8. Ya, Aku Suka

218 36 5
                                    

Tolong vote nya ya makasih 💕

-Selamat membaca cerita Aishila:)-

***

AISHILA meminta Alan untuk menunggu di luar kelasnya. Hari ini, adalah jadwal keduanya untuk membersihkan aula sekolah. Sudah menjadi rutinitas bagi para troublemaker sekolah untuk membersihkan aula. Dan ide itu berasal dari ketiga guru yang sudah menjadi jajaran manusia terkiller di SMA Pelita Nusantara.

"Naruh plastik aja kayak naruh bom. Lama banget sih lo." Alan melotot begitu Aishila keluar dari kelasnya.

Aishila nyengir. "Ya maap. Tadi biasa gue mintak duit dulu sama Riyan. Itung-itung buat beli minum nanti pas udah selesai."

"Yaudah ayo. Lihat tuh. Bu Tutik udah liatin kita dari tadi. Lo mau hukuman kita ditambah?" Alan menggiring matanya ke arah Bu Tutik tanpa menoleh. Aishila tersenyum kikuk, lalu menggeleng.

Aishila berjalan lebih dulu di depan. Bukan karena Alan tidak berani, dia hanya tidak ingin hukumannya di tambah. Karena sesuai syarat Bu Tutik, perempuan yang lebih dulu. Jika sampai itu dilanggar, bisa-bisa Alan disuruh menjahit seratus seragam bagi anak perempuan tanpa di gaji. Dan itu adalah ultimatum Bu Tutik yang paling mengerikan diantara guru-guru lain.

"Bagus, kalian telat lima menit." Bu Tutik menyeringai. Wajahnya tampak sepuluh kali lebih menakutkan ketimbang biasanya.

Alan maju selangkah. Sudah menjadi tugasnya untuk melindungi Aishila dari marabahaya apapun, termasuk jika bahaya itu adalah Bu Tutik. "Tadi saya minta Aishila untuk mengambil buku paket IPA nya di laci."

Mendengarnya Aishila ternganga. Itu perlindungan yang berlebihan. "Eh, tidak Bu. Tadi saya yang minta Alan nunggu di luar karena saya naruh palstik dulu di laci."

"Tidak Bu. Tadi saya minta Aishila untuk mengambil buku paket IPA." Alan ngotot.

Aishila memicingkan matanya. "Tidak! Saya yang minta Alan nungguin di luar kelas karena naruh plastik dilaci."

"Tidak! Saya yang..." berhentilah perdebatan itu karena Bu Tutik sudah mengangkat tangan kanannya.

"Apa masih ada yang mau bilang tidak? Saya tidak peduli alasan kalian telat. Lagi pula saya tadi juga tidak menanyakan alasan kalian telat. Karena saya tahu alasan kalian tidak mengubah apapun dalam diri kalian. Murid yang telatan. Terlebih kamu Aishila. Kamu itu anak perempuan, kenapa sih susah banget dibilangin jangan telat. Masih muda aja sudah keset gimana nanti kalau sudah berkeluarga? Dasar," kata Bu Tutik sambil menggerakan tangannya. Mirip seperti orang yang tengah berceramah di pagi buta.

"Hukuman kalian tidak jadi untuk membersihkan aula." Bu Tutik menghelan napas keras.

Mati gue kalo di suruh jahit seragam cewek sekolah. Alan tampak tegang menunggu lanjutan Bu Tutik.

"Hukuman kalian sekarang adalah, membersihkan gudang!" Bu Tutik menunjuk gudang yang berada di dekat kamar mandi lama. Spontan Alan dan Aishila melotot bersamaan.

Eh buset! Itu gudang udah nggak pernah dibersihin. Mana kamar mandi yang lama juga nggak pernah dipake lagi. Ini guru dah sinting kali ya. Aishila memperbaiki posisi berdirinya. Lalu matanya mengekori tangan Bu Tutik yang tengah menunjuk gudang.

"Sekarang!" Teriak Bu Tutik berapi-api. Membuat Alan dan Aishila lari kencang menuju gudang tersebut.

"Tahu gini hukumannya, mending gue milih jahitin seragam cewek sesekolah." Alan meninju tembok gudang.

Aishila mengangguk pasrah. "Yaudah lah. Mending kita cepet-cepet beresin."

Aishila menganbil kunci gudang dari kotak di dekat pintu gudang. Kemudian menancapkannya ke lubang kunci dan pintu pun terbuka. Pemandangan di dalam gudang lama itu mengerikan. Ada satu kasur usang dengan beberapa tumpukan buku tak terutus di atasnya. Juga mesin ketik tua yang usianya mungkin sudah sama dengan eyang kalian. Meja dan kursi yang tampak sepaket namun sudah berlubang dan reyot. Dan tentu saja beberapa tikus juga kecoa yang turut serta membuat gudang ini tampak mengerikan sekaligus menjijikan.

"Gue nggak tahu kalo sekolah se keren ini juga punya tempat nggak kerurus kayak gudang ini." Alan menggeleng-gelengkan kepalanya. Diikuti anggukan kepala Aishila yang setuju dengan Alan.

Matahari di luar semakin meninggi, lepas ini pelajaran bahasa Inggris bagi Aishila dan biologi bagi Alan. Pertukaran guru yang menyakitkan.

"Buruan, gih. Biar cepet kelar," kata Aishila sambil mengaduk tumpukan buku di atas kasur.

Bau dari tumpukan buku itu juga tak kalah mengerikan. Mungkin, tumpukan buku itu basah karena tempat gudang yang lembab dan tidak pernah mendapat cahaya matahari. Aishila mendadak berpikir sejanak. Sepotong ruang yang kumuh ini mungkin akan bermanfaat jika di buat tempat rahasia.

"Eh Lan." Aishila menyenggol lengan Alan. "Ini tempat kan kuno, kalo di dekor dikit kayaknya bagus deh. Malah kesannya bisa tumblr gitu."

"Iya juga ya. Kita bisa tambahin kayak tumblr lamp sama cetak foto polaroid per kelas kan jadi keren." Alan berdecak.

Aishila tersenyum sambil mengangguk mantap. "Nanti gue bakal tanya ke ruang tata usaha ini tempat boleh dipake enggak."

Mereka pun tersenyum bersamaan. Lantas mulai membersihkan kembali. Perlahan tumpukan buku itu dibawa Aishila ke luar untuk di jemur. Sedangkan Alan berencana untuk membawa pulang mesin ketik tua itu untuk diperbaiki.

"Lo nyapu yang bagian luar aja. Takutnya nanti kalo yang dalem malah nggak bersih. Lo kan cowok hahaha." Aishila menujuk tempat yang akan dibersihkan Alan.

"Yaela, mending juga gue. Cowok-cowok tapi nggak dibilang keset sama Bu Tutik."

Aishila hanya bisa mengeluh tertahan. Bukan hanya Bu Tutik saja yang berasal dari Jawa Tengah yang selalu menerapkan rajin dalam kehidupan sehari-hari. Tapi dia juga. Lebih tepatnya adalah Ayah Aishila.

Hukuman itu selesai saat matahari berada di puncak kepala. Alan dan Aishila langsung pergi ke kantin untuk membeli minum. Dan langsung meneguk dua botol air mineral sekaligus.

"Matahari kebangetan sinarnya." Alan mengusap peluh dari dahi.

"Iya, gila ! Masak iya sih gue bakal bisa menantang matahari dan menang?" Aishila menghela napas.

Mendengarnya, Alan melirik sinis. "Kenapa lo jadi pesimis kek gitu? Lo jangan pikir kalo matahari bisa sepanasa ini, lo nggak bisa nandinginya. Lo boleh lihat bulan yang nyalanya redup tapi indah kalo dilihat. Lo boleh lihat awan di langit yang bisa putih dan ngalahin matahari yang kuning. Lo boleh lihat diri lo yang berusaha jadi bulan ataupun awan buat nantang matahari."

"Iya bagus banget filosofinya." Aishila tersenyum, namun tiba-tiba menepuk dahinya. "Eh tunggu dulu. Sejak kapan lo jadi puitis kek gini? Hahaha."

Alan ikut tertawa. "Iya juga ya. Enggak tahu. Mungkin sejak lihat lo senyum tadi kali. Sumpah manis banget, kayak gula. Hahaha."

"Tuh kan mulai lagi. Gombal mulu ah lo." Aishila menyikut lengan Alan.

"Tapi lo suka juga kan kalo gue gombalin. Lihat tuh, hidung lo jadi ikut merah." Alan menyenggol hidung Aishila dengan telunjuknya.

"Apaan sih Lan." Aishila beranjak dari duduknya-berniat untuk lari. Namun urung, karena Alan menahannya dari belakang. Jantung Aishila pun kembali berdetak kencang.

______________________________________

Hai semua💖! Makasih udah baca sampe bab ini💗

Menantang MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang