Ariana Grande -One Last Time
-Keiza Dian Prameswari-
Selamat membaca cerita Aishila:)AISHILA duduk di teras, di depannya ada Alan yang sesekali tengah meminum teh. Keduanya hanya terdiam sambil mengamati pada arah yang berbeda. Entah apa yang terjadi pada Alan, saat Aishila pulang tadi, Alan sudah sampai di sana sambil membawa se-buket mawar biru kesukaan Aishila.
Wajah Alan tampak lebih lesu, dia dari tadi hanya diam, mungkin menunggu Aishila berbicara. Namun, Aishila juga sama dengan Alan, memilih untuk menunggu salah satunya bicara. Maka, detik itu keduanya hanya terdiam.
"Shil," Akhirnya Alan membuka suara. "Gue mau minta maaf sama lo. Gue, gue nggak yakin kalo gue akan selalu ada buat lo. Tapi, gue akan usahain itu."
Pipi Aishila memanas mendengarnya. Bukan karena dia ingin menangis atau apa, tapi ucapan Alan barusam seperti menampar dirinya. Apa maksud Alan? Bahkan, hanya Aishila tetap akan bahagia walaupun hanya bisa melihat Alan dari jauh. Aishila memilih untuk tetap diam, memberi waktu agar Alan bicara.
"Gue tahu, sekarang ada Ardha, dia temen deket gue di band dulu..." kata-kata Alan terpotong.
"Gue juga tahu, sekarang ada Keiza, dia suka sama lo." Aishila menghela napas, memotong ucapan Alan.
Alan menundukan wajahnya, dia paling benci jika Aishila ikut sedih terhadapnya. Dia sahabat Aishila, dia pastinya tidak ingin jika Aishila, yang jadi sahabat terbaiknya merasa sedih.
Alan meraih tangan Aishila, tatapannya mengarah kepada dua mata Aishila yang menurutnya begitu indah."Maaf. Gue tahu itu. Tapi lo sahabat gue, gue nggak akan beri ruang untuk siapapun agar gantiin lo." Alan menelungkupkan wajahnya pada kedua tangan Aishila.
Aishila menggigit bibirnya. Dia ingin dianggap lebih dari sahabat oleh Alan. Tapi mau bagaimana lagi? Maunya Alan memang dia menjadi sahabatnya saja, tidak lebih. Maka, Aishila hanya bisa menahan tangis sekuat mungkin. Bukan karena dia lemah, tapi kenyataannya memang begitu. Hati Alan mungkin lebih menyukai Aishila sebagai sahabat saja.
"Gue udah usahain semuanya agar gue bisa sama lo. Sesuai janji gue waktu kita dihukum hormat sama bendera kemarin. Tapi lo tahu, kan. Bahwa kita nggak bisa menentang takdir? Kita cuma bisa mengikutinya, sampai Tuhan memberikan akhir kehidupan untuk kita," Alan tercekat, tenggorokannya terasa begitu kering. "Gue sayang lo, kita udah dari dulu bareng. Gue hampir tahu semua sifat lo, lo juga demikian. Shil, lo itu sahabat terbaik gue. Jadi gue janjiin apa yang pantes buat lo."
Naif. Aishila memang naif. Dia tak bisa sekuat Alan untuk bisa saling mengerti. Aishila masih terdiam, dia bukannya pengecut yang tak bisa berkata jujur mengenai perasaannya, padahal ini waktu yang tepat jika dia mengatakannya pada Alan. Tapi, Aishila masih berpikir dua kali. Apa yang terjadi setelah dia mengutarakan perasaannya? Apakah Alan malah akan menjauh karena merasa risih? Atau dia bahkan akan langsung meninggalkan Aishila selamanya.
Jika ditanya apakah Alan menyukai Aishila, dia masih ragu. Dia masih bingung kepada hatinya. Pikirannya akhir-akhir ini sedang kalut, karena Alan tengah menyimpan suatu rahasia besar yang bisa dibilang mengerikan. Alan tak ingin Aishila tahu, itu yang menyebabkannya sekarang ingin menjauhi Aishila sementara.
"Sekarang gue bakal jarang masuk sekolah," Alan mengusap air matanya, lalu menatap Aishila. Yang mendengarnya tetap terdiam, sama seperti tadi. "Gue bakal nggak bisa sering sama lo. Tapi gue akan usahain itu semua buat lo. Biar setidaknya kita bisa ketemu walaupun jauh. Lo blokir gue, jadi gue nggak bisa kasih kabar sama lo. Jadi gue mohon sama lo. Kalo lo kangen sama gue, lo tinggal chat aja. Gue on dua puluh empat jam buat lo." Alan tersenyum kecil, tangannya masih menggenggam tangan Aishila.
Aishila mendadak geram sendiri. "Sebenernya lo kenapa, sih? Lo kayaknya nyimpen sesuatu dari gue."
Alan kembali menghela napas, dia melepas genggaman tangannya. Alan paling benci jika mengatakan kebenaran ini kepada Aishila. Dia tak ingin Aishila akan larut dalam kesedihan, maka biarkanlah waktu yang akan memberi tahu Aishila.
"Gue nggak kemana-mana. Gue selalu di kota ini, cuman gue nggak bisa terus sama lo sekarang. Karena takdir yang udah nentuin itu semua." Alan beralih menatap ke arah langit yang tengah mendung.
"Lo kebanyakan rahasia, dedek kecil." Aishila mencibir, namun dilanjutkan dengan tawanya yang khas. Alan tercengang mendengarnya. Aishila memanggil sebutan kecilnya? Apakah Aishila sudah bisa menerima keadaanya sekarang?
Alan membulatkan kedua matanya. "Lo udah nggak marah sama gue?"
Aishila balas dengan gelengan. "Kemarin sih iya gue marah sama lo. Tapi kalo marah lebih dari tiga hari kan dosa. Gue nggak mau banyak dosa."
Mendengarnya, Alan tersenyum lebar. Aishila sudah kembali seperti biasa. Maka, dia langsung memeluk Aishila erat. Dan Aishila juga balas memeluk Alan. Namun, sesaat kemudian, Aishila merasakan sesuatu. Tubuh Alan sepertinya lebih kurus, atau hanya perasaanya saja. Aishila mengedikkan bahu, masih enggan melepaskan pelukan Alan. Dia terlampau nyaman.
"Gue harap kita akan selalu seperti ini." Alan melepaskan pelukannya. Sedangkan Aishila balas dengan anggukan.
"Oke, gue pulang. Lo udah nggak marah lagi sama gue, jadi urusan ini udah selesai. Dan ingat, Shil. Buka blokir gue ya!" Alan beranjak dari duduknya, lantas pergi pulang. Aishila tersenyum, dia masih merasakan pelukan Alan yang membekas barusan.
"Kayaknya, gue bakal sering nangis habis ini." Air mata Aishila menetes perlahan.
Jika Alan berpikir bahwa Aishila sudah menerima statusnya yang tidak lebih dari sahabat itu salah besar. Aishila jelas masih mengharapkan Alan tidak menganggapnya sebatas sahabat. Tapi, Aishila berusaha menahan rasa sakit itu. Alan barusan menangis karena nya, Alan juga sudah berusaha banyak untuknya, walaupun Aishila tidak tahu apa masalah Alan akhir-akhir ini. Tapi masa bodoh bagi Aishila, yang penting dia juga mau merasa sakit dan berjuang seperti Alan. Karena walaupun tidak bisa bersatu, setidaknya mereka merasakan hal yang sama kali ini.
Aishila tersenyum walau air matanya terus menetes. Dia mengambil i-phone nya. Lantas membuka blokir kontak Alan.
"Nggak apa-apa kalo gue harus nangis karena lo cuman nganggep gue sahabat. Tapi gue juga bahagia, gue nggak akan gengsi lagi chat sama lo." Aishila melihat foto Alan sekali lagi. Hari ini, hatinya memang sakit, tapi entah mengapa logikanya malah berpikir bahwa dia bahagia.
______________________________________
20.44 good night!💐
SILAHKAN YANG SEDANG SUSAH MO, KALIAN BISA BACA CERITA BARUKU. JUDLNYA "SUNSET & SUNRISE" NANTI AKU AJARI MO PELAN-PELAN😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Menantang Matahari
Teen FictionSial! Kenapa yang namanya persahabatan lawan jenis itu pasti berujung pada hal laknat bernama jatuh cinta? Apakah matahari mampu ditantang? Tenanglah, ini hanyalah filosofi penggambaran yang mungkin ada diantara kehidupan kalian, yakni menyangkut ma...