengah asik berbicang tiba-tiba saja Raynar bergabung dimeja kami. Dia duduk tepat disampingku, atau duduk dibangku yang berhadapan dengan Hana. Aku terkejut dengan kehadiran Raynar yang tiba-tiba saja walaupun itu hal yang biasa untuk orang seperti Raynar.

Aku langsung melihat reaksi yang ditimbulkan oleh Hana akibat kedatangan Raynar yang tidak terduga itu. Hana tampak terkejut, untungnya dia pandai menutupi rasa groginya saat Raynar duduk didepannya.

"Ray? Ngapain? Bikin kaget aja." Aku menepuk bahunya. Seperti biasa, Raynar hanya nyengir menyadari tindakannya sendiri.
"Boleh gabung?" Dia bertanya, bukan padaku. Tapi kepada kedua temanku. Teman baruku.
"Hmm." Mereka berdua serentak mengangguk dan menjawab hm untuk pertanyaan yang tak terduga dari Raynar itu.

"Lalu kami Ray?"
Itu suara Aro. Aku tidak menyadari bahwa Aro dan Kavi ternyata juga berada bersama dengan Raynar. Jangan sampai mereka juga ikut duduk disini. Aku belum sepandai Hana yang dapat menutupi rasa suka nya pada Raynar.
"Ah iya, bagaimana kalau kalian ikut bergabung saja?" Apa-apan Raynar? Dia malah menawarkan Aro dan Kavi untuk bergabung dengan kami.

Aku memberikan reaksi yang begitu ketara sehingga Aro dapat menyadarinya.
"Kau membuat Zhetta terkejut Ray." Aro menjawab ajakan Raynar dengan membahas reaksiku.
"You're so unpredictable Ray." Aku menggeleng dan sedikit tersenyum padanya.
"Biarkan mereka berbicang bertiga dulu Ray, mereka baru berkenalan sepertinya."

Sudah kompak dari awal. Aku, Vallen, dan Hana mengangguk. Ibarat menyetujui saran dari Aro. Raynar pun melihat reaksi kami bertiga tersebut. Dia tertawa dengan tampan dan membuat Hana langsung mengalihkan pandangannya pada jendela kaca yang menjadi penghalang kantin dan taman diluar sana.

"Baiklah, selamat berkenalan ya?" Raynar berdiri dan membawa nampannya dengan tersenyum lebar.
"Maaf sudah mengganggu." tambahnya lagi.
"Tidak masalah." Vallen angkat suara.
"Silahkan dilanjutkan." Dia berjalan diikuti dengan Aro yang sempat tersenyum dan Kavi yang hanya mengangguk kearah kami. Mungkin itu isyarat bahwa dia juga ingin berpamitan.

Aku sempat memperhatikan Kavi sesudah dia berpamitan pada kami. Dia tetap tampan dengan stelan nya pagi ini. Kavi menggunakan kemeja hitam dengan lengannya dilipat hingga bawah sikutnya. Kavi memakai sepatu berwarna putih. Astaga Zhetta!

"Maaf ya, kaget pasti Han?" Aku meminta maaf kepada kedua temanku. Takut mereka akan tidak nyaman dengan tindakan Raynar yang diluar pikiran tersebut.
"Gapapa kok Ca." Dengan senyum yang tulus Hana menjawab ku agar aku tidak merasa bersalah dengan tindakan Raynar.
"Dia memang suka begitu ya." Vallen menyela.
"Itu pertanyaan atau pernyataan Len?" Aku kurang menangkap maksud yang disampaikan Vallen.
"Kami merupakan teman satu club dance Ca." Ungkap Vallen.
"Seriusan? Hana bagaimana? Kamu juga?"
"Hanalah yang paling banyak membantunya." Vallen membantu Hana menjawab. Bak juru bicara Hana yang pemalu.

Jadi Vallen dan Hana merupakan teman satu club dance nya Raynar? Apa Kavi juga ikut club itu? Tapi mana mungkin seorang Kavi...

"Aro dan Kavi juga?"
"Mana mungkin, yang satu asisten dosen. Kau taukan? Aro?" Jawab Vallen. Pembicaraan semakin menarik. Sangat menarik, apalagi dibicarakan dengan dua orang ini. Aku mengangguk antusias.
"Dan yang satu lagi itu seniman kampus Ca." Kali ini Hana ikut memberi penjelasan. Siapa lagi? Kavi ka
"Dia sangat pandai melukis Ca. Aku pernah mengunjungi club lukis. Karya yang diciptakan Kavi benar-benar indah Ca. Mulai dari abstrak sampai melukis gedung." Jelas Hana. Benar-benar informan terbaik mereka ini.

"Ca? Boleh aku bertanya?" Tiba-tiba Vallen mengatakan ingin bertanya. Antara terkejut dan curiga yang kurasakan saat ini.
"Tanyakan saja." Aku mencoba untuk tetap tenang.
"Bagaimana kamu mengenal mereka?"
"Kenapa harus meminta izin untuk bertanya sih Len?" Hilanglah rasa curiga ku padanya. Aku pikir dia akan menanyakan apakah aku menyukai salah satu dari mereka. Lalu aku mulai menceritkan tentang mereka. Bagaimana aku bertemu dengan mereka.

"Aku jadi pengen kesasar juga kalau gitu." Ungkap Hana polos.
"Terus dibantuin Raynar pulangin ke Jepang?" Jawab Vallen yang mengundang tawa tak tertahankan dariku dan wajah malu serta tawa kecil dari Hana.

Aku sempat melihat kearah Kavi duduk saat tengah tertawa. Dia seperti sedang melihat kearah taman lalu mentalihkan pandangannya padaku. Mungkin suara tawaku terlalu keras sehingga mengganggunya.

Pandangan kami bertemu, dia hanya menatapku tanpa sedikit pun memberi isyarat tentang apapun. Aku yang tidak tahan dengan aktivitas seperti itu langsung tersenyum dan mengalihkan pandanganku dari nya. Bahkan aku tidak sempat melihat apakah dia membalas senyum ku atau tidak. Biarkan saja, yang jelas aku sudah tidak tahan dengan dengan kondisi jantungku yang berdetak kencang begini.

"Kalian harus main ke aparmentku dan ku pastikan akan sering bertemu dengan Raynar!"
"Aku hanya ingin bertemu dengan mu saja deh Ca." Vallen kembali menggoda Hana. Digoda Vallen begitu Hana hanya tersenyum dan menutup matanya. Kebiasaan sepertinya. Daritadi ku amati setiap kali dia merasa malu, hal yang dilakukannya pasti akan menutup matanya. Hana menggemaskan walaupun usianya berada diatas ku setahun. Sama dengan Vallen.

Kami pergi dari kantin lebih dulu, karena ada kelas selanjutnya. Tidak lupa pula berpamitan pada 3 serangkai itu. Jawaban untuk ritual pamit kami pun mungkin bisa dibayangkan jawabannya. Kavi hanya mengangguk, Aro membalas dengan sopan seperti biasanya. Raynar mengiyakan dan memberi lemparan senyum andalannya.

Memang jodoh menjadi teman. Kami bertiga memiliki jadwal yang sama. Hanya saja pada hari senin Vallen dan Hana tidak mengambil kelas filsafat sepertiku. Mereka memilih mengambil kelas dengan dosen yang berbeda. Mereka pun menawarkan ku untuk menyeludup sesekali kedalam kelas filsafat mereka. Aku iyakan, apasalahnya mencoba pengalaman baru dengan sahabat baruku?

***

Setelah kelas terakhir kami selesai Vallen dan Hana berpamitan untuk pergi ke ruangan dance. Mereka akan melakukan latihan dance karena akan ada pertujunkan katanya. Berarti Raynar juga? Mereka kan satu club?

Akhirnya aku berpisah dengan mereka setelah kelas terakhir ini. Aku berjalan langsung menuju halte yang berada kira-kira 100 meter dari gerbang kampus ku.

Akibat tidak melihat berita cuaca, aku jadi terjebak hujan hari ini. Pada saat berjalan menuju halte aku sempat terguyur hujan sehingga baju putihku tidak dapat menyelamatkan tubuhku dari guyuran hujan dan dinginnya sore ini.

Sibuk mengeringkan bajuku dengan menepuk-nepuknya, aku melihat Aro berlari diantara hujan. Sepertinya dia akan pulang ke apartment juga. Sama sepertiku. Aro menggunakan jacket. Jadi ku pastikan dia tidak akan kebahasan kecuali celananya.

"Pakailah ini Zhett."

When you, me, and Berlin met.Where stories live. Discover now